Lontar.id – Sepertinya seseorang harus berhati-hati menyampaikan pendapat di muka umum, Anda harus memilih dan memilah mana kata yang dianggap baik dan santun menurut orang lain.
Bila tidak demikian, nama Anda dalam waktu yang relatif cepat sudah terdaftar di buku laporan kepolisian. Orang yang tidak menyukai dengan gaya bahasa dan cara Anda mengkritik, tak segan-segan menjebloskan Anda kedalam sel tahanan.
Seperti di iklim politik Pilpres saat ini, suhunya semakin panas, salah bicara sedikit Anda akan menerima akibatnya. Kritik sudah tidak bisa lagi dibedakan dengan penghinaan, padahal kritik dan menghina itu dua obyek yang berbeda, namun kerap disamakan. Akhirnya orang yang kritik dianggap menghina, karena menghina maka dijebloskan ke tahanan.
Saya merasa khawatir dengan demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini, demokrasi pada prinsipnya memberikan keberanian pada warga negara agar berbicara apa adanya di muka umum. Menyampaikan pendapat, mengkritik pemerintah yang salah arah atau menyampaikan ide-idenya tentang realitas sosial politik saat ini.
Di negara demokrasi memberikan kebebasan itu pada setiap warga negara, namun terkadang teori berbeda dengan fakta di lapangan, antara harapan dan kenyataan berbeda jauh (das sollen das sein).
Di awal-awal memasuki pemilu 2019, di mana hanya dua calon presiden yang muncul, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Tidak ada calon alternatif, karena dua calon ini memborong partai politik sehingga tidak memungkinkan munculnya calon alternatif ketiga.
Dengga rekam jejak kedua paslon yang pernah bertanding pada pemilu 2014 lalu, masyarakat tidak sulit mengenal siapa kedua calon presiden 2019, karena ini merupakan rematch dari pemilu sebelumnya.
Prabowo dengan latarbelakang militer dan dikait-kaitkan dengan kasus 1998 tentang penculikan sejumlah aktivis, lalu diberhentikan dari dinas militer. Prabowo dicurigai ketika menjabat sebagai presiden, maka akan ia akan menjalankan kekuasaannya dengan tangan besi dan sangat diktator.
Alasannya sederhana, sebab Prabowo punya jejak rekam masa lalu yang sulit sekali dihapus dari ingatan kolektif masyarakat. Pelanggar hak asasi manusia.
Terlepas dari perdebatan yang tidak ada ujungnya itu, melihat perkembangan politik beberapa pekan terakhir ini. Tanda-tanda kekuasaan digunakan secara diktator, sepertinya hanya berupa opini dan subyektifitas seseorang terhadap Prabowo.
Tetapi yang sangat miris sekali adalah, justru Jokowi yang berlatar belakang sipil dan tidak punya riwayat menggunakan kekuasaan secara berlebihan, belakangan ini mulai nampak.
Penampakan politik yang menakutkan Jokowi ketika sejumlah pendukung Prabowo-Sandi, mulai ditangkap satu-persatu dengan dalih melanggar hukum, provokator, hoaks, hate speech dan dituduh makar karena mengajak masyarakat melakukan gerakan people power.
Seperti baru-baru ini, pendukung Prabowo-Sandi, Eggi Sudjana akhirnya ditangkap kepolisian karena dianggap berbuat makar. Istilah makar sendiri adalah perbuatan inkonstitusional yaitu berusaha menggulingkan kekuasaan yang sah melalui kekuatan rakyat.
Pernyataan Eggi Sudjana tentang peopel power akan digerakan jika Prabowo kalah karena adanya indikasi kecurangan pada pemilu. Pidato Eggi di Rumah Kertanegara (kediaman Prabowo).
Di negara demokrasi manapun, peopel power itu sah-sah saja dilakukan, sebab ia adalah kekuatan rakyat, keinginan rakyat untuk menciptakan suatu negara yang lebih demokratis. Pemerintahan itu adalah orang-orang yang dipercayakan oleh rakyat untuk memimpin bangsa ini, tentunya membawa kesejahteraan dan hidup damai.
Dalam istilah demokrasi yang populer diperkenalkan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Atau suara rakyat suara tuhan (vox dei vox populi). Jika rakyat menghendaki maka pemerintah harus mengikuti keinginan rakyat.
Saya awalnya menaruh harapan besar di pemerintahan Jokowi di periode ke duanya, tapi melihat banyak kasus kriminalisasi terhadap warga negara sendiri dengan berbagai dalih, dicarikan masalah agar dijebloskan kedalam penjara.
Bukan saja Eggi Sudjana (penasihat alumni 212), ada sejumlah tokoh dikubuh Prabowo-Sandi yang ditangkap. Sebut saja ada Ustad Bachtiar Nasir ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan kasus Pencucian Uang pada 2017 silam.
Musisi Ahmad Dhani pentolan pendukung Prabowo-Sandi yang kena kasus ujarnya kebencian. Habib Bahar Smith kasus penganiayaan, Ketua Umum PA 212 Slamet Ma’arif dll.
Mengapa pendukung Prabowo-Sandi kerap mendapatkan kasus dan ditangkap, apakah ini punya korelasi dengan Pilpres. Atau memang sengaja dilakukan upaya kriminalisasi untuk membendung gerakan pendukung Prabowo agar tak bisa berkutik di pemilu.
Kenapa harus cara itu dipilih, bukankah masih ada cara lain yang lebih elegan dilakukan ketimbang mengkriminalisasi hanya karena persoalan politik. Pantas masyarakat marah jika sedikit saja ada masalah lalu dijebloskan kedalam penjara.