Jakarta, Lontar.id – Kepada wasit sebaiknya kita harus bertanya-tanya, soal hasil pertandingan yang dimenangi PSM Makassar dari Bhayangkara FC, sore kemarin di Stadion Mattoanging.
Tidak salah bertanya, daripada kita menjustifikasi sebuah klub lebih cepat, seperti yang terjadi pada Persija pada tahun yang lalu, sebelum mereka angkat piala liga bergengsi di Indonesia.
Jika saya adalah fans Persija, maka saya pasti merasa terganggu dengan makian orang yang memaki klub kecintaan saya. Terganggu bukan berarti marah. Catat itu baik-baik.
Kalimat-kalimat seperti Anak Papa dan klub curang, cukup mengusik. Padahal, jika ingin ditarik garis merahnya dan yang paling bisa disalahkan dalam drama keputusan-keputusan kontroversi, maka seharusnya PSSI bisa jadi aktor utama.
Mengapa kita harus mengambinghitamkan Persija, jika ada sebuah kekuatan besar yang mengatur kebijakan yang merugikan klub-klub yang menentang Macan Kemayoran?
Tugas Persija adalah bermain bola. Bertempur di lapangan hijau. Sementara tugas PSSI yang mengurus aturan-aturan di dlaam kompetisi resmi yang dijalankan klub-klub besar di tanah air.
Lalu mengapa kita menyalahkan klubnya? Ini seperti memaki orang yang memberontak pada pemerintah, karena muak pada kebijakan yang dirasanya pantas untuk digugat suara mayoritas yang memilih diam.
Tetapi saya bukan pencinta Persija Jakarta. Saya adalah seorang yang senang melihat pertandingan PSM. Meski saya bukan lelaki yang fanatik buta mencintai. Jika ada salah, saya kritik, bukan menyanjung dengan menutup mata.
Pada pertandingan kemarin, sudah seharusnya PSM sulit untuk melangkah ke babak semifinal Piala Indonesia, meski permainannya seru. Eero Markkanen tidak menunjukkan kelasnya, seperti yang sudah ia tampilkan dalam beberapa pertandingan di AFC.
Gelandang PSM menghidupkan permainan. Pluim dan Klok masih menjadi dua sosok yang berbahaya jika tidak dijaga dengan baik. Serangan banyak tercipta dari mereka.
Bukankah seharusnya PSM tidak boleh kebobolan di Mattoanging kemarin? Sebab jika kebobolan, Pasukan Ramang akan kesulitan untuk melangkah. Ia sudah dihajar empat gol di PTIK, sebelumnya.
Tetapi yang jadi masalah, ia kebobolan satu gol yang sudah pasti di mata saya. Namun, wasit tidak menunjuk titik tengah lapangan. Tendangan bebas yang dilepaskan pemain Bhayangkara kena mistar dan masuk melewati garis gawang. Tidak gol menurut wasit.
Kejadian itu mengingatkan saya tentang gol hantu yang dicetak Frank Lampard ke gawang Jerman pada Piala Dunia 2010, dalam babak 16 besar di Piala Dunia Afrika Selatan.
Hasil pertandingan itu, Inggris kalah 1-4 dari rival klasiknya. Sebelum kalah, tendangan Lampard membentur tiang dan memantul ke dalam gawang. Hanya saja, wasit dan hakim garis mengatakan bahwa tidak ada gol.
Jika itu gol, maka akan memberikan pengaruh besar terhadap hasil pertandingan. Jika disahkan, skor jadi 2-2. Sebelum gol itu, Inggris sempat tertinggal 2-1.
“Jelas bahwa gol itu masih diingat oleh semua orang. Saya tentu mendapat banyak pertanyaan tentang hal itu, tapi tak ada yang bisa kami lakukan. Itu bukan kesalahan Jerman. Yang salah adalah wasit dan gol itu membantu terciptanya goal-line technology,” jelas Lampard kepada The Daily Star.
Malu saya dengan Lampard. Ia menyalahkan wasit, bukan Jerman. Jerman bahkan tidak dijuluki sebagai anak papa atau klub curang. Objektif. Lampard berujar dengan sangat jujur.
Setelah gol itu lewat bertahun-tahun, Lampard bercerita bahwa ia sudah menanyakan langsung kepada kiper Bayern Muenchen ihwal golnya. “Dia selalu dihubungkan dengan saya, selayaknya saya selalu ditanya soal gol yang tak pernah terwujud itu,” ucap Lampard.
“Sejujurnya, saya pernah berbicara dengannya saat sedang berlibur tahun lalu, dan kami bercanda tentang gol tersebut di kolam renang. Dia sekarang bisa mengakui bahwa tendangan saya itu memang gol karena, ya, sudah lama sekali itu terjadi,” tambahnya, dikutip dari FourFourTwo International.
Soal gol Bhayangkara, banyak orang yang menilai, jika ada VAR, maka jalannya pertandingan itu akan punya cerita lain. Baiknya, tidak ada VAR di sana. Makanya PSM woles-woles saja. Sekuat apapun tekanan, wasit pula yang menentukan.
Saya akhirnya mengaku kalau PSM menang karena keuntungan. Saya tidak bisa menebak bahwa wasit dibayar oleh siapa dan siapa yang akan juara nantinya. Pikiran saya tidak sampai di sana.
Soal gol yang dianulir, pelatih Bhayangkara, Alfredo Vera tak mau mengomentarinya lebih jauh. “Saya tidak suka bicara sesuatu seperti itu, tapi mungkin saya mengerti wasit bisa salah,” kata eks pelatih Persebaya Surabaya itu.
“Kalau dia bingung belum tahu gol, dia seharusnya bisa menanyakan ke hakim garis.”
“Intinya saya tidak terlalu mau berpikir, walaupun kami banyak bicara hasilnya tidak akan mengubah kedudukan, tapi menurut saya lebih bagus kalau pakai VAR,” tukas Alfredo Vera.
Akhirnya ia mengikhlas. Jika boleh bertepuk tangan pada Bhayangkara, maka saya akan lakukan sekarang. Mereka adalah klub yang sudah berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya yang berpotensi jadi lawan berat di Liga 1 mendatang.
Objektiflah. Belajarlah seperti Lampard. Salahkan dan kritik orang yang tepat. Jangan sampai kita memantik masalah ke orang lain, yang tidak punya hubungan apa-apa dalam problema itu.