Lontar. id – Meminjam istilah yang dipopulerkan seorang politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana Siregar, iklim politik di pemilu 2019 ini ‘ngeri-ngeri sedap’. Ngeri karena pertikaian dua kubu yang bertarung saling menyerang satu sama lain, gunanya tentu kita bisa baca sendiri, yaitu untuk mendegradasi elektabilitas rival di pemilih. Bila elektabilitas rival tinggi maka segala usaha dilakukan, termasuk cara-cara kotor demi meraih kekuasaan.
Belum lagi istilah yang disematkan pada masing-masing pendukung, seperti pendukung Prabowo-Sandi dipanggil ‘kampret’ sedangkan pendukung Jokowi-Ma’ruf disebut ‘cebong’. Nama-nama ini secara etika politik tidak mencerminkan suatu masyarakat sipil yang hidup bersama dalam bingkai harmonisitas. Sebab istilah tersebut lebih merujuk pada penghinaan terhadap diri manusia, dan jauh dari semangat demokrasi yang sedang dibangun.
Kemudian kata ‘sedap’ diartikan bila seorang kandidat sudah mendapatkan kursi jabatannya setelah melewati masa menegangkan dengan membujuk pemilih, untuk memilih dirinya sebagai wakilnya di kursi kekuasaan. Demikianlah politik, seorang harus bekerja keras, turun ke masyarakat menyampaikan visi misi dengan harapan pemilih mau mencoblos dirinya.
Sudah jadi hal lumrah di negeri ini, bila seorang kandidat ingin mendapatkan dukungan dari masyarakat. Bila ia maju hanya mengandalkan modal tampang saja, maka bisa dipastikan ia tidak akan dipilih. Sebab kandidat seperti ini tidak disukai oleh pemilih, bukan karena dia tidak cakap dan tidak punya wawasan luas terhadap permasalahan bangsa, terutama masalah yang menyangkut daerah.
Tetapi karena pemilih kita di Indonesia sudah terbiasa dengan jual beli suara, menukar hak pilihnya dengan lembaran rupiah atau sebungkus bahan pokok (sembako). Maka hanya kandidat yang punya modal besar yang mampu menjawab kebutuhan pemilih dengan membagikan uangnya.
Mengapa perilaku pemilih senang dengan pemberian amplop saat pemilu?
Masyarakat menyakini lingkungan kehidupan pribadinya tidak akan berubah jika si A maupun si B yang akan terpilih. Mereka beranggapan bahwa semua politisi sama saja, mereka datang pada saat masa-masa pemilu tiba, namun setelah terpilih sebagai wakil rakyat maupun kepala daerah, masyarakat ditingalkan dan tak pernah kembali lagi.
Fenomena seperti ini sudah seringkali kita saksikan, para calon wakil rakyat, pada saat mereka membutuhkan suara masyarakat agar dirinya terpilih, maka mereka akan rela mendatangi rumah-rumah warga meskipun medannya sangat sulit dijangkau trasnportasi. Bermacam-macam janji akan diucapkan asalkan terpilih di pemilu, soal ia akan memenuhi janjinya setelah berkuasa itu adalah hal lain.
Saya meyakini bahwa janji politik tidak harus ditepati, sebab jika ditepati bukan janji politik namanya. Sebagai sebuah janji haruslah tetap dipertahankan, hingga musim politik selanjutnya tiba dan membuat janji yang baru lagi.
Kalau kejadiannya sudah seperti ini, apakah masyarakat sebagai pemilih yang menerima amplop dari kandidat atau relawan dapat disalahkan begitu saja, meskipun itu tidak dibenarkan. Karena menjual suara demi mendapatkan uang menciderai tegaknya demokrasi. Saya pikir tidaklah tepat jika masyarakat disalahkan saat menerima amplop, mereka terima atau tidak kehidupan masyarakat tetap seperti itu dan tidak berubah.
Jika berpikir pragmatis, misalnya si A akan memilih si Anu, apakah lantas si A akan berubah hidupnya, paling tidak ia mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji yang layak, ketika si Anu terpilih?
Tentu jawabanya tidak, kampanye dan pemilu sebenarnya pesta para politisi. Setelah usai mereka akan menjadi penguasa dan masyarakat akan kembali pada aktivitasnya setiap hari, mencari sesuap nasi demi menghidupi istri dan anak di rumah. Lalu jika demikian tidaklah salah jika menerima amplop, walau harus menukar dengan hak suaranya.