Kita boleh kecewa pada Jokowi, boleh pula tak percaya pada Prabowo.
Tapi kita harus akui, faktanya mereka adalah dua orang putra terbaik bangsa.
oleh: Agus Taufiq
Jokowiadalah kisah nyata seorang rakyat biasa yang bisa menjadi manusia luar biasa. Impian banyak anak desa, doa dari semua orang tua untuk anaknya. Ini bukan sinetron dan dongeng, ini nyata, seorang anak pinggir kali, yang harus pindah rumah berkali-kali karena tak mampu bayar sewa juga kena penggusuran dari angkuhnya kehidupan kota.
Beliau lahir dari anak tukang kayu, pembelajar keras yang akhirnya mengantarkan dirinya masuk ke Jurusan Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), salah satu kampus baik yang tak semua orang mampu meraihnya.
Beliau bukan aktivis mahasiswa, tak punya nama di zamannya.
Jokowi memilih menepi dari politik kampus, ia lebih suka naik gunung di akhir pekan, hingga akhirnya secara bertahap merintis bisnis dan menjadi pengusaha mebel di Surakarta. Ya doa jutaan orang tua, “bapak kuli, semoga kamu bisa jadi insinyur”.
Jokowi adalah kisah nyata perjuangan anak miskin yang mengangkat derajat keluarganya melalui pendidikan dan kerja keras.
Jokowi bukan kader asli yang dibesarkan partai, ia awalnya diminta menemani F.X. Hadi Rudyatmo (PDIP) yang enggan maju sebagai walikota Solo karena khawatir dengan isu agama dan memilih menjadi wakil Jokowi yang diprediksi lebih bisa diterima publik Solo karena seorang muslim.
Jokowi menghadirkan kepemimpinan gaya baru di Solo, berdialog dengan masyarakat yang akan di relokasi, menggusur dengan sangat manusiawi, bahkan dengan PKL dikirab layaknya festival budaya, dikawal satpol PP layaknya pejabat. Tak ada kekerasan, pengggusuran itu dibuat menyenangkan.
Tak heran, ia menang mutlak dalam periode kedua kepemimpinanannya di Solo. Kecemerlangannya dalam memimpin mengantarkan beliau menapaki jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta (2012) hingga menjadi Presiden RI (2014).
Prabowo adalah putra mahkota dalam berbagai kisah. Putra terbaik dalam segala aspek. Kakeknya adalah Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo, beliau juga Anggota BPUPKI dan Ketua DPAS pertama. Ayahnya adalah begawan ekonomi legendaris republik ini, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo, yang namanya diabadikan menjadi nama gedung di Kementerian Keuangan. Soemitro juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Menristek, Menteri Perindustrian dan Perdagangan di Era Soekarno dan Soeharto.
Soemitro juga terkenal sebagai kritikus yang berani dengan keras menentang kebijakan-kebijakan ekonomi Soekarno dan Soeharto yang dianggap tidak pro rakyat. Bahkan pernah menjadi buron ke luar negeri di masa pemerintahan Soekarno karena dianggap terlalu vokal dan berbahaya. Saat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Soemitro pernah “didiamkan” tak disapa Bu Tien Soeharto selama setahun karena menolak memberikan hak istimewa dalam perdagangan.
Prabowo lulus sekolah menengah di usia 16 tahun, lebih muda dari sebayanya. Di usia 17 tahun, Prabowo bersama aktivis legendaris Soe Hok Gie mendirikan LSM Pembangunan, yang fokus pada pembangunan desa dan merupakan LSM Pertama di Indonesia. Di tengah keluarga intelektual, yang sangat berkecukupan, ia justru memilih jalan berbeda menjadi prajurit bangsa. Prabowo adalah lulusan Akademi Militer tahun 1974.
Meski di militer, Prabowo tetap mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Beliau terkenal sebagai tentara yang paling rajin membaca dangan koleksi buku yang sangat banyak dan menguasai 4 bahasa asing, yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman. Prabowo berkali-kali dikirim mengikuti pelatihan dan kursus di luar negeri tahun 1974, 1975, 1977, 1981.
Beliau juga pernah mengenyam pendidikan _Counter Terorist Course Gsg-9_ di Jerman dan _Special Forces Officer Course_ di Fort Benning USA. Beliau bersama Putra Raja Yordania menjadi lulusan terbaik dari pendidikan militer yang diikutinya di Amerika. Beliau juga malang melintang tugas tempur di hutan belantara Papua, Aceh dan Timor Timur.
Selain tugas untuk PBB Percayalah, isu Jokowi akan membangkitkan PKI dan Prabowo akan mendirikan Khilafah hanyalah permainan _buzzer_ untuk menakut-nakuti kita. Jokowi jelas masih berusia lima tahun saat PKI dibubarkan, ayahnya pun jelas bukan intelektual PKI, hanya tukang kayu yang tak tahu urusan politik PKI.
Prabowo, meski diidentikkan dengan ABRI Hijau dan sangat dekat dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) milik B.J. Habibie di tahun 1998, nyatanya ibu dan adik Prabowo adalah seorang nasrani. Prabowo dan ayahnya muslim. Saat natal maupun lebaran, mereka merayakan bersama-sama. Begitulah keberagaman dan toleransi yang hidup di keluarga Prabowo.
Prestasi Jokowi dan Prabowo
Jokowi pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik dunia. Pun begitu dengan Prabowo yang mampu meraih banyak prestasi saat memimpin kopassus dan membuat kopassus menjadi salah satu satuan elit terbaik di dunia dan pasukannya memiliki kesejahteraan di atas rata-rata.
Jokowi sukses dengan Asian Games, kita semua dibuat terpesona dengan upacara pembukaan dan penutupan yang luar biasa. Tapi jangan lupakan bahwa medali terbanyak yang mengatrol peringkat Indonesia adalah cabor Pencak Silat yang dibina oleh Prabowo sebagai ketua IPSI.
Akuilah, mereka berdua ada putra terbaik bangsa. Hanya berbeda gaya bahasa, Jokowi yang orang Solo tulen khas dengan keramahan dan suara lembutnya, gaya yang santai dan banyak bercanda. Kita semua tentu senang dengan gaya kepemimpinan yang asik dan merakyat. Beliau membawa gaya baru dalam definisi pemimpin di Indonesia.
Prabowo setengah Banyumas (Ayah) dan setengah Minahasa (Ibu).
Banyumas memang ibarat Bataknya Jawa. Gaya Banyumasan lebih tinggi nada suaranya, sedikit ceplas ceplos dan terbuka dibanding jawa bagian Joglosemar (Jogja Solo Semarang) dengan tata bahasa krama inggil. Ditambah ibu yang dari Sulawesi dan latar bekalang militer. Wajar gaya bicaranya tegas dan berapi-api. Tapi tentu kita semua bangga jika punya pemimpin yang mampu berorasi dengan lantang dengan bahasa inggris yang fasih dalam memperjuangkan Palestina dan negeri tertindas lainnya di depan rapat PBB dan forum-forum internasional.
Jadi, baik gaya yang santai ataupun berapi-api ini hanya masalah selera pemilih saja, yang terpenting adalah keberpihakannya pada rakyat.
Jika Jokowi bukan orang yang baik tidak mungkin Prabowo memperjuangkannya untuk maju sebagai Gubernur DKI, dimana dulu Megawati hampir tidak merestui, tapi Prabowo yang memperjuangkan.
Sebaliknya, Anda yang meyakini Jokowi adalah orang baik, artinya harus juga meyakini Prabowo adalah orang baik. Karena munculnya Jokowi ke Jakarta tak lepas dari perjuangan Prabowo dan adiknya yang menyokong dana kampanye Jokowi.
Jadi, stop terbawa arus informasi yang menghayutkan kita menjelek-jelekkan personal Capres. Kita harus kritis terhadap kebijakan dan program para Capres, tapi bukan menjatuhkan personalnya.
Kritik kebijakan dan programnya, bukan personalnya atau latar belakang keluarganya.
Tugas kita berikutnya adalah mempelajari program yang ditawarkan dan mengenali siapa-siapa saja yang berada dibalik Sang Capres pilihan. Karena kita telah sepakat keduanya orang baik, tinggal kita menilai orang-orang di sekitar mereka.
Bagi yang tetap ingin menyerang personal Jokowi dan Prabowo, pertanyaan sederhananya:Apakah anda sudah lebih baik dari Jokowi dan Prabowo?
Salam kampanye sejuk!pemilu damai! dan 17 April nanti, selamat memilih salah satu diantara dua putra terbaik bangsa.