Lontar.id – Basuki Tjahaja Purnama (BTP), telah keluar dari tahanan Markas Besar Brimob, Kelapa Dua, Depok Jawa Barat pada 24 Januari 2019 lalu. Keluarnya seorang politisi yang dikenal ‘kasar’ ucapannya pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ini, diprediksi bakal memperkuat barisan pendukung petahana Jokowi-Ma’ruf di pemilu nanti. Sebab, antara BTP dan Jokowi, dua politisi yang tak bisa dipisahkan. BTP menjadi bawahan Jokowi sekaligus menggantikannya, setelah Jokowi terpilih sebagai presiden pada 2014 lalu bersama Jusuf Kalla.
Tepat pada 8 Februari 2019, BTP resmi menjadi kader PDIP wilayah Bali. Alasan BTP masuk di partai moncong putih ini, karena memiliki kesamaan ideologi dan perjuangan. Bergabungnya BTP di PDIP, semakin menujukkan keseriusannya jika mantan Gubernur Jakarta ini, bakal all out memenangkan Jokowi di periode ke duanya. Paling tidak simpatisan BTP melunak melego suaranya, meskipun BTP masuk di penjara salah satunya karena pernyataan Ketua MUI, Ma’rif Amin yang memperkuat jika BTP benar-benar telah menistakan agama (Islam) dengan mengutip Surah Almaidah waktu itu.
Masuk di penjara, bukan malah membuat BTP menyimpan dendam kesumat pada Ma’ruf Amin, sebab di penjara BTP banyak belajar mengendalikan diri dan akhirnya ia menemukan ‘arti’ kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin di sana ia belajar tentang memaafkan, memaafkan orang yang menjerumuskan dalam penjara dan memaafkan dirinya sendiri. Dia juga mengatakan, bila tetap menjabat sebagai gubernur, BTP hanya bisa menguasai Balai Kota, namun setelah dirinya berada di dalam penjara ia belajar menguasai diri.
Di sana juga ia banyak membaca buku, kitab suci hingga membuat band dalam penjara.
“Kalau saya tidak ditahan, saya hanya akan menjadi Gubernur yang menguasai Balai Kota selama lima tahun, tapi kalau di penjara saya banyak belajar menguasai diri yang waktunya seumur hidup,” kata BTP, pada Rabu (30/1).
Pemilihan Umum (pemilu) semakin dekat, tinggal menghitung hari lagi. Namun gebrakan BTP mengkonsolidasikan suara untuk Jokowi, belum terlihat hingga saat ini. Bukannya di waktu sekarang ini, BTP seharusnya sudah memperlihatkan diri jika memang benar ia akan berjuang mati-matian memenangkan Jokowi-Amin di Pemilu 2019.
Jika menelisik persaingan kedua kandidat, Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi saat ini, memang sulit memprediksi siapa yang bakal menang. Namun secara garis umum, melihat relawan, kader partai dan animo masyarakat terhadap pilpres ini, Prabowo-Sandi mendapatkan keterterimaan masyarakat cukup besar, ketimbang petahana.
Meskipun pada beberapa lembaga survei, kita menyaksikan petahana Jokowi-Amin selalu berada di puncak survei, sedangkan Prabowo-Sandi berada jauh di bawah. Tetapi tak sepenuhnya kita bisa mempercayai kerja-kerja lembaga survei saat ini, karena kita tidak tahu siapa pendonor anggaran yang membiayai mereka dan kepada siapa mereka mengekor.
Jadi hasil survei sekarang tidak bisa dijadikan sebagai patokan, bahwa calon yang berada di posisi teratas, bisa memenangkan pilpres. Terlebih lagi jumlah responden yang digunakan hanya mencapai 2000 orang, menurut saya tidak merepresentasikan suara pemilih Indonesia. Jika hasil survei dijadikan sebagai pemetaan untuk mengukur kelemahan dan kekuatan lawan, maka lembaga survei bisa dijadikan patokan, namun berbeda halnya jika memotret kemenangan kandidat.
Kembali pada BTP. Jelang pemilu ini, ia seolah hilang dari pentas politik, hilang entah kemana. Ditengah arus politik yang semakin meningkat dan kubu Jokowi semakin tersudutkan berbagai isu, seharusnya BTP muncul dengan gerakan baru, membalikkan keadaan.
Setidaknya gekaran BTP ini bisa membendung arus kekuatan Prabowo-Sandi, meskipun tidak mampu menandinginya. paling tidak BTP sudah berusaha sekuat tenaga bekerja maksimal agar Jokowi bisa menang lagi.
Mungkin kita akan beranggapan, BTP lebih memilih calling down terlebih dahulu, menikmati masa-masa kebebasannya bersama calon istrinya Puput Nastiti Devi, pergi berlibur ke luar negeri. Jika demikian, masihkan Jokowi mampu mempertahankan posisinya sebagai presiden dua periode, atau mengalami nasib sama seperti Megawati, gagal di periode ke dua.