Jakarta, Lontar.id – Kenapa harus mengguduli orang, kalau antipati dengan idenya? Apa hubungannya rambut dengan sebuah gerakan? Tetapi saya tidak benar-benar paham, bagaimana kerusuhan di Bandung bisa terjadi. Banyak versi. Paling banyak karena kawanan buruh dianggap berbuat vandal.
Menurut kabar-kabar yang marak dari kepolisian, gerakan buruh di Bandung juga turut mencuatkan nama Anarko Sindikalis. Gerakan buruh itu, dalam khittahnya, ingin menghilangkan kelas dan membuat buruh bergerak secara demokratis. Tak ada hirarki.
Massa yang identik dengan pakaian hitam-hitam dengan bendera merah hitam itu, kemudian ditangkapi, digunduli, dihukum seperti dalih pelonco di sebuah kampus atau sekolah atas nama senioritas yang sudah jadi budaya dalam Hardiknas yang sudah beberapa kali berulang tahun.
Mengapa mesti seperti itu cara menundukkan manusia? Untuk apa? Apa demi mengorek sebuah informasi dan lainnya? Saya kira, para aparat kita tidak mengerti bagaimana ide harus dilawan dengan ide. Miris.
Misalnya, jika para aparat yang turun ke gelanggang menghalau massa aksi. Maka sebaiknya harus paham dulu apa tujuan dan dasar aktivisme yang kemudian turunannya terbagi dengan banyak tujuan-tujuan.
Jika seseorang ditangkap, idenya harus dimentahkan. Misal, menghilangkan hirarki, berdiri sendiri, dan buruh ingin bebas tanpa kekuatan kapital, atau tuntutan lainnya. Aparat harus sigap untuk menjawab, kalau kenyataannya sekarang, bla bla dan bla.
Pendidikan kita belumlah berubah dari masa ke masa, meski pemimpin negara berganti. Buruh menindas buruh. Beberapa satuan aparat kadang melemahkan aksi massa dengan rotan dan gas air mata.
Bahkan yang paling mengerikan, seorang pewarta foto yang juga buruh, dihajar oleh aparat saat May Day kemarin. Dari kronologi yang disebar AJI Indonesia, dua pewarta foto bernama Reza dan Prima itu awalnya berkeliling sekitar Gedung Sate untuk memantau kondisi pergerakan massa buruh sekisar pukul 11.30 WIB.
Saat tiba di Jalan Singaperbangsa, sekitar Dipatiukur, kedua jurnalis itu melihat ada keributan antara polisi dengan massa yang didominasi berbaju hitam-hitam. Alhasil, mereka mengabadikan momen itu: massa berbaju hitam dipukuli oleh polisi.
Setelah pindah lokasi untuk mengabadikan gambar yang lain, Reza tiba-tiba dipiting oleh seorang anggota polisi dari satuan Tim Prabu Polrestabes Bandung, yang untungnya sudah dicatat dalam kepala Reza yakni motornya berplat nomor D 5001 TBS.
“Dari mana kamu?”
“Wartawan,” kata Reza menjawab bentakan itu sambil menunjukkan id pers nya.
Seperti biasanya, yang terjadi adalah pemberangusan karya. Polisi tersebut malah mengambil kamera yang dipegang Reza, sambil menginjak lutut serta tulang kering kaki kanan Reza.
“Sebelum kamera diambil juga udah ditendang-tendang. Saya mempertahankan kamera saya. Sambil bilang saya jurnalis,” ucap Reza.
Prima Mulia juga mengalami hal yang sama. Tetapi Prima tidak mendapat kekerasan fisik. Ia disekap oleh tiga orang polisi dan diancam foto-fotonya akan dihapus.
“Mau diabisin?” ujar polisi kepadanya.
“Rombongan pertama pendemo di jalan bagus, tapi tiba-tiba rusuh. Massa kocar-kacir. Polisi tangkepin demonstran sambil dihajar. Saya sama Reza bisa masuk untuk ambil gambar kekerasan oleh polisi,” jelas Prima.
Polisi, kata Prima, menghajar para pendemo sambil menembakkan senjata ke udara berkali-kali “Saat ngambil gambar itulah, saya ditangkap 3 orang polisi sambil mengancam dan minta gambar dihapus. Dari situ Saya lihat Reza mengalami kekerasan fisik dan didorong sampai jatuh. Semua file foto dihapus,” pungkas Prima.
Buruh menghina buruh, aparat menghajar buruh, bos menindas buruh. Banyak sekali kuasa bahasa yang mendiskreditkan seorang buruh, meski kita juga tak sadar, kalau kita masuk dalam golongan mereka secara terselubung.
Kita tidak keras, kita dikerasi. Kita keras, kita malah dikerasi lebih dari biasanya. Dan tentu saja, mayoritas dari kita hanya mencatatkan nama sebagai orang-orang takluk.
Bapak saya adalah seorang buruh atau biasa disebut tukang. Saya ingat betul, waktu itu ia bekerja di perusahaan pengepakan hasil laut di Makassar. Perusahaan itu namanya Bukaka Agro, milik pejabat negara.
Baju yang ia pakai bentuknya kusam. Setiap hari, kadang ia ganti, kadang pula tidak. Gaji kecil dicukup-cukupkan untuk makan sehari-hari dan membeli perabotan rumah.
Sepulang kerja, Bapak biasanya membawa satu udang sitto atau dua bahkan lebih. Udangnya besar-besar. Ibu suka menggoreng udang itu, atau membakarnya dan dicampur oleh rempah-rempah yang ibu sudah beli di pasar.
Bapak banyak makan dengan timbunan nasi di piringnya, karena Bapak tahu, ia butuh tenaga ekstra untuk bekerja. Lagipula masakan Ibu enak dan lezat. Bapak tidaklah gemuk dan buncit, melainkan kekar dan kulitnya hitam kecokelatan.
Lama kelamaan, entah kenapa, Bapak tidak bekerja lagi di Bukaka. Entah itu Bapak diberhentikan, atau perusahaan itu yang berhenti dengan sendirinya. Saya tidak tahu, dan enggan mau tahu karena saya masih kecil saat itu.
Setelah itu, Bapak bekerja menjadi tukang batu atau buruh bangunan yang kasar. Pergi pagi, pulang sore hari setelah Asar. Bapak juga nyambi menjadi tukang timbang hasil pulungan sampah plastik.
Hal itu dipilihnya karena tetangga saya kebetulan banyak yang memulung. Selain membawa plastik, para pemulung juga kerap memberi bapak sekilo lebih besi tua seperti velg dan batangan sepeda anak kecil yang berkarat.
Bapak mengerjakannya dengan sangat bahagia. Jika tidak, Bapak tidak akan pernah tersenyum sewaktu membelikan saya sebungkus kerupuk rasa cokelat dan kaldu ayam, di sebuah toko kelontong besar yang tak jauh dari rumah kami.
Sampai Bapak menutup usia, Bapak adalah seorang lelaki yang kuat makan dan badannya tetap kekar juga tegap. Di piringnya, bisa saja banyak lauk dan kuah sayur.
Pada akhirnya, masing-masing kita meski sudah menjadi buruh atau apa saja, kerap menjuluki seorang yang makan nasi dengan sangat banyak di atas piringnya, dengan sapaan yang satire.
Siapapun orangnya, tukang atau buruh akan rendah melulu, jika kita selalu melazimkan bahasa sehari-hari seperti “nasi porsi tukang”. Sadar atau tidak, itu benar-benar penjajahan lewat bahasa yang senyap.