Lontar.id – Pernyataan Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013, tentang pemilih Calon Presiden Prabowo Subianto yang tersebar dibeberapa provinsi masuk dalam zona garis keras. Zona garis keras yang dimaksud Mahfud, masuk kategori dalam hal keagamaan atau kepercayaan.
Beberapa wilayah yang diidentifikasi Mahfud sebagai garis keras, seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan. Wilayah ini memang pada Pilpres 2019, merupakan basis pendukung Prabowo-Sandi. Di wilayah ini juga paslon 02 mendapatkan suara yang cukup signifan, sedangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak begitu signifikan.
Intinya beberapa wilayah yang disebutkan Mahfud tersebut, merupakan daerah dengan corak keagamaan yang cukup kuat. Melahirkannya banyak para ulama dan konsisten dengan ajaran agamanya.
Sudah bisa diduga, pernyataan Mahfud menuai kontroversi karena menuding sebagai basis kelompok garis keras. Istilah kelompok garis keras memang akhir-akhir ini merujuk pada konotasi negatif, di mana kelompok tersebut tanpa kompromi dan diskusi akan melakukan aksi kekerasan jika tidak sepaham dan sealiran.
Garis keras juga kerap diidentifikasi pada kelompok yang sedang berjihad (jihad menggunakan cara kekerasan), mereka rela melakukan apa saja, demi menegakkan tujuannya. Garis keras juga seringkali dilekatkan kepada kelompok yang membuat teror atau memicu lahirnya teroris. Meninggalkan tempat tinggal, rumah, keluarga dan bergabung dengan organisasi internasional.
Tapi saya tidak ingin menuding provinsi garis keras dalam keagamaan yang diucapkan Mahfud sebagai kelompok teroris atau yang melakukan imtimidasi. Sebab sejauh ini daerah-daerah tersebut masih aman-aman saja, meskipun ada oknum yang menjadi pelaku teroris, kita tidak boleh gegabah menuduhnya sebagai sarang teroris. Sebab itu akan terjebak pada kesalahan berpikir dan menyinggung perasaan orang lain.
Bukankah dengan menuding provinsi tertentu sebagai kelompok agama yang memiliki pengaruh agama yang kuat, lalu dilabeli sebagai provinsi garis keras. Menurut saya, kesimpulan tersebut terlalu gegabah dan terburu-buru.
Seharusnya dilakukan riset berdasarkan ilmu pengatahuan, apakah memang benar daerah tersebut masuk kategori garis. Sehingga tidak menimbulkan kegemparan di tengah masyarakat dan membuat sebagian orang merasa tersinggung. Apalagi diucapkan oleh seorang tokoh nasional yang punya kredibilitas tinggi.
Menurut pendapat saya, sebaiknya Mahfud MD bisa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat yang bisa memicu lahirnya pergolakan. Sebab tidak semua orang sepaham dan sepemikiran Mahfud yang membenarkan pernyataan tersebut.
Karena ada jutaan manusia yang ‘maaf’ secara intelektual masih sangat jauh bisa memahami dan mencerna kalimat tersebut secara utuh. Sebab setiap manusia masing-masing memiliki kelemahan dan daya wawasan yang berbeda-beda.
Di Indonesia ini, menyinggung soal SARA akan sangat sensitif didengar ketimbang masalah yang lain. Sebab identitas kedaerahan sangat kuat pada setiap insan, meskipun mereka sudah merantau ke negeri orang.
Kita sudah pernah menyaksikan di beberapa kanal televisi, ada sekelompok orang yang menolak si A untuk datang ke daerahnya. Alasannya karena menyinggung soal SARA. Jadi, isu ini sebaiknya jangan digunakan pada masyarakat multietnis, karena akan ada banyak orang yang tersinggung. Sama kasusnya dengan Mahfud, apakah Pak Mahfud juga mau ditolak di daerah yang dituding sebagai provinsi garis keras.
Jika pernyataan Mahfud hanya untuk menggiring opini publik di masa-masa penantian perhitungan real count KPU, sebaiknya jangan menggunakan isu SARA. Apalagi menggunakan isu tersebut untuk memojokkan pendukung Prabowo-Sandi dan melegitimasi kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
Pernyataan lengkap Mahfud MD melalui cuplikan video singkat selama 1 menit 20 detik:
Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun.
Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga.
Saya kira rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau bersatu.