Jakarta, Lontar.id – Momen ini bikin haru. Pemimpin umat Katolik dunia Paus Fransiskus berlutut dan mencium kaki Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir. Ini jarang terlihat. Kita biasanya melihat momen ini saat lebaran di Indonesia serta sungkeman.
Mencium kaki adalah penghormatan sebagai pengampunan dosa. Simbol itu tentu saja hanya satu yang kusebutkan, dan masih banyak tafsir yang bisa menyebutkannya. Sayangnya, Salva Kiir bukanlah Tuhan.
Tetapi tidaklah masalah, sebab berlutut dan mencium kaki tanda Paus sedang berserah dan meminta agar Sudan berhenti berperang. Ia memohon. Sebab apakah guna perang selain dampaknya yang bikin mampus dan menciptakan dendam baru?
Di Indonesia, kita semua baru saja ribut-ribut soal perang. Setelah Jokowi dan Prabowo berdebat di layar televisi. Anggaran perang harus ditingkatkan. Saling tembak. Di tengah dari itu semua, anggaran iman untuk berperang dengan nafsu, menurun drastis tiap tahun.
Jika tak ingin Anda ditunjuk, biarlah aku yang merasa begitu. Degradasi iman dari tahun ke tahun, membuatku kadang berpikir, apakah aku sudah benar-benar bisa mengikat nafsuku yang kadang melebihi liarnya seekor kuda?
Nafsu berkomentarku bahkan lebih besar semenjak ada media sosial. Contohnya, saat kukomentari para penghujat dalam kasus Audrey, yang belakangan ramai dibicarakan. Karenanya, mereka balik mengomentariku dan menyuruhku untuk jangan sok bijak.
Kalimat-kalimat begitu kerap kali mengganggu pikiranku yang rentan untuk berpikir omongan orang. Jika diam, mereka akan terus menerus percaya diri untuk memaki. Jika diberi tahu, maka terjadi perdebatan sengit. Itulah perang. Tetapi apakah kita harus selamanya bisa diam?
Tetapi lebih jauh dari itu, perdebatan soal perang urat saraf dan apa saja, setahuku pernah berakhir dengan bahasa kebaikan. Bahasa dari dada seorang ibu. Doa yang mengalir ke langit milik Tuhan Semesta Alam.
Di sebelah rumahku, di Makassar, dulunya ada satu momen penghambaan tentang bagaimana seorang ibu dan anaknya, bertukar untuk menghamba satu sama lain.
Seorang anak dari seorang ibu yang sudah lama ditinggal mati suaminya itu, adalah seorang junkie kelas berat. Tubuhnya kurus kering. Tampak menyedihkan. Memakai narkoba memang bukan gaya hidup, sebab membuat diri sendiri tampak buruk dan beloon.
Sebuah mobil yang disimpan di depan rumah dan barang berharga yang disimpan di rumah putih dua lantai itu, hilang. Seorang pemakai sudah menjualnya. Ia butuh uang. Tetapi seorang ibu sabar dan tetap menuruti apa saja kemauan anaknya.
Tak ada tangisan. Kata ibuku, yang mendengar kisah itu, kalau ibu dari seorang anak lelaki yang badannya kerempeng itu sudah ikhlas. “Ya, mau bagaimana lagi?” Saat itu, aku masih sangat kecil. Belum tahu bagaimana kenakalan remaja pada medio 80-90an.
Seorang anak lelaki itu, yang sering memanggilku ke rumahnya, sering mengajakku bermain gim, sewaktu gosip liar tersebar kalau ia seorang pemakai kelas berat. Hobinya bermain balapan rally.
“Siapa pembalap kesukaanmu, Kak?” Kataku padanya suatu kali, sebelum ia meninggal. “Colin Mcrae.”
Sayangya aku adalah seorang anak yang tak suka dengan gim rally. Aku tidak mengerti. Aku suka gim balapan sepeda dan balapan motor, juga Dragon Ball. Masa kecilku sungguh mengasyikkan.
Tiba-tiba saja, kakak yang biasanya kutemani bermain gim di kamarnya, terkena penyakit yang aneh. Tubuhnya sering berkeringat, kulitnya berbelang hitam besar, dan tak ada lagi yang ingin mendekatinya.
Perang terhadap narkoba menjadi salah kaprah, karena menjauhi orangnya seakan-akan pemakai itu hina. Bisik-bisik tetangga membuat keadaan makin runyam.
“Jangan dekat padanya. Nanti kautertular HIV.” Aku tidak memperdulikannya. Seorang kakak yang tinggal tak jauh dari rumahku, sungguh baik. Aku tak enak hati jika jijik dan menjauhinya.
“Bolehkah aku meminta minum?”
Tentu saja aku mengambilkannya minum, setelah ia datang tergopoh-gopoh dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya. Tampaknya ia kelelahan sekali. Belang di kulitnya makin membesar. Setelah ia minum, aku mengambil gelas kaca bening yang kuberi dan mencucinya dengan bersih.
Kabar duka akhirnya datang. Lelaki kerempeng itu meninggal. “Ia meninggal dengan momen yang baik sekali,” kata ibu padaku. Aku bertanya balik, memangnya ada apa. “Ia berlutut, mencuci kaki ibunya dan meminum airnya. Setelah itu ia meminta maaf karena sering merepotkan dan bikin ibunya susah.”
Ibu lelaki yang gemar main gim itu, kata ibuku, merestui anaknya pergi jauh semabri terisak pedih. Ibu anak itu, selama anaknya hidup, sama sekali tidak menjauhi anaknya meski sakitnya parah.
Tidak peduli apa kata orang. Tak ada pula dendam kesumat karena sudah rugi harta. Ia sama sekali memaafkan buah hatinya. Begitulah bahasa kasih. Ia memilih damai dengan masa lalu dan membuka maaf selebar-lebarnya.
Dan kabar Paus Fransiskus berlutut serta mencium kaki Presiden Salva Kiir mengingatkanku pada cerita di atas. Paus mendesak Sudan Selatan untuk menjaga perdamaian dan tidak lagi perang saudara.
“Aku memintamu untuk menjaga perdamaian. Saya bertanya dengan hati saya, mari kita maju. Akan ada banyak masalah, tetapi mereka tidak akan mengalahkan kita. Atasi masalah Anda,” ujar Paus Fransiskus di Vatikan seperti dilansir Reuters, Jumat (12/4/2019).
Selain Salva Kiir, para pemimpin di Sudan Selatan tampak terpana melihat gestur Paus Fransiskus. Paus Fransiskus juga menasehatinya.
“Akan ada pergulatan, perselisihan di antara kamu, tetapi pertahankan di dalammu, di dalam kantor, untuk berbicara,” kata Paus Fransiskus.
Sudan, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, dan bagian selatan yang sebagian besar beragama Kristen, berperang selama beberapa dekade sebelum Sudan Selatan merdeka pada 2011.
Sudan Selatan terjun ke perang saudara dua tahun kemudian setelah Kiir, seorang Dinka, menembakkan Machar, dari kelompok etnis Nuer, dari wakil kepresidenan.
Sekitar 400.000 orang tewas dan lebih dari sepertiga dari 12 juta orang di negara itu, memicu krisis pengungsi terburuk di Afrika sejak genosida Rwanda 1994.
Mungkin saja Kiir bisa menjadi ibu dengan menerima kasih. Mungkin juga Paus bisa memberi kasih atau maaf pula. Begitu juga sebaliknya. Anak-anak Paus dan Kiir yang berperang bisa juga ikut dengan titah pimpinannya.
Sebab perdamaian bukanlah sesuatu yang sulit, jika Kiir dan Paus mau belajar berdamai setelah konflik Poso dan Ambon di Indonesia. Jika tidak, mau perang sampai kapan?