Lontar.id – Terlahir di zaman modern, tidak lantas menutup mata kita untuk mempelajari peradaban nenek moyang kita, ratusan tahun yang lalu. Kepercayaan-kepercayaan leluhur bahkan tidak jarang masih kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, disadari ataupun tidak. Kebudayaan itu tetap awet karena diwariskan secara turun-temurun oleh orang tua kita. Sebagai contoh, dalam suku Bugis kita masih mempertahankan bahasa Bugis. Bahkan dalam pelaksanaan ritual pernikahan, hampir seluruh masyarakat suku Bugis-Makassar mempertahankan tradisi uang panaik.
Baca Juga: Mengapa Tradisi Uang Panaik Tak Lekang Oleh Waktu?
Secara praktik, ritual-ritual tersebut masih terus dijalankan. Akan tetapi, masih sangat jarang, kita menemukan orang-orang yang memaknai ritual tersebut dengan cara memahami filosofi atau asal-usul dari tradisi itu. Contoh sederhana, mengapa dalam ritual pernikahan, sebelum melangsungkan pesta pernikahan, calon mempelai laki-laki diminta ke rumah calon mempelai perempuan untuk ma’manu-manu/ A’ jagang-jagang?
Berasal dari keengganan kita mempelajari asal usul suatu kebudayaan menyebabkan pelaksanaan ritual itu sampai pada level praktik saja. Kita menjadi luput memahami alih-alih merefleksikan bentuk-bentuk tradisi leluhur yang selama ini dipertahankan. Hal yang lebih menarik lagi untuk ditelusuri, yakni ketika melihat kelompok masyarakat yang masih menjunjung tinggi kepercayaan lokal, misalnya para penganut kepercayaan To Lotang di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Mereka menyebut mereka penganut kepercayaan kepada Dewata Sewwae. Akan tetapi, pada tahun 1966, mereka secara konsitusi dianggap menganut agama Hindu karena desakan dari pemerintah untuk memilih salah satu dari tiga agama resmi yang harus dituliskan di dalam kartu penduduk.
Baca Juga: Mengenal Tolotang dan Musik Mappadendang
Keputusan mereka memilih agama Hindu karena mereka menganggap, agama itulah satu-satunya yang memiliki kemiripan dan mampu menerima kepercayaan To Lotang ini. Yang lebih menarik adalah,kepercayaan ini hidup di tengah kota. Sebagai minoritas, mereka tidak memilih untuk mengisolasi diri. Bahkan, sang ketua adat adalah seorang anggota DPRD Kabupaten Sidrap seperti dikutip dari tulisan Ahmad Risal tentang Sejarah To lotang.
Hal itu memunculkan kecurigaan dan pertanyaan, apakah para penganut kepercayaan To Lotang ini masih tetap mempertahankan nilai-nilai leluhurnya. Bukan sekedar perkara bernegosiasi dengan kepentingan zaman, akan tetapi terjun ke dalam dunia politik dan berafiliasi kepada partai politik tertentu terdengar sangat konyol mengingat kepercayaan To Lotang ini merupakan kepercayaan kuno, yang muncul sezaman dengan lahirnya masyarakat Bugis itu sendiri.
Dalam beberapa kasus, para penganut kepercayaan lokal biasanya mengisolasi diri ke tempat terpencil dan tertutup dari masyarakat luas, meski demikian mereka tetap melakukan negosiasi misalnya dengan menyekolahkan anaknya ke kota, membeli alat tekhnologi, dll. Mereka melakukan negosiasi meski di waktu dan tempat tertentu, menggunakan alat tekhnologi tidak diperbolehkan.
Kemunculan pemangku adat dalam dunia politik terlihat ironis jika disandingkan dengan pemahaman dan nilai-nilai keluhuran mereka. Kita seolah dapat melihat jika keprimitifan seolah-olah menjadi jualan untuk mendapatkan kekuasaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak penyelenggaran festival kebudayaan. Lokalitas digembar-gemborkan untuk promosi wisata. Gerai-gerai dimodifikasi dalam lokalitas sehingga memiliki nilai jual. Orang-orang berbondong-bondong semakin mengagumi kampung, ritual, dan segala keprimitifannya. Para pemegang modal mengambil kesempatan demi hidup yang berlimpah kapital.