Jakarta, Lontar.id – Aku selalu mencoba untuk terus bersabar ketika sedang ada sentimen agama yang disebar di media sosial. Sebab aku tahu, kemarahanku tidak akan menciptakan apa-apa kecuali kemarahan yang ditularkan pada orang lain.
Di kehidupan nyata yang dibawa ke media sosial, sentimen agama selalu menghampiri sebuah kompor dan bersiap untuk dibakar. Omongan-omongan provokasi lantas membuatnya tersebar, seperti bagaimana api disiram minyak tanah.
Hal ini membuatku selalu tersenyum. Aku tidak ingin terlalu jauh untuk menyambangi hukum-hukum agama lewat ayat-ayat yang biasa disebar. Sungguhlah diriku benar-benar tidak paham. Berat untuk membincangkan sebuah kesakralan seperti agama.
Mataku terbuka saat aku merasa sendiri bagaimana diseret dalam sentimen agama. Marah? Iya, aku marah. Tetapi melihat ujungnya, kemarahanku akan menimbulkan kerusakan yang dahsyat. Konflik akan pecah. Mayoritas akan menindas minoritas jika kabarnya aku sebar di media.
Isu itu bisa saja cepat menyebar jika saja aku tidak meredakan emosi sendiri. Ibu saya juga menahan untuk tidak marah. Jalan terbuka lebar untuk membakar kebencian, sebab saya seorang jurnalis, dan bekerja di perusahaan media yang cukup besar di Makassar.
Menjadikan singgungan keagamaan itu menjadi berita, bisa besar dampaknya. Awal dari itu semua adalah, sewaktu adikku, sebab menganggur dan tidak kuliah, memilih untuk bekerja di sebuah toko bahan bangunan.
Adikku bekerja dari pagi, dan pulang sore hari. Setiap hari, aku mengantarnya, dan biasanya, jika waktuku lowong, aku akan menjemputnya. Kebetulan saja karena tempatnya bekerja sangat dekat dengan kantorku.
Adikku mencintai pekerjaannya. Lagipula gajinya, meski tidak banyak amat, tetap ia syukuri. Minimal, ia bisa membeli kuota untuk ponselnya dan macam-macam makanan ringan yang ia bisa nikmati sewaktu matanya lapar.
Hampir selama beberapa bulan, adikku tidak pernah mengeluh. Tibalah saatnya, saat ia meminta undur diri dari pekerjaannya. Ia kemudian berdiskusi dengan keluarga hingga akhirnya ia menyebut alasannya.
Ingatanku mengulang lagi satu momen buruk, di mana, di Makassar, pernah terjadi pengganyangan etnis tertentu. Toko-toko mereka, yang diganyang itu, dihancurkan massa yang beringas di Makassar. Ada yang dibakar. Masa-masa itu benar-benar menakutkan.
Jualan-jualan mereka dijarah. Seorang perempuan dari etnis tertentu itu, bahkan memohon-mohon untuk tidak dibantai dalam kejadian itu. Cerita ini nyata. Bahkan para orang-orang tua di Makassar, masih mengingat masa kelam itu.
Para aparat dikerahkan untuk melindungi toko-toko etnis tertentu di Jalan Somba Opu. Toko-toko mereka, di Somba Opu, adalah toko emas. Bayangkan, jika kemarin mereka ikut diganyang, maka bagaimana perekonomian Makassar setelahnya?
Dari kejadian itu, rasisme di lingkunganku masih tetap dirawat baik-baik. Semua dipupuk dari kejadian seorang tetnis tertentu itu, dengan kalap menebas seorang anak kecil yang berumur 9 tahun sampai tewas.
Tetapi aku tidak ingin ikut untuk membenci mereka. Etnisnya tidak ada hubungannya. Aku malah punya kawan yang baik, seorang pengusaha roti yang cukup besar di Makassar. Orangnya penuh perhatian.
Jika ke rumahnya, senyumnya selalu manis. Ia bahkan memberiku roti yang lembut, bagelen, dan kue-kue yang manis bercampur gurih, secara cuma-cuma. Jika ingin kubayar, ia menolak. Tidak tampak padanya kalau kabar sentimen rasial yang sering diceritakan orang, mengarah padanya.
Di meja kerjanya, bersama ibunya, aku ingat betul kami membahas kehidupan mereka. Kami tertawa-tawa. Cara berbisnis mereka memang selalu total. Mereka mau menabur sampai beberapa rupiah pun, demi belajar membuat roti di luar negeri.
Keluarga mereka semuanya ramah padaku. Bahkan dalam satu kesempatan, ia memintaku untuk membuat sepotong kalimat liris sebagai hadiah ulang tahun kakeknya, si pembuat roti manis, yang pertama kali melambungkan nama toko rotinya di Makassar.
Kembali ke adikku, alasan ia mundur adalah karena ia dilarang untuk melakukan salat Asar. Barangkali bosnya khilaf. Bosnya itu non muslim, minoritas, dan ia dari kalangan etnis tertentu. Aku marah, dan coba untuk diam dulu. Duduk. Meminum air putih.
Ibuku langsung dengan cekatan berujar, jika adikku sebaiknya mengundurkan diri saja. “Tidak bagus kalau bosmu begitu. Lebih baik keluar saja. Cari pekerjaan lain,” ujarnya, sewaktu duduk di depan televisi.
Pada akhirnya harus aku katakan, jalan keluar terbaik bagi adikku adalah mengikuti perkataan ibu. Menyeretnya dalam pusaran konflik keagamaan tidak pernah patut aku gubris atau perpanjang.
Hingga kini aku tidak pernah lagi dendam pada orang atau kepercayaannya. Sebab aku tahu, ia khilaf. Aku tidak pernah menyebutnya intoleran. Sekarang, muatan kalimat itu benar-benar membuat ruang publik tercemar dan gampang menyulut api emosi.
Jika toh kubuat ramai isunya, tidak akan menghasilkan apa-apa juga kecuali peperangan, mengulang sejarah pengganyangan, saling umpat benci dan kerukunan umat beragama di Makassar bisa rusak.
Meski itu fakta dan aku bisa verifikasi langsung kepada pemilik toko, tetapi lebih baik diurungkan. Satu maslahat jika mengundang ribuan mudarat, buat apa? Apa aku menjadi penari di atas isu panas itu demi sebuah klik dan viral di media sosial?
Setelah hal itu terlewati dengan tenang. Hari-hari ini, dalam nuansa politik yang berpotensi bisa membenturkan sesama manusia, sentimen keagamaan lagi-lagi disebar. Ini bukan lagi melihat fakta, melainkan melihat sebuah hasil olah berita yang jurnalis lakukan.
Isu sensitif pertama yaitu pemotongan nisan salib di Makam Purbayan Jogjakarta. Mendiang Albertus Slamet Sugihardi, terpaksa harus dipotong nisannya oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede.
Foto nisan salib yang terpenggal itu lalu viral dan dijadikan bahan untuk mengintimidasi agama satu dan agama yang lain. Nilai agama yang kuanut, disinggung. Kalimat-kalimat pengguna media sosial, jika sudah begitu, tidak lagi baik untuk dilihat. Tentu saja masih ada kecuali. Tidak semua.
Semasa hidup, Slamet bahkan bersedia menjadi pelatih paduan suara ibu-ibu Muslim di lingkungan Purbayan. Walau begitu, kesepakatan tetaplah kesepakatan. Warga, keluarga almarhum, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, sudah menyetujui aturan agar tidak membolehkan ada simbol-simbol agama Nasrani di makam tersebut. Persoalan sudah lewat, semoga saja keluarga Slamet dan warga sekitar tetap rukun.
Terbaru adalah, soal Slamet Jumiarto beserta istri dan dua anaknya yang ditolak menetap di suatu daerah, karena persoalan beda agama dengan masyarakat mayoritas. Daerah penolakan itu di RT 08, Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta.
“Apa untungnya sih menyebar berita seperti itu dan memanasi orang?”
Kawanku nyeletuk. Aku menjawabnya dengan sederhana, kalau tugas jurnalisme lah yang mengabarkan fakta itu. Ia kemudian menjawab, “kalau dibaca orang lain yang berada di daerah mayoritas non muslim, bisa terjadi apa kira-kira?”
Aku diam. “Berpotensi umat mayoritas, akan menindas penduduk minoritas yang muslim. Efek berita seperti itu bisa liar dan digiring ke arah yang salah oleh netizen,” kawanku menjawab sendiri pertanyaannya.
Semoga potensi itu pupus dengan sendirinya. Sebab, jargon-jargon masyarakat sudah cerdas, selalu membuat saya tersenyum bangga. Semoga kita semua bisa saling menjaga nilai luhur agama masing-masing.
Semoga saja media kita, nanti, bisa melihat dampak nyata berita sebelum diterbitkan. Sebab, terkadang, kita selalu ingin terburu-buru demi mengejar klik, tanpa pernah menimbang efek berita yang dibuat.