Jakarta, Lontar.id – Tenaga Bondo Nekat (Bonek) semakin besar tatkala menyalurkan energi positifnya pada seluruh umat persepakbolaan di Indonesia. Di luar negeri, gaung itu terus meluas. Beberapa suporter luar negeri mengirimkan sinyal positif untuk mereka.
Mereka melempar boneka berbagai macam ke dalam stadion. Semuanya untuk anak-anak para pengidap kanker. Itu sebuah simbol agar mereka harus tetap bisa bermain dan berbahagia. Para pengidap kanker harus tetap bersemangat.
Senyum Presiden Persebaya, Azrul Ananda juga merekah dalam video beberapa detik yang diunggah Persebaya. Barangkali, tidak ada kesedihan saat itu. Semuanya haru dan bahagia.
Satu per satu mereka yang melempar itu, mirip dalam meme yang kerap kita bisa temukan, bahwa jangan melempar kemarahan tapi lemparlah senyuman. Aku menganggap mereka sudah menjadi salah satu orang yang bisa membantu saudara-saudaranya yang tertimpa sakit.
Aku belumlah merasai langsung bagaimana bercanda atau akrab dengan anak-anak penderita kanker. Tetapi aku pernah merawat satu orang tua berumur nyaris 70, yang diserang kanker prostat selama bertahun-tahun bersemayam di tubuhnya.
Sungguhlah tidak mengenakkan. Kanker prostat itu efeknya membuat para lelaki tidak bisa mengeluarkan air seni secara langsung. Analoginya, seperti keran air yang disumbat sesuatu. Padahal, air dalam keran itu sudah mendesak keluar.
Kakek saya mengeluh beberapa kali, seusai kami berdua makan rawon di sekitar rumah sakit swasta di Makassar, yang kenikmatannya benar-benar di atas rata-rata.
“Akhirnya, jika terkena prostat, alat kelamin kita seperti keran yang rusak. Kencing bisa tiba-tiba keluar. Seperti keran dan klep yang sudah kurang baik fungsinya.”
Kakekku sadar, itu hal yang serius. Namun, ia menceritakannya dengan canda. Kakekku orang yang paling semangat untuk sembuh dari penyakitnya. Aku tahu belaka, kalau butuh dana besar dan semangat berapi-api untuk melawan kanker.
Pada satu ketika, saat tubuh kakek sudah payah sekali dihajar kanker, ia bilang kalau itu penyakit terakhir yang akan mengakhiri hidupnya. Alasannya sederhana, ia belum pernah seloyo itu setelah fungsi prostatnya dirusak.
Seperti Bonek, aku turut merasa bagaimana sebaiknya kita harus memberikan semangat para anak-anak penderita kanker. Dalam pikirannya, barangkali, anak-anak itu masih harus mencecap bahagia seperti anak-anak lain.
Selain bahagia, mereka bisa didorong untuk bermain-main. melompat, berlari, atau bepergian ke mana saja bersama kawan-kawan seusianya yang sehat. Sudah tugas kitalah, meski aku tahu kalau bantuan kita masih kurang cukup untuk membahagiakan mereka.
Pada satu momen, di mana aku sedang berada di dekat stasiun Gubeng, aku melihat serombongan Bonek naik motor. Banyak dari mereka anak-anak muda, yang aku takar, barangkali belumlah 17 tahun.
Di sana, di jalan itu yang aku lupa namanya, beberapa dari mereka tak memakai baju. Mereka bertingkah seperti orang yang pawai, memutar-mutar bajunya di udara sembari mengklakson terus-menerus. Mereka semua menyelip masuk di volume kendaraan yang padat saat itu.
Dibonceng kakakku, ia ingatkan untuk tidak menggubris mereka, meski itu benar-benar hal yang kurang baik menurutku karena kepalang rese di jalanan. Apa pasal? Mereka tidak tertib, dan bertindak semaunya.
Itu dulu. Sekiranya 10 tahun yang lalu. Sekarang aku tidak lihat lagi bagaimana tindak-tanduknya. Bonek punya kekuatan mengerikan jika disalurkan untuk hal-hal yang negatif. Klubnya saja digertak. Apalagi klub lain.
Barangkali kita harus ingat sama-sama. Beberapa waktu yang lalu, Bonek bahkan meneror Persebaya karena permainan yang mengecewakan. Pemain Bajul Ijo yang turun dari bus diingatkan dengan keras untuk bermain lebih semangat lagi.
Bagaimana pada klub lain? Terornya mungkin bisa lebih parah dari Persebaya sendiri. Bukan, bukan, bukan di luar lapangan maksudku, tapi dalam lapangan selama 2×45 menit.
Lebih dari itu, Bonek adalah kelompok yang penuh tanggung jawab dan menghormati tamu atau kelompok suporter yang bertandang ke Surabaya. Para suporter Makassar bahkan merasa Bonek sudah banyak berubah.
Meski punya sejarah kelam dengan suporter Makassar, bahwa mereka pernah saling serang. Kini, Bonek sudah beda. Selalu menyenangkan melihat mereka mendukung klubnya, dan bagaimana fanatiknya mereka untuk Persebaya.
Aku selalu berharap pada seluruh suporter, jika ada titik balik yang meneduhkan semua pihak. Meski kedamaian pasti akan selalu punya penghalang.
Teori lama dari Yunani sampai sekarang masih kupercaya, si vis pacem, para bellum, yang artinya jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang.
Meski begitu, tak usah ragu, kita sudah seharusnya membahagiakan saja mereka yang bersedih. Tak perlulah kita mencari ribut-ribut segala dan mencari musuh. Sejarah kelam tidak seharusnya tidak diulang lagi. Sebab setiap waktu yang akan datang akan selalu jadi bahan introspeksi.
Aku berharap pada semua suporter agar bisa mencontoh hal-hal yang baik dari pergaulan pendukung klub sepak bola. Memberikan bantuan, mengajarkan kesantunan di jalanan, atau bagaimana hal-hal yang menyenangkan. Sebab, menyakitkan sekali, jika suporter itu dipandang sebelah mata.
Oh ya, hampir lupa, masih ada penyakit berbahaya yang menggerogoti sepak bola kita di depan sana. Penyakit itu menempel di organisasi-organisasi sepak bola kita. Sakitnya belum terdeteksi. Mereka sepertinya harus kita rapali doa.
Apakah kita harus melemparinya dengan bunga atau apa? Jangan boneka. Biarlah boneka yang lucu untuk menyemangati anak-anak kanker untuk sembuh. Sekarang ayo berpikir, bagaimana caranya agar organisasi dan sepak bola kita sembuh. Mau disemangati jugakah ia?