Lontar.id – Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sedianya akan bertemu dengan Jokowi pada hari ini. Namun pertemuan tersebut akhirnya ditunda besok Rabu 22 Mei 2019, mengingat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah keluarkan pengumuman resmi tentang hasil rekapitulasi suara nasional Pilpres 2019.
Berdasarkan data KPU, paslon Jokowi-Ma’ruf unggul telak di 21 provinsi dengan 85.036.828 suara atau setara dengan 55,41 persen. Sedangkan Prabowo-Sandi unggul di 13 provinsi dengan raihan 68.442.493 suara atau 44,59 persen. Total suara sah keseluruhan sebanyak 153.479.321.
Tentu Jokowi sebagai paslon akan fokus pada hasil rekap akhir KPU, berkumpul dengan semua tim pemenangan dan elit partai pengusung, karena kehadiran paslon saat seperti ini sangat mempengaruhi psikologi para pendukung.
Dengan satu kalimat dari Jokowi bisa menciptakan energi positif bagi pendukung yang setia bekerja selama pemilu, setidaknya memotivasi agar mereka tetap terjaga disaat-saat penting.
Kendati menunggu hasil rekap KPU, Jokowi sadar betul di pemilu 2019 ini dirinya akan kembali mengalahkan mantan rivalnya pada 2014, Prabowo Subianto.
Setidaknya kepastian kemenangannya, ia peroleh dari laporan hitungan cepat (quick qount) lembaga survei. Meski kubu BPN menolak hasil quick qount yang menangkan Jokowi, tapi mengakui hasil quick qount exit poll, dimana lembaga survei ini mengunggulkan Prabowo-Sandi sebesar 62 persen.
Menarik untuk ditelesik lebih jauh tentang manuver Partai Demokrat, mereka mulai terlihat berubah sedikit demi sedikit setelah sinyal kemenangan di kubu Jokowi. Seperti Ferdinand Hutahaean salah satu tokoh kunci di Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, menarik diri dari koalisi.
Ferdinand beralasan, para buzzer Prabowo tidak bisa dikendalikan, mereka menyerang membabi buta bahkan membully orang penting di Demokrat, dengan menyebut Ani Yudhoyono sebagai ‘setan gundul’.
Inilah yang menyebabkan Ferdinand menarik diri, apakah alasan ini lantas bisa dibenarkan atau Ferdinand sedang memecah konsentrasi publik. Sebab Jokowi dan AHY sedang membuat kesepakatan politik, apakah Jokowi merayu AHY masuk di koalisi dengan imbalan jatah kursi menteri atau AHY dan Demokrat lah yang menawarkan diri agar bergabung.
Menurut pendapat pribadi saya, yang paling mungkin melakukan komunikasi tersebut adalah AHY atas suruhan SBY agar bertemu dengan Jokowi.
Pertemuan itu sekaligus membahas tentang masa depan kader partai dan jatah di pemerintahan, disisi lain Jokowi sangat diuntungkan jika Demokrat merapat. Sebab pada pengambilan kebijakan di parlemen, pemerintahan tidak mendapatkan kesulitan untuk meloloskan kebijakan tertentu.
Tentu AHY minta bergabung di koalisi Jokowi, karena ia sadar betul pada pemilu selanjutnya 2024, jika ia masih di kubu Prabowo maka ia akan kesulitan maju sebagai cawapres, karena Sandi jauh lebih populer ketimbang AHY. Demokrat mencari pelampung di kubu Jokowi untuk kepentingan pemilu 2024 mendatang, karena Demokrat akan mengusung AHY sebagai capres.
Langkah politik yang sangat mungkin dilakukan adalah bergabung dengan Jokowi, meskipun risiko dicap sebagai partai pling plang dan tidak berpendirian. Tapi cap itu akan hilang dengan sendirinya ketika memasuki pemilu 2024, karena Demokrat akan mengusung kader sendiri yang membuat suara partai semakin meningkat.
Kemungkinan lain, Jokowi lah yang meminta Demokrat agar bergabung di koalisinya, dengan catatan Jokowi-Ma’ruf harus menang di pemilu. Kubu Jokowi-Ma’ruf percaya diri akan memang di pemilu, baik informasi dari quick qount lembaga survei, Situng KPU maupun lembaga internalnya, sehingga ia berani menawarkan posisi penting ke AHY.
Kenapa harus menarik Demokrat keluar dari koalisi Prabowo, sementara partai di kubu Jokowi sudah banyak. Bahkan partai-partai tersebut sudah lebih dari cukup mendapatkan suara mayoritas di Senayan.
Menarik Demokrat dari koalisi Prabowo akan menciptakan efek yang cukup besar di masyarakat, dampaknya pun jauh lebih besar. Sebab akan menciptakan opini publik, bahwa partai koalisi Prabowo tidak solid dan setengah hati memenangkan jagoannya.
Di saat bersamaan, Prabowo akan disibukkan dengan perseteruan antar partai pendukungnya dan kehilangan fokus dengan pengerahan massa aksi unjuk rasa yang menolak hasil pemilu. Kubu Prabowo menilai pelaksanaan pemilu 2019 curang dan menolak menerima hasil rekap KPU.
Situasi seperti ini sangat rentan di manfaatkan kubu Jokowi memecah belah partai koalisi dan fokus Prabowo, maka yang diuntungkan pada situasi seperti ini adalah kubu Jokowi.