Jakarta, Lontar.id – Kemarin Allan Nairn jadi pembicaraan warga maya. Apalagi kalau bukan soal pemilihan presiden. Ia menginfomasikan soal Prabowo dan koalisinya.
Semuanya asumtif. Tidak ada gagasan yang membuatku, secara pribadi, harus mempercayai informasinya. Apalagi saat mengaku mendapatkan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Jadi jika ingin infromasinya ditelan mentah-mentah, Prabowo sedang diinteli? Apakah Jokowi sebegitu picik? Dalam lingkaran Prabowo, sudah tidak ada yang bisa dipercaya, sehingga informasi sesakral itu harus bocor?
Isi dari informasi yang disebar Allan sangat provokatif. Sudah beberapa kali Allan membuat informasi yang penting menurutnya. Sewaktu 212 juga begitu. Namun, sayang, informasi yang ia sebar sekarang tidak meledak seperti dulu.
Kupikir informasi itu akan ramai dibincangkan publik. Tak dinyana, alih-alih dibuatkan talk show di televisi soal informasinya, banyak orang yang tidak percaya dan mengkritisi informasi Allan itu.
Meski begitu, banyak juga yang percaya. Ada yang teguh bahwa Allan Nairn adalah pembawa informasi yang kredibel. Ia adalah jurnalis asing yang dianggap bisa diperhitungkan caranya mencari data.
Sebab itu, banyak yang bertanya balik, bahwa Allan tidak mengerti soal persoalan Indonesia yang terlalu rumit untuk sekadar disederhanakan melalui narasi yang dibangun Allan. Ia adalah orang asing yang mengaku paling mengerti perpolitikan di Indonesia.
Tentang orang asing, kita-kita ini ternyata selalu berkaca dari luar. Apa yang dibawa dari luar adalah sebuah kebaikan. Hal yang patut ditiru dan dielu-elukan. Contohnya seperti sepak bola.
Dalam memulainya, sebaiknya tak perlu untuk melebar ke mana-mana. Cukup untuk ranah sepak bola saja. Jika orang Indonesia sedang bermain bola di luar negeri, otomatis kita itu kagumnya setengah mati.
Seperti Egy Maulana Vikri. Bermain di klub luar memang salah satu nilai plus dan enak didengar karena berhasil hijrah. Tetapi jika menghangatkan bangku cadangan, lah buat apa? Tetapi tunggu, meski begitu, bermain di daratan Eropa bisa jadi CV yang baik buat Egy.
Lagipula Egy juga menjadi pemain paling berpengaruh di bawah tangan Indra Sjafri. Bersama Timnas Indonesia, Egy menunjukkan kecintaannya dengan bermain total dan sepenuh hati. Aku sendiri memberi jempol padanya. Masih muda dan berbahaya.
Bukan cuma Egy. Satu pemain yang benar-benar membuatku bingung, mengapa ia bisa ke daratan Eropa adalah Arthur Irawan. Apa yang hebat darinya, sebenarnya? Secara statistik, ia tidak memberi kontribusi apa-apa buat tim di Indonesia, apalagi di luar sana.
Namun, sewaktu namanya melambung di media-media Indonesia. Aku menjadi salah satu orang yang menunggu ia bermain di salah satu klub Spanyol. “Bueh, orang Indonesia main di klub asing. Pasti dia hebat.” Apalagi saat klubnya melawan Barcelona.
Lama menunggu, tak kunjung ia diturunkan melawan Messi dan kawannya. Aku kecewa. Barangkali ia memang bertarung sengit untuk mendapatkan tempat di posisi inti klub bernama Espanyol itu.
Ia pelan-pelan terlupa. Lalu dikabarkan pindah ke Indonesia. Di klub Indonesia dan timnas, ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa di lapangan hijau. Aku coba mengingat lagi, mengapa aku gampang silau dengan pemain yang namanya dibesarkan media?
Itu untuk liga profesional. Di liga tarkam ada juga. Ceritanya, di sebuah warung kopi, bersama seorang kawan, kami bercerita soal liga sepak bola yang biasanya diselenggarakan sebelum bedug azan Magrib terdengar, sewaktu ramadan.
Perhelatan itu memang menarik. Sembari ngabuburit, kita bisa berdiri di samping lapangan dan menonton sepak bola. Bisa juga kita duduk di tanah, menyoraki pemain-pemain yang mainnya bagus.
“Ada juga pemain asing.”
“Heh, memang iya?”
Kata kawanku, pemain asing itu tidak jelas namanya. Ia juga bukan dari satu klub tersohor di Indonesia. Bukan pula yang dipesan dari luar negeri, khusus untuk datang dan bermain di lapangan yang rumputnya tumbuh alami itu.
“Betul.”
“Siapa dia? Dari mana?”
“Dia imigran yang menetap di kampung. Karena belum pulang, makanya ia mencoba cari peruntungan dan sedikit rezeki bermain di liga tarkam.”
“Banyak yang menonton dan mendukung?”
“Banyak. Mainnya tidak terlalu bagus. Sebab asing, ia dapat predikat jagoan. Karena asing.”
“Karena asing?”
“Ya, karena pemain yang asing.”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak, sambil menyadari, kalau sebaiknya kita jangan gampang kagum dengan orang asing. Kredibilitas itu memang perlu. Tapi gak serampangan juga, kali!