Jakarta, Lontar.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI), menghimbau masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pemilu dengan memberikan hak suaranya di TPS pada 17 April mendatang, yaitu memilih presiden dan wakil presiden. Memilih pemimpin bagi MUI adalah keharusan, karena itu kewajiban agar meneggakan imamah dan imarah.
Memaksimalkan angka partisipasi masyarakat dalam pentas pemilu, maka MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap Golongan Putih (Golput). Fatwa haram yang dikeluarkan MUI, sejak Ijtimak Ulama di Padang 2014 lalu.
Fatwa MUI tersebut memuat 5 poin, secara garis besar menjelaskan tentang keharusan memilih seorang pemimpin sebagai salah satu kewajiban umat muslim.
Selain itu, MUI memasukan kualifikasi pemimpin yang dipilih. Seperti pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI, Muhyiddin Junaidi menyebutkan larangan terhadap Golput telah diatur pada fatwa MUI 2014, tentang haramnya tidak memilih atau Golput.
“Haram. Golput itu haram,” kata Muhyiddin Junaidi dikutip dari CNNIndonesia beberapa waktu lalu
Tak hanya sampai disitu, Muhyiddin Junaidi menuding Golput adalah orang yang paling bertanggung jawab jika pemilu kelak menimbulkan konflik karena chaos. Ia menyadari tak ada pemimpin yang ideal sekalipun di dunia internasional seperti di China, Rusia dan Amerika Serikat. Kendati demikian memilih pemimpin tetaplah suatu kewajiban.
“Kalau kita tidak gunakan hak pilih kita kemudian terjadi chaos itu kesalahan Anda,” ujar Muhyiddin Junaidi.
Setelah fatwa MUI mengharamkan Golput mencuat jelang pemilu 2019, hal ini menjadi bahan perdebatan di masyarakat. Melalui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Huzaimah membantah jika MUI telah menerbitkan fatwa mengharamkan Golput. Melainkan MUI hanya menghimbau agar masyarakat memberikan hak suaranya di pemilu.