Jakarta, Lontar.id – Biasanya, jika ada kejahatan, semisal penodongan, pembunuhan, pembegalan, selalu disangkautpautkan dengan preman. Namun, apakah mereka sudah bisa masuk dalam kategori preman?
Berbicara soal preman, dulu sekali, pada tahun 70 hingga 80-an, banyak orang-orang yang meresahkan di Jakarta. Mereka kerap menganggu orang-orang atau lingkungannya, dengan memalak dan berbuat kriminal.
Tahu hal begitu, mantan Presiden Indonesia yang kedua, Soeharto, mengambil inisiatif untuk membereskan orang-orang tersebut dengan cara membuat operasi ilegal untuk memberi efek jera pada masyarakat demi terciptanya keamanan.
Operasi ilegal itu dinamai penemebakan misterius atau Petrus. Dalam buku Suharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, ditulis bahwa Petrus dilakukan dengan menculik dan membunuh orang-orang yang dianggap menggangu keamanan masyarakat, kemudian mayatnya digeletakkan begitu saja di pinggir jalan.
Meski begitu, dalam beberapa kesempatan, masih ada juga yang menginginkan bahwa sebaiknya hal begitu kembali dilakukan. Apa sebabnya? Orang-orang tua menganggap kalau itu jalan paling ampuh untuk melawan kriminalitas.
Para orang tua dahulu, mengaku lebih senang dengan cara Soeharto menyelesaikan masalah. Meski sekarang, hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan tidak diperbolehkan. Bisa jadi, jika tetap memaksa untuk begitu, maka kecaman silih berganti akan datang.
“Lebih baik dilakukan kembali Petrus kalau begini,” ujar Yusuf, setelah banyaknya korban yang berjatuhan di jalanan disebabkan tindak-tanduk geng motor yang meresahkan di Makassar, beberapa waktu lalu.
Hal tersebut cukup beralasan, karena saat polisi menangkapnya, kejahatan tersebut makin menjadi-jadi. Penangkapan diekspose terus menerus, tetapi para pelaku bisa lolos dengan mudah. Alasannya, mereka masih di bawah umur.
Lagipula, setelah ditangkap, tercipta dendam baru lagi. Terbukti, dalam beberapa kasus, para kawan begal di Makassar, mengunggah tulisan untuk meneror siapa saja yang menangkap dan mengganggu temannya. Ini bukan isapan jempol belaka.
Polisi bukannya diam saja. Ia terlibat aktif memberantas preman-preman cilik ini. Ia menangkap bahkan menembaki mereka yang sudah mencelakai polisi. Ada yang cacat, bahkan ada juga yang tewas di ujung bedil. Semua seakan punya alasan untuk saling membalas.
Bahkan seorang pewarta dari televisi swasta, beberapa tahun silam, pernah ditikam pahanya, karena dianggap telah merusak eksistensi mereka. Pewarta itu bahkan butuh waktu lama untuk berjalan normal, karena luka parah yang dialaminya.
Kita semua yakin, tak ada yang bisa membawa kembali cara Soeharto menangani preman-preman seperti dulu. Apalagi, jika pelakunya remaja yang belum cukup umur.
Undang-undang perlindungan anak dan hak asasi manusia, makin tebal di negara ini, setelah rezim Soeharto dikoyak demonstrasi dan ditekan masyarakaratnya sendiri.
Meski begitu, banyak pula yang yakin, siapa saja bisa berpotensi untuk mengulang masa keemasan sekaligus masa silam yang kelam sewaktu Soeharto memimpin Indonesia.
Omong-omong, sebenarnya apa sih preman itu? Preman tidak diketahui dengan jelas kapan penggunaan istilahnya. Namun, dari sumber Kompas, yang diulas Agnes Pandia, preman pertama kali dikenal di Medan, Sumatra Utara sejak zaman Belanda.
Kata preman ditulis berasal dari bahasa Belanda yakni vrijman, yang artinya orang yang tidak terikat kontrak kerja, sedangkan dalam bahasa Inggris istilah preman berasal dari kata Free Man yang artinya orang bebas.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengertian preman makin berubah, bukan lagi soal revolusioner dengan muatan melawan penjajahan, melainkan ke arah yang negatif dengan merugikan anak bangsa sendiri.
Menurut Kunarto, dalam tesis Luthfie Sulistiawan berjudul Pemberantasan Aksi Premanisme di Kawasan Pasar Tanah Abang oleh Polsek Metro Tanah Abang, disimpulkan bahwa preman adalah orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena pengaruh keberadaannya.
Bisa juga mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sehingga untuk bertahan hidup, mereka rela berbuat apa saja yang dapat menghasilkan uang. Mereka melihat di sekelilingnya ada orang-orang penakut yang dapat dimintai uang, ketika meminta uang, mereka melakukakan tekanan-tekanan fisik dan psikis terhadap korbannya, agar mereka mau memberikan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sikap, tindakan, dan perilaku para preman bisa disebut sebagai premanisme. Jadi, ada orang yang bukan preman, namun melakukan tindakan premanisme. Tetapi kalau preman, pasti melakukan tindakan premanisme.
Dalam banyak kasus, pelaku-pelaku pembunuhan banyak ditekan untuk dihukum mati. Namun, hal itu tampaknya sulit ketika diperhadapkan dengan hukum saat ini. Ada yang cuma dipenjara beberapa tahun, ada juga yang dipenjara puluhan tahun.
Atas realitas itu pula, sering kali aku mendapat omong sinis orang-orang yang tak terima dengan keadilan. Bahwa sebaiknya, nyawa dibayar nyawa. Hukum dibilang tidak adil. Bunuh orang dapat penjara, tidak bunuh orang bisa dihukum mati.
“Yang mana dibilang hak asasi kalau sudah begitu?” Ingin sekali aku bilang, kalau hak asasi banyak turunannya, termasuk hak untuk hidup. Hak asasi manusia adalah pernyataan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya, karena ia adalah seorang manusia.
Nah, lebih jauh, hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan, bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan tidak seharusnya dibunuh oleh manusia lainnya.
Dalam kasus seperti Munir Said Thalib, jelas itu adalah pelanggaran HAM dari bagian hak asasi pribadi. Ia bebas berpendapat sesuai norma yang berlaku. Ia berhak mengkritik. Namun, ujungnya, ia kerap diprepresi dan ditekan aparatus pemerintah karena omongannya.
Hak untuk hidup sendiri seperti contoh saat terbunuhnya Munir. Ia tidak berhak untuk dibunuh, sebab ia punya hak untuk hidup. Ada skema hukum untuk melawan ucapannya, jika gagasannya tidak patut. Intinya, melenyapkan orang dan membatasi kebebebasan berkumpul di ruang publik, adalah melanggar HAM.
Lantas mengapa hal krusial itu tidak dibahas dalam pilpres kali ini, yang memberi kesempatan bagi Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Amin? Tidak pentingkah? Atau takut ada yang terjegal? Semua orang bebas bikin penafsirannya masing-masing. Semua orang boleh menganggap itu hal tidak penting atau penting.
Maka biarkan aku curiga, elite kita barangkali sedang memelihara preman atau memelihara orang baik yang di kepalanya penuh premanisme, atau merekalah preman dan pemilik pikiran premanisme itu sendiri?
Jika sudah begitu, mau pakai pola Petrus dan menembaki penjahat di sisi politisi busuk di dua pasang calon pujaan kita, atau hukuman soal ham dan hak untuk hidup, yang tidak pernah jadi pembahasan mereka, kawan? Ah, dunia ini memang ladang untuk menabur percaya dan menumbuhkan kecewa.