Jakarta, Lontar.id – Soal menutup warung makan saat bulan Ramadan, masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Ide itu dianggap tidak bertoleran dan seakan memaksakan kekuatan mayoritas.
Bagaimana jika non muslim ingin makan siang? Jika ingin dijawab, memang secara mudah kita jadi gampang setuju untuk tidak menutup warung tersebut. Kan, orang Islam itu toleran? Seharusnya kita yang mengalah.
Tetapi…
Banyak orang yang tidak ingin mengalah. Ini cuma sebulan kok. Jika warung tetap dibuka, takutnya dianggap mengganggu umat muslim yang lain, yang kalau siang perutnya udah kelaparan dan ingin makan secepatnya.
Memang itu urusan pribadi. Mereka seperti melarang orang merokok di sebuah mobil angkutan umum. Padahal belum ada pelegalan aturan yang mengikat untuk tidak merokok di sana. Semuanya didasari untuk menghormati penumpang yang lain.
Lantas, mengapa kita harus membuka warung demi hasrat mereka dan mengorbankan orang-orang yang berpuasa? Sebulan saja. Lagian, jika kawan-kawan yang ribet dengan aturannya, bisa menikmati suasana berbuka yang aduhai itu. Banyak takjil yang dibagi dan masih banyak lagi.
Seorang kawan saya, karena warung tidak ditutup, malah suka makan jika masuk waktu makan siang. Ia malah sering mengajak saya untuk berbuka. Saya menolak. Mau berbuka itu haknya.
Saya sering menertawai dia. Saya biasa bertanya, “tahan sajalah. Masa begitu harus buka.” Tentu saja ini berdasar, karena secara tidak langsung, jika ia berpuasa, ia belajar menahan hasrat. Selain itu, membawa tubuhnya lebih sehat.
Namun ia menertawai saya juga, sambil berkomentar nyeleneh. “Saya sudah lapar banget, euy.” Ada yang memancingnya. Gambar di sebuah warung pallubasa itu, kuahnya cukup cokelat, dan pintu kainnya berkibar-kibar, dan banyak motor terparkir di dekatnya, dan bla bla bla.
Tentu saja ini masih bisa diperdebatkan soal siapa yang salah. Pemilik warung kah yang buka siang hari, orang yang makan di sana kah, atau teman yang keroncongan di jam-jam yang krusial, yang seharusnya dipakai untuk menahan.
Saya akhirnya tidak ingin melarang siapa-siapa. Ternyata mencari akar penyebabnya itu cukup kompleks. Tidak bisa seorang saja. Karena keputusan diambil, sudah dipastikan karena lahir dari banyak kondisi.
Mari berandai-andai. Jika pagi hingga sore, kota ini mati. Tak ada warung yang buka sama sekali. Hanya ada toko kelontong yang menjual telur, mi instan, kornet, kopi saset dan pangan lain. Apakah misal kita, yang pekerja kantoran, mau masak mi di kantor?
Saya paham, muslim yang taat seharusnya menahan hasratnya untuk makan seperti biasanya. Tak boleh cengeng. Bukan tidak mungkin, para pedagang makanan yang muslim, harus menahan hasrtanya untuk membuka warung juga, bukan?
Mari timbang pertanyaan-pertanyaan itu dan meresapinya dalam-dalam, bahwa kenapa sih kita tidak bisa sedikit saja menahan diri? Toh waktunya cuma sebentar. Dan kerakusan kita nanti akan lama: sampai Subuh.
Sudahlah, jika tidak ingin dilarang. Saya mengerti. Persoalan salah dan tidak memang sudah dikaburkan dengan banyak sekali pandangan. Tetapi perlu diketahui, saya orang yang mendukung penutupan warung sampai waktu yang ditentukan.
Ada juga perbandingan yang membawa perayaan Nyepi di Bali. Orang Hindu membuat aturan yang mengikat. Mereka khusyuuk beribadah. Tak mau diganggu. Dan para pelancong dianggap harus mengerti aturannya.
Jika saya di Bali, maka saya akan patuhi. Itu otoritas mereka. Hargailah orang-orang mayoritas Hindu di sana. Kita ini kok punya insting yang tidak bisa dikekang sih? Kalau dilarang memang kita mau marah? Tidaklah!
Untuk merekatkan persaudaraan antarkepercayaan, sebaiknya kita patuh. Kita tidak disuruh untuk pindah agama juga kan. Hanya diberi tahu, “maaf Bli, sementara Anda saya batasi dulu haknya ya. Pemuka agama memerintahkan untuk menyepakati aturan Nyepi. Tidak apa ya?”
Jika saya ditanya begitu, maka saya akan jawab, “tidak apa Bli. Silakan lakukan apa yang Bli percaya.” Ini bukan membenturkan kepercayaan satu dan lain. Tapi menempatkan aturan sesuai tempatnya.
Jangan bilang Bali tidak toleran. Di mulut orang yang salah, maka kalimat itu bisa membakar persatuan yang sudah lama dibangun di nusantara ini. Sentimen kemungkinan besar akan membesar lagi. Saya mencintai mereka.
Tetapi pandangan saya terbuka, setelah menonton cuap-cuap seorang musisi idola saya, Thufail, yang memandang kalau ia tidak menutup warungnya saat berpuasa. Padahal, ia seorang muslim yang taat. Liriknya berbau Islam.
Ia punya kedai kopi. Dibuka jam 3 sore. Tetapi, ia punya trik khusus untuk menahan umat muslim yang ingin berbuka lebih cepat dari kawan-kawannya yang lain.
“Saya memberi tahu pelayan, kalau ada yang pesan, tanya agamanya apa. Kalau non muslim, saya layani. Kalau muslim, saya tidak layani.”
Keputusannya menarik. Jika saya ingin sekali ngopi, dan ditanya seperti itu, saya jelas tidak mau mengakui diri saya non muslim. Lebih baik saya tidak ngopi. Daripada saya memanipulasi agama saya demi hasrat rakus saya.
Entah kalau yang lain. Mau pindah agama untuk sekadar makan dan minum yang sebenarnya bisa ditahan saat Ramadan? Tentu saja pertanyaan ini bagi yang diwajibkan untuk berpuasa.