Jakarta, Lontar.id – Keng Wie atau Budi Wijaya memang sudah tua. Tetapi semangatnya berbisnis terus menyala. Keng Wie dulunya adalah pemain belakang PSM. Ia teman Ramang sewaktu masih muda.
Saya menemuinya di toko bahan bangunan sederhana yang dimilikinya di Jalan Sungai Celendu, Makassar. Penampilannya sederhana. Alisnya sudah putih karena usia. Saya senang mengobrol dengannya.
“Pemain sekarang membela PSM sudah tidak seperti zaman saya dulu.”
Saya mendengar ceritanya dengan takzim. Bicaranya pelan. Menurutnya sudah banyak yang berubah di PSM sesuai dengan bertambahnya usianya.
“Kita memang total dulu bermain bola. Yang kita jaga adalah nama Makassar. Malu kita, kalau PSM dulu sampai kalah. Sekarang kok berubah ya?”
Pemain-pemain sekarang diakuinya mengedepankan gaji. Jika tidak sesuai, maka semangatnya juga kendor. Itu memang realistis, tetapi ia membandingkan dirinya pada saat itu.
“Kita dulu tidak pikir gaji. Yang kita pikir, bagaimana bawa nama Makassar itu harum. Bawa nama Indonesia juga harum di kancah nasional.”
Itu petikan wawancara saya dulu, saat masih bekerja di salah satu perusahaan surat kabar di Makassar. Saya ingat-ingat lagi dan mencoba untuk menjalin momen itu sesuai zaman ini.
Hari ini saya melihat Marc Klok begitu semangat. Wajahnya ceria. Sebentar lagi ia akan menjadi warga negara Indonesia. Sekarang, di Makassar, ia juga sudah punya usaha kedai kopi.
Saya kurang tahu apakah kedai itu murni miliknya atau memang sedang bekerja sama dengan salah satu kedai dan namanya cuma dipakai. Entahlah. Tetapi saya pikir ini kabar yang baik.
Orang-orang banyak datang di kedai milik Klok. Saya belum lihat langsung. Jika ke Makassar, saya berencana jalan ke sana. Duduk bersama, menyeruput kopi dengan teman sebaya yang sudah beberapa bulan tak kujumpai.
Klok adalah seseorang olahragawan yang pandai memasarkan dirinya. Konotasinya tolong jangan dianggap negatif. Ia banyak mereguk rupiah dari sana.
Selain kedai, ia juga bekerja sama dengan sebuah merek sepatu terkemuka di Indonesia. Seperti pemain profesional di luar sana, ada tertanda namanya di sepatu itu. Saya mungkin satu dari sekian banyak orang yang mengaguminya.
Meski punya banyak bisnis sampingan, Klok juga punya semangat tarung di atas teman-temannya saat berlaga dengan PSM Makassar melawan siapapun. Senang sekali ketika melihat mobilitasnya yang tinggi di lapangan.
Ia mengingatkan saya pada ucapan Keng Wie di atas. Bermain sepenuh hati dan total. Saya pernah berpikir, jika pekerjaan adalah hobi, maka kita mungkin dengan senang hati akan melakukannya. Mencurahkan cinta pada karya yang kita buat.
Dalam sebuah kutipan yang saya ingat, yang dicatat oleh Pandji Pragiwaksono. Ayahnnya, Koes Pratomo Wongsoyudo, pernah ditegur oleh seseorang. Ia heran, mengapa anak tangga di Indonesia tidak teratur. Ada yang bagus dan tidak.
Secara sederhana, Ayah Pandji menjawab kalau yang tidak teratur seorang yang sedang bekerja. Sementara yang teratur adalah seseorang yang sedang berkarya. Begitu intinya.
Saya kadang iri dengan Klok, dengan seniman-seniman yang total dalam berkarya dan tidak terlalu mempedulikan sebuah hasil. Tujuan utamanya adalah, berkarya bagus lebih dahulu, soal rezeki itu hal lain.
Lantas mengapa pemain PSM yang lain tidak bisa semangat seperti Klok? Apa sudah kepalang pragmatis? Apa mental kita memang hanya sampai di situ-situ saja?
Tidak seragam. Banyak juga yang semangat juangnya seperti Klok di PSM. Ada Rahman, Zulham, Rahmat, Ferdinand, dan lain-lain. Selebihnya?
Mungkin ukuran semangat Klok, berbeda dengan pemain yang lain. Saya bisa saja keliru. Semangat itu relatif. Tetapi alangkah bagusnya kalau semua pemain tampil ngotot dan mengingat ucapan Keng Wie, senior mereka.
Saya malah berpikir dan bertanya-tanya, apakah pemain PSM yang kurang bergairah jika bermain, harus memasarkan dirinya seperti yang Klok lakukan? Apa mereka semua harus punya warkop dan kedai?
Jika iya, ia harus bisa bersaing dalam mengalahkan semangat Klok. Harus tampil trendi. Minimal jadi orang yang berpengaruh di dunia Instagram, agar iklan dan promosi bisa mendesak masuk ke dalam akunnya.
Jika memang masalah gaji yang dipikirkan, tampaknya hal itu adalah jalan terbaik untuk menjaga performa. Punya bisnis sampingan, biar tak terlalu berharap dengan gaji.
Kan enak didengar dan bisa meneladani orang lain, jika ditanya, PSM keuangannya tidak sehat. Gaji diturunkan beberapa persen. Kok kamu masih bersemangat main bolanya?
“Karena saya punya bisnis sampingan. Di PSM saya mencurahkan cinta saya pada sepakbola. Saya cukup bersyukur dengan apa yang ada sekarang.”
Tentu saja kalimat di atas bukan sebuah ajakan manajemen untuk memangkas gaji pemain. Hal itu cuma contoh, agar kita bisa mengembangkan hobi dan menjemput rezeki secara bersamaan.
Bekerja atau berkaryalah dengan cinta, untuk kita semua dan para pemain PSM Makassar!