Jakarta, Lontar.id – Pada satu sore, di Jakarta yang sedang hujan deras. Seseorang perempuan duduk termangu di halte tempat bus yang akan mengantarnya berhenti, menuju Jakarta Kota. Baru saja ia pulang kerja.
Bajunya basah. Untung saja ia pakai baju dalam. Rambutnya berapa kali ia uyel-uyel. Ia duduk sendiri, menunggu bus besar yang kerap menghambat kendaraan di belakangnya. Hari itu Jakarta sendu karena langitnya mendung.
Dulu ia tidak pernah sendiri. Ia punya kawan lelaki yang baik. Baik sekali. Wajahnya juga baik. Tubuhnya semampai. Rambutnya selalu disisir ke samping dan rapi. Ia senang menggunakan kemeja berlengan panjang yang digulung hingga sikut.
“Aku antar kamu pulang, boleh? Kita kan searah.”
“Oh ya ya, tidak kok. aku tidak punya perasaan apa-apa. Aku hanya mau mempermudahmu saja, by the way,” lelaki itu membetulkan letak kerah kemejanya dan tertawa kecil.
Selalu saja begitu. Seorang perempuan yang menunggu bus pada sebuah sore, mengingat lelaki itu satu kali, dua kali, sampai pada sore-sore berikutnya, ia selalu saja mengingatnya. Perasaaanya campur aduk.
Dalam hati perempuan itu, jika ikut pada lirik pedangdut A Rafiq, sudah penuh taman bunga karena lelaki itu. Beda jauh dalam sebuah video yang viral di kota tetangganya, di pelipir jalan besar, di pinggir sebuah parit pabrik, ada lelaki paruh baya yang memaksa kekasihnya untuk naik ke atas motor seusai saling lempar marah.
Ia tersenyum lagi, beberapa detik. Lalu murung kemudian. Tatapannya melihat tanah di depan halte yang ia tempati menunggu sebuah bus, mulai tergenang. Air yang tempias dari atap halte, terus membasahi tanah itu.
Andai…
Perempuan itu sedang berandai-andai. “Aku suka lelaki itu. Caranya menatapku, caranya berbicara, atau apa saja. Semoga ia datang ke sini, atau ia lewat ke arah sini. Semoga kami pulang bersama lagi.”
Rambutnya yang pirang, yang tipis itu, diuyel-uyel lagi sambil bertanya-tanya soal mengapa dan mengapa. “Mengapa kalau kutatap, ia menundukkan pandangan?” Lelaki itu pemalu benar, menurutnya.
Sewaktu azan Magrib berkumandang. Pada satu kesempatan yang biasanya ia lewati bersama, lelaki itu izin pamit sebentar. Singgah beberapa menit di masjid, untuk membuka pintu kebaikan dalam dirinya, atau menaiki tangga doanya sendiri yang akan ia antarkan, atau apa saja namanya.
“Kamu tunggu dulu di sini, ya? Aku selesaikan kewajiban dulu.” Lelaki itu tersenyum. Ia mengangkat wajahnya yang masam. Perempuan itu benar-benar tahu, bagaimana dahaga di terik siang buta dan tenggorokannya dibanjiri es teh manis.
Pada hari kerja, sebelum ia menunggu sendiri di halte. Saat bersama seorang teman kerjanya itu, kawan lelaki yang ia idam-idamkan dalam hatinya, ia selalu berpikir agar Jakarta makin macet, lalu tiba-tiba azan berkumandang sebelum ia berhasil sampai di rumahnya.
“Aku senang ke masjid bersamanya. Meski aku tidak ikut masuk.” Hari-hari itu ia kenang sebagai waktu yang tepat bagi lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum sembari meminta izin untuk beribadah dulu.
Bagaimana jika lelaki itu tidak singgah ke masjid? Bagaimana jika lelaki itu terlalu bawel dan cerewet di depannya? Bagaimana jika ia tidak punya kendaraan untuk mengantarnya? Bagaimana yang lain berhimpun jadi studi-studi baru yang harus ia selesaikan setiap hari.
“Barangkali aku masih tetap suka. Atau cinta. Atau… Entahlah.”
Jawaban itu bikin seperti tali-temali yang saling menghubungkan satu sama lain. Ia bersiap untuk menerima apa saja dari lelaki itu. Perasaannya takluk.
Di bus yang akhirnya datang, kemudian ia tumpangi menuju rumahnya, menjadi tempatnya berpikir. “Bagaimana jika aku bilang perasaanku? Tapi…”
Ia berpikir kalau ia adalah seorang perempuan. Ia tidak mau. Ia takut harga dirinya jatuh. Tetapi pertentangan dari kalimat tersebut jauh lebih hebat dari adu bagong. “Pokoknya lelaki yang harus menyatakan suka padaku. Aku tidak mau. Biarlah aku pasif.”
Perasaannya terus berkecamuk setiap hari. Itu yang membuatnya untuk agak sedikit menjauh dari lelaki yang biasa mengantarnya itu. Perasaannya takut bertambah banyak setiap hari. Makanya ia pasang tembok besar.
Ia risau. “Mau sampai kapan begini?” Bus masih berjalan lambat. Jakarta macet dan jalur bus itu diisi motor yang begitu banyak, yang pengendaranya ingin bergegas pulang ke rumah secara serempak. Jakarta.
Anggap saja cerita itu benar adanya. Anggap saja itu kisah imajinatif saja. Jika kausuka, dan menganggap itu seperti kisahmu, kau boleh acung jari dan mengangguk kemudian berkata, “kisah ini gue banget deh…”
Kau bisa menambahkan bagaimana akhir sebuah cerita itu. Aku sebenarnya tak ingin membawamu dalam satu kisah imajinatif yang kau amini. Kau bisa membuat kisahmu sendiri, bukan? Kini, aku boleh izin sebentar.
Ya, aku ingin menulis satu akhiran bahwa barangkali perempuan itu lupa membaca sebuah kisah menarik dari tanah Arab sana. Kisah perempuan yang bernama Khadijah, yang begitu yakin dan berani kalau perasaannya tidaklah salah.
Tercatat dalam sejarah Islam, lewat paman Nabi yang bernama Abu Thalib, Khadijah menyampaikan keinginan luhurnya untuk mempersunting Nabi Muhammad. Saat itu Nabi Muhammad masih berusia 25 tahun, masa kenabian baru datang setelah 15 tahun kemudian.
Meski belum menjadi nabi, jalan hidup Nabi Muhammad sudah ‘dibimbing’ dan ‘diawasi’ oleh Allah sejak masih kanak-kanak. Ia sudah menjadi orang baik dalam waktu-waktu yang seharusnya bagi kita, nakal adalah hal yang lumrah.
Adakah Khadijah saat itu merasa bahwa pamornya jatuh karena melamar seorang pemuda? Entahlah. Menurut hematku, tidak. Sebab kecintaannya dengan sifat-sifat baik, menuntunnya untuk gelisah jika perasaannya dipendam dan tak diungkapkan pada Muhammad saat itu.
Seorang berhak untuk bahagia dengan pilihannya sendiri. Naluri manusia. Sama seperti kisah Vincentia Tiffani yang dengan polosnya meminta Sandiaga Uno untuk menjadikannya istri kedua. Tidak ada masalah. Apalagi Tiffani sudah bilang kalau ia kagum dengan Sandi dalam video singkat di instagramnya.
Setelah video itu viral, istri Sandiga Uno, Nur Asia Uno, hanya menanggapi video yang viral itu dengan emot senyum di akun twitternya. Kenapa kita malah merasa bahwa hubungan dan ekspresi Tiffani itu tidak boleh?
Belakangan diketahui, kalau itu adalah rekayasa. Ya, benar. Warga maya kemudian menyerang Tiffa atau Fanni atau Vinvent, atau siapalah namanya dengan kalimat-kalimat yang menyeramkan. Para petarung-petarung dunia maya membawa kalimat yang menyudutkan Sandiaga. Itu konsekuensi. Sebab begitulah politik.
Tulisan ini pun dibuat atas keresahan atas satu komentar bahwa, perempuan seharusnya tidak merendahkan dirinya dengan bilang cinta kepada laki-laki lain, terlepas konteksnya itu bercanda atau tidak.
Kenapa kita harus mengencangkan suara dalam mengintervensi cara memasak orang lain, yang ia rasa akan enak jika dilakukan dengan kebiasannya? Misalnya, orang itu lebih menyukai memasak dengan tungku batu daripada kompor, sebab leluhurnya terbiasa memakai cara itu.
O ya, yang menyeret kata-kata harga diri itu adalah seorang jurnalis kenamaan ibu kota. Aku ingin titip pesan padanya atau yang menyetujui idenya itu, bahwa, seharusnya kita harus sepakat, soal perasaaan adalah tanggung jawab dua insan. Seperti kata-kata bilang cinta, konteksnya, ya. Jangan giring analogi di atas itu ke mana-mana.
Hasilnya, jika diterima atau tidak, itu urusan lain. Perasaan haruslah diungkapkan tanpa, lagi-lagi, memilih gender. Jika kau perempuan, maka kau tak pantas bilang cinta kepada lawan jenismu, karena itu memalukan dunia. Hei, adakah pelajaran menjinakkan perasaan macam begitu?
Lelakikah yang harus terus menyatakan cinta pada perempuan? Apakah itu dari perasan nilai emansipasi yang sudah banyak diajarkan perempuan-perempuan pendahulu? Entahlah. Menurut hemat saya, sekali lagi, tidak pernah ada pendidikan seperti itu.
Pada akhirnya, ada norma-norma, adat, adab, untuk menyampaikan isi hati. Selamat mencoba menjadi Vincentia Tiffani, atau Khadijah, atau siapa saja yang menyukai seorang lelaki tanpa malu mengungkapkan perasaaanya. Mari kita belajar berekspresi selama tidak menganggu orang lain.