Lontar.id – Alangkah senangnya seorang punya kesempatan pergi umrah dan naik haji di Mekkah, Arab Saudi. Melaksanakan ibadah dengan khusyuk bersama keluarga. Di sana Anda bisa memanjatkan banyak rapalan doa-doa dan ritual, meminta diberikan umur panjang, banyak rezeki, mendapatkan pasangan yang saleh dan saleha dan sebagainya. Alangkah bahagianya hidup, bisa mencium aroma surga di sana.
Tentu jika Anda berangkat umrah dan naik haji, harus mempersiapkan uang banyak. Karena ongkos tiket dan biaya hidup di sana selama berada di tanah suci, cukup besar. Jadi sebagian besar orang yang berangkat ke sana, paling tidak sudah menyiapkan budget yang banyak. Misalnya orang di kampung saya, kala berangkat untuk beribadah ke tanah suci. Ia akan menyiapkan duit jauh hari, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dari hasil panen, ada juga yang menjual harta warisannya hanya untuk menyempurnakan ibadahnya.
Poin utamanya, seorang berangkat ke tanah suci untuk mendapatkan rida tuhan dan banyak rezeki. Lalu bagaimana dengan fenomena yang terjadi saat ini, deretan politisi menunaikan ibadah suci, kala momentum politik tiba? Apakah ritual doa mereka dikabulkan, atau sekadar membangun pencitraan saja?
Deretan politisi yang berangkat Umrah saat kontestasi tiba, sudah banyak sekali kita temukan di republik ini. Hal ini juga sudah jadi pemandangan umum di masyarakat kita. Seorang politisi akan tiba-tiba berangkat umrah secara berjemaah bersama dengan para tim sukses atau orang yang dianggap penting menghadap Kakbah.
Seperti baru-baru ini Calon Presiden Jokowi bersama keluarga berangkat ke tanah suci melakukan umrah, seperti diberitakan, Jokowi juga sempat menemui Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud dalam rangka membahas penguatan hubungan bilateral kedua negara dalam bidang ekonomi. Pembicaraan tersebut menyepakati untuk meningkatkan bidang energi dan pariwisata.
Sebagai seorang kepala negara, bertemu dengan penguasa Kerajaan Arab Saudi, itu sudah jadi lumrah. Karena itu menyangkut tugas dan tanggung jawabnya. Namun yang saya ingin persoalkan adalah terkait dengan Jokowi yang berangkat umrah di saat dirinya sebagai capres dan beberapa hari lagi akan dilangsungkan pemilihan secara serentak.
Muncul pertanyaan dalam diri saya, apakah Jokowi berangkat umrah karena benar-benar menunaikan ibadah suci semata atau ada unsur lain, seperti ingin membangun pencitraan semata. Sebab Jokowi selama ini digempur dengan isu tidak sedap karena dianggap ketidakberpihakannya terhadap kelompok muslim di Indonesia.
Jokowi kerap diisukan melakukan kriminalisasi terhadap kelompok ulama, disebut sebagai kader partai terlarang (Partai Komunis Indonesia) meski seringkali dibantah dan isu antek asing atau perpanjangan tangan dari kepetingan asing di Indonesia.
Kita bisa menduga-duga, keberangkatan Jokowi ke Mekkah untuk meredam isu tersebut sekaligus ingin menunjukkan bahwa isu yang bergulir selama momen pilpres tidaklah benar. Tidak benar dirinya anti ulama, buktinya ia menggandeng ulama sebagai wakilnya, demikian juga dengan tokoh agama dan partai Islam Indonesia mendukung dirinya dalam penalonan sebagai presiden.
Berangkat umrah ke tanah suci adalah bahasa tubuh, agar menyakinkan pemilih di Indonesia bahwa Jokowi masih bersama dengan kalangan agama. Ini sebenarnya bukan saja terjadi dengan Jokowi, tetapi begitupun dengan Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno. Dia berangkat umrah tepat setelah usai acara debat Pilpres tahap 5 dilakukan.
Kita semua tentu mengapresiasi seseorang yang berangkat ke tanah suci, apalagi itu merupakan perintah tuhan. Tetapi saya masih meragukan jika mereka ke tanah suci hanya benar-benar beribadah bukan karena ada faktor politiknya. Sangat sulit sekali disangkal jika keduanya beribadah jelang pemilihan berlangsung karena faktor politik. Faktor inilah yang mendorong mereka untuk menegasikan bahwa dirinya adalah seorang yang saleh dan patut mendapatkan dukungan dari kalangan ummat muslim terbesar di dunia.
Kesalehan seperti itu menurut saya hanya membangun sebuah pencitraan pada masyarakat, sebab dengan beribadah pada musim politik akan mendapatkan legitimasi kelompok islam terbesar, dengan harapan dirinya akan mendapatkan dukungan besar dan terpilih sebagai presiden.
Menggunakan jubah agama demi kepentingan politik, menurut saya memanfaat agama sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Tak penting, apakah ke sana untuk mendekatkan diri pada sang pencipta, tetapi yang paling penting adalah hasrat kekuasaan dapat tersalurkan meskipun menggunakan cara seperti itu.
Bukankah kesalehan kepada tuhan itu tidak perlu di umbar-umbar pada orang lain, termasuk mengabarkan pada publik lewwat media sosial bahwa dirinya tengah melakukan ibadah di Mekkah. Yang saya tahu mengumbar diri saat melakukan ibadah adalah perbuatan riyah, ini masuk kategori riyah politik lewat agama.
Seorang teman saya pernah bertanya, apakah doa dan ritual mereka dikabulkan tuhan? Saya tidak tahu persis, soal dikabulkan atau tidak itu urursan tuhan. Tetapi saya kurang sepakat jika berangkat umrah karena ada unsur politik didalamnya, sebab kesalehan yang ditunjukkan bukan murni ingin terlihat sebagai hamba yang ikhlas dan pasrah dihadapan sang pencipta. Jika ingin berangkat umrah, bukankah ada waktu lain yang tepat, bukan disaat Anda sedang jadi kandidat dan jelang pemilu.