‘Bila kebohongan terus dirawat penguasa dan rakyat mulai marah, maka perlawanan akan muncul dari rakyat‘.
Lontar.id – Pada Pilkada 2015 lalu di Bima, trah kesultanan (Kerajaan Bima) yang diwakili Indah Damayanti Putri (Dinda), berhasil menang dengan suara mayoritas. Kemenangan Dinda di pilkada diklaim sebagai kemenangan kaum perempuan, karena ia perempuan pertama menjabat sebagai bupati.
Sebelumnya, jabatan bupati selalu dari kalangan laki-laki, hal ini menegaskan corak kepemimpinan di Bima sejak masa lalu, model patriarki yaitu berasal dari keturunan laki-laki. Demikian dengan para raja-raja dan sultan (kesultanan) pada zaman dahulu, semua berasal dari kalangan laki-laki.
Kemenangan Dinda mematahkan anggapan publik, bahwa perempuan hanya manusia sekunder diperlakukan sebagaimana layaknya: mengurus dapur dan properti rumah tangga. Tentu ekspektasi publik terhadap Dinda sangat tinggi, terutama kalangan perempuan: menjadi Kartini-Kartini masa depan.
Meski kemenangan Dinda bukan karena ia sebagai tokoh yang lahir dari bawah, bergulat dengan rakyat biasa, punya gagasan besar: melainkan ia sebagai istri (permaisuri) Ferry Zulkarnain, Raja Bima ke XVI. Ferry Zulkarnain merupakan anak dari Sultan Abdul Kahir II dan menjadi bupati dua periode, sebelum akhirnya wafat dan digantikan istrinya di periode sekarang.
3 Tahun Berkuasa
Masa kepemimpinan Dinda berjalan 3 tahun lebih, ia didampingi Dahlan M Noer yang tak lebih dari sekadar ban serep Dinda. Dahlan tak punya peran besar sejauh ini, dia juga tak berani mengambil keputusan sendiri sebelum mendapatkan perintah langsung dari Dinda.
Hubungan Dinda-Dahlan seperti tuan dan bawahan (bos dan anak buah), ketimbang sebagai kepala daerah. Dahlan lebih tepat jika disebut sebagai bidak catur, tak punya posisi tawar tinggi, sedangkan Dinda pengendali bidak catur yang punya peran besar.
Hubungan keduanya tampak harmonis dipermukaan tapi retak dari dalam, benih-benih perpecahan mulai tampak meski dibungkus rapi. Dinda-Dahlan yang mengusung visi Bima Ramah, kini sudah tidak saling ramah lagi, perbedaan keduanya terlalu mencolok. Dinda tampil sebagai sosok yang melanjutkan trah kerajaan yang dijunjung, sedangkan Dahlan jauh dari itu, tapi cukup dekat dengan rakyatnya.
Terlepas dari itu semua, saya tidak ingin membahas lebih jauh seperti apa hubungan keduanya, apakah masih harmonis atau sudah mengambil jalan berbeda. Biarlah pada tulisan lain saya akan urainkan.
Tulisan ini sebagai respon masyarakat yang kecewa terhadap Dinda-Dahlan, selama memimpin dana mbari (tanah bima), namun jauh dari ekspektasi. Saya perlu ingatkan kembali tentang janji politik Dinda-Dahlan di masa-masa kampanye dulu, karena janji tersebut akan terus ditagih.
Janji memang hanya sebatas janji, apalagi janji politisi. Mungkin Dinda penganut istilah ‘Janji politik tidak harus ditepati, karena jika ditepati bukan janji politik namanya’.
Tiga tahun sudah berjalan, pemerintahan Dindah-Dahlan bak seperti mobil mogok. Bergerak maju juga tidak, malahan semakin mundur ke belakang. Pembangunan infrastruktur sangat jauh dari harapan, justru sangat mengecewakan. Disaat masyarakat membutuhkan perbaikan akses jalan, sehingga moda transportasi masyarakat lancar. Di saat yang sama, Dinda-Dahlan kembali menegaskan diri sebagai mobil mogok, tak ada usaha sama sekali.
Belum lagi di sektor pariwisata yang amburadul tanpa perencanaan, bangunan sekolah yang mengkhawatirkan, nasib guru-guru sukarelawan yang digaji setengah hati dan masih banyak permasalah lainnya. Hal ini memicu lahirnya kekecewaan masyarakat terhadap Dinda-Dahlan, sehingga mulai ramai digaungkan tolak bupati 2 periode.
Tolak bupati bima 2 periode sebenarnya, kristalisasi dari massa yang kecewa, mereka kecewa dengan kepemimpinan yang sama sekali tidak kelihatan membangun dan berjarak dengan masyarakat.
Di media sosial, terutama di Facebook dan Group WhatsApp mulai ramai dengan seruan hastag #bupatigagal. Hastag #bupatigagal mulai dibahas oleh kelompok aktivis mahasiswa, mereka merasa Dinda-Dahlan telah gagal menjalankan amanah sebagai kepala daerah. Tugas kepala daerah adalah membangun daerah, tapi aktivis menilai mahasiswa menuding Dinda-Dahlan hanya pencitraan semata dan tidak terbukti bekerja.
Narasai tolak bupati bima 2 periode dan hastag #bupatgagal, kini mulai ramai jadi perdebatan netizen. Pro dan kontra kerap jadi bahan diskusi hangat meramaikan kolom komentar, mereka yang tak terima dengan kampanye tersebut, juga membangun narasi sendiri: berusaha mengkounter dengan membuat hastag #duaperiode.
Dari medsos ke lapangan, sejumlah aktivis mahasiswa mulai melakukan penolakan terhadapa bupati bima, mereka menolak sambil menutup jalan saat Dinda-Dahlan melakukan Safari Ramadhan. Seperti yang dilalukan oleh aktivis Satria dari kecamatan Wera, mereka menghadang jalan saat Dinda-Dahlan melintas. Meskipun pada akhirnya massa aksi berhasil dilerai oleh satpolpp, namun aksi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah kecewa dengan bupati.
Aksi yang sama juga dilakukan oleh Mahasiswa di Monta Selatan (Bima), mereka memblokir jalan dan menuntut agar jalan tersebut diperbaiki. Sebelumnya di Kecamatan Parado, sejumlah pemuda dan masyarakat melakukan hal yang sama, menutup jalan dengan batu dan kayu. Mereka kecewa karena jalan di daerahnya tidak pernah kunjung diperbaiki.
Hastag #bupatigagal dan Tolak 2 periode sudah mulai diwacanakan, kendati pilkada di Kabupaten Bima masih lama (2020). Apakah ini merupakan tanda-tanda jika Dinda akan terjungkal pada Pilkada selanjutnya!