Lontar.id – Organisasi Front Pembela Islam (FPI) layak untuk dibela, ia menghidupkan kembali semangat Islam dalam berbagai dakwah dan kegiatan Islam lainnya, setelah Islam tidak mendapatkan ruang pada rezim Orde Baru (Orba). FPI Semacam oase ditengah padang pasir menyuburkan keberislaman, kita patut memberi apresiasi setinggi-tingginya terhadap FPI.
Mengapa ada sebagian orang membenci FPI terus tumbuh dan menjadi organisasi besar di Indonesia, bahkan mengalahkan popularitas Muhammadiyah dan NU sebagai ormas Islam tertua yang masih eksis hingga saat ini.
Ketidaksukaan sebagaian orang pada FPI, memang dianggap wajar-wajar saja dan tidak perlu ditanggapi serius, sebab suka dan tidak suka adalah subyektif saja.
Ini hanya sebatas perbedaan pandangan saja yang tidak perlu dibawah ke ranah polemik yang berkepanjangan. Apalagi hendak membubarkan ormas yang di pimpin Habib Rizieq Shihab itu.
Saya menanggap wajar karena orang melihat FPI tidak utuh, melainkan sepotong-sepotong. Sebab hanya aksi kekerasan FPI yang dimunculkan, sementara bantuan kemanusiaan FPI terhadap bencana alam seolah dilupakan.
Kita mungkin masih ingat dengan aksi-aksi kekerasan, main hakim sendiri, saat FPI menertibkan sejumlah tempat maksiat seperti Bar, Cafe, diskotik, tempat judi, prostitusi dan aksi unjuk rasa lainnya.
Saya menganggapnya sebagai suatu tidakan yagn masih dalam batas kewajaran, karena pemerintah yang diharapkan untuk menertibkan tempat-temapt maksiat, justru terkadang alpa. Bukankan tugas negara memberantas penyakit kemanusiaan seperti itu.
Karena pemerintah alpa dalam menjalankan tugasnya, maka FPI bergerak mengambil sikap sendiri dengan cara represif. Meski tindakan ini mengarah ke main hakim sendiri, tetapi ini merupakan akibat dari kekecewaan mereka terhadap pemerintahan. Sekaligus menjadi otokritik terhadap pemerintah, bahwa tugas tersebut merupakan tanggungjawab mereka.
Disisi lain, kita seolah tak pernah ingat dengan aksi FPI saat menggalang dana bantuan sosial bagi daerah yang ditimpa bencana alam, tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, Lombok dan Palu. FPI hadir sebagai pahlawan kemanusiaan yang mengulurkan tangannya pada mereka korban.
FPI bekerja tanpa mengembar-gemborkan di media, karena kerja kemanusiaan tidak perlu dipublikasi. Tetapi di zaman kiwari ini, teknologi semakin canggih, media sosial sudah ramai. Sekalipun media mainstrem jarang mempublikasikan kegiatan FPI, tapi di media sosial kegiatan mereka mendapatkan apresiasi dari warga.
Saya merasa miris melihat pemberitaan akhir-akhir ini yang mengucilkan peran besar FPI. Sebuah ajakan untuk menolak perpanjangan izin FPI disuarakan melalui sebuah petisi daring change.org.id yang digagas oleh
Ira Bisyir dengan judul ‘Stop Izin FPI’.
Petisi stop izin FPI hingga saat ini sudah ditandatangani oleh
416.439 orang, sebuah angka yang cukup besar atas keinginan beberapa orang yang tidak suka dengan FPI. Memang masa berlaku Surat Keterangan Terdaftar (SKT) nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014, FPI akan berakhir pada 20 Juni 2019 mendatang.
Pemerintah tidak boleh terpengaruh karena adanya petisi penolakan perpanjangan izin FPI yagn sebentar lagi akan berakhir, melainkan memberikan kebebasan pada semua organisasi untuk tetap tumbuh subur di alam demokrasi. Kecuali organisasi yang merongrong ideologi Pancasila seperti HTI yang jelas-jelas ingin menggantikan pancasila memang sudah seharusnya dibubarkan.
Tapi FPI bukan lah HTI yang mau menggantikan ideologi negara, FPI hanya sebuah organisasi massa yang perlu didukung, karena menghidupkan kembali semangat kebersilaman. Kendati saya menolak FPI dibubarkan melalui penghentian izin, saya juga memang tidak sepakat adanya aksi main hakim sendiri yang mengabaikan petugas negara. Anggap saja aksi FPI beberapa waktu lalu sebagai kritikan terhadap pemerintah yang lamban merespon keingina warga.