Lontar.id– Terkenalnya masyarakat Sulawesi Selatan di tanah suci karena hobi berbelanja, entah harus disikapi dengan bangga atau harus dikritisi. Tapi, sudahlah rasanya bukan kapasitas saya untuk nyinyir dengan adanya fenomena itu.
Kepergian saya ke tanah suci bulan Februari lalu memang penuh dengan pengalaman luar biasa. Tidak heran jika orang tua kita sering berpesan untuk selalu bersikap mawas diri di sana. Selain pengalaman “spiritual” yang saya dapatkan, saya juga mendapatkan pengalaman tak biasa, salah satunya ketika saya menemukan orang arab yang lancar berbahasa Indonesia. Tidak sampai di situ, jika mereka bisa berbahasa Indonesia, mungkin itu sebuah kewajaran, mengingat salah satu negara yang mengirimkan jumlah jamaah terbanyaknya adalah Indonesia.
Kemampuan orang Arab berbahasa Indonesia bagi saya cukup berkesan. Mereka bisa menguasai satu kebudayaan yang bahkan orang Indonesia sendiri seringkali jarang menggunakannya karena terhegemoni oleh bahasa yang minggris begitu. Tapi seperti yang saya katakan di awal, ada hal yang tak kalah mengagumkannya, mereka, orang Arab ini tidak hanya mampu berbahasa Indonesia, tapi juga mampu berbahasa Indonesia dengan logat Makassar. Sesuatu yang bahkan orang dari Makassar jarang menggunakannya karena terhegemoni oleh bahasa gaul Ibu Kota.
Setelah cek per cek, ternyata kemampuan mereka berlogat Makassar itu diikarenakan saking seringnya mereka berinteraksi dengan jamaah asal Sulawesi Selatan. Orang Arab yang saya maskud di sini adalah para pedagang ataupun penjaga ruko. Mereka bahkan mengatakan pernah ke Makassar untuk berbelanja yang kemudian dijual di Arab dan dibeli kembali oleh orang Makassar. Oh betapa ajaibnya dunia ini. Hehehe
Tidak bermaksud melebih-lebihkan, tapi memang seperti itulah yang terjadi. Sebagian besar toko yang saya datangi dan ketika si pedagang mengetahui asal saya, mereka secara spontan akan mengatakan. “Oh, orang Sulawesi cantik dan suka belanja.” Fenomena itu tidak hanya saya jumpai di ruko tapi di pusat perbelanjaan yang ada di Makkah, pasarnya bernama Jaafariyah. Kalau di Indonesia selevel Tanah Abang (Jakarta) atau Pasar Butung (Makassar).
Perkataan mereka memang tidak bisa disepelekan, jamaah Sulawesi kalau belanja tidak tanggung-tanggung. Tidak cukup kalau beli dua lusin sajadah, minimal lima lusin. Tapi bukan berarti mereka ini boros, justru saya melihat dari sisi yang berbeda. Banyaknya belanjaan jamaah Sulawesi menandakan kalau mereka itu dermawan dan pekerja keras. Dermawan karena belanjaan itu akan dibagikan satu kampung, dan pekerja keras karena barang itu biasanya akan dijual kembali.
Selain itu, jamaah Sulawesi juga melancarkan perekonomian di tanah Arab. Memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Sekalipun yang paling terkenal yang orang Sulawesi paling hobi berbelanja. Justru tak masalah, yang masalah kalau melupakan ibadah yang utama.