Jakarta, Lontar.id – Kualitas film Indonesia itu gak buruk-buruk amat. Setidaknya, saya pernah punya tontonan menarik sewaktu kecil. Jauh sebelum Game of Thrones lagi booming.
Bertanya soal Game of Thrones (GoT), apa filmnya bagus? Saya belum nonton. Saya telat atau apa. Entah. Selama beberapa hari dan tahun belakangan, mengerti ihwal GoT terlihat keren di mata teman tongkrongan.
Cuma saya yang beranggapan begitu. Poster-poster GoT disebar di laman media sosal. Rasa ingin tahu saya semakin besar dan semakin ingin menontonnya. Sayangnya tidak saya lakukan.
Alasannya sederhana, saya bukan penonton filmnya dari episode awal. Saya tidak mengerti. Meski begitu, saya masih tetap ikhlas curi dengar perbincangan teman-teman soal film itu.
Kata penjelasan teman saya, GoT adalah film seri yang menceritakan soal kerajaan dan politik. Persis persoalan kehidupan kita sehari-hari. “Orang kalau mau mengerti dan paham politik, coba tonton itu.”
Saya mengangguk dan takjub. Saya membatin, pasti filmnya bagus sekali. Apalagi berbicara soal politik. Tetapi apa boleh buat, sudah terlalu jauh saya meninggalkan episode satunya. Menontonnya dari awal sama saja melelahkan.
Soal efek filmnya, kata temanku, ia seperti film-film kolosal yang ada di Indonesia. Tetapi, dari segi kualitas, Game of Thrones lebih baik. Maklumlah, dikerjakan di Eropa dengan biaya yang tidak sedikit.
Ada orang yang bisa mengendarai seekor naga. Bagus juga. Ada monster-monster yang bisa berbicara. Hal ini mengingatkan saya pada tontonan saya sewaktu kecil.
Pertama adalah Angling Dharma. Film ini menarik perhatian saya. Sewaktu kecil, saya suka melihat Anto Wijaya bermain peran dengan lawan mainnya.
Saya suka Angling Dharma. Anto yang menjadi Prabu di situ, terlihat sunggung bijaksana dan tak suka dengan keributan. Tetapi jika ada yang ingin menggangu kerajannya, ia turun tangan dan siap perang.
Prabu Angling Dharma juga punya seekor naga hijau. Sebab melihat beberapa trailer dan teaser dari Game of Thrones, saya lantas berpikir: jangan-jangan GoT mengikuti film kolosal dari Indonesia?
Cerita soal Angling Dharma adalah kearifan lokal yang mesti dijaga dan dilestarikan. Kita bisa saja lebih memilih menonton film dari negeri Barat, tetapi jangan lupakan film yang bernapaskan lokalitas dan sejarah di Indonesia.
Kedua adalah Mak Lampir. Film ini mengandung unsur mistik yang Indonesia sekali. Saya suka film ini. Asal tahu saja, seluruh keluarga di rumah adalah penonton film ini. Tak afdal menurut mereka jika melewatkan Farida Pasha.
Ketawa Mak Lampir sudah jadi satu merek yang kekal di dalam ingatan anak-anak 90-an seperti saya. Kalau tidak percaya, Anda boleh lakukan riset kecil-kecilan tentang hal tersebut. Apalagi soal hantu-hantu yang ada di dalamnya. Berkearifan lokal sekali.
Saat pergi ke sekolah, jarang ada perbincangan lain soal film, kecuali membahas dua karya anak bangsa di atas. Kadang, bersama kawan semasa kecil, kami membahas hantu di film Mak Lampir, atau kekuatan Prabu Angling Dharma.
Jika Bapak pulang dari memburuh di kompleks yang baru dibangun di belakang rumah, Ibu lalu menyiapkan segelas kopi. Bapak, Ibu, begitu juga tetangga kadang berkumpul di rumah untuk menonton Mak Lampir.
Maklum, saat itu TV belum marak saat ini. Jadinya, tetangga saya lebih baik memenuhi isi perut dan anak-anaknya dulu daripada kebutuhan sekunder seperti TV.
Jujur saja, saya merindukan masa-masa seperti itu. Kita bisa bercengkerama menanggapi film kolosal tersebut sembari makan camilan yang sudah disiapkan Ibu. Rasa kekeluargaan benar-benar terasa.
Kadang-kadang malah terpikir, seandainya sampai saat ini orang-orang masih sulit mendapatkan televisi, maka pasti kehangatan antartetangga sangat erat. Saya bisa menjamin, sebab saya sudah merasakannya.
Pada intinya, saya harus berterima kasih pada seluruh pemain dan kru film tersebut, sebab masa kecilku dibuat bahagia. Kalau sekarang film tersebut mulai dilupakan dan ditertawai efeknya, mungkin karena zamannya sudah beda.