Jakarta, Lontar.id – Sudah dua sampai tiga hari belakangan, ponsel saya berdering dan menanyakan kabar saya. “Bagaimana Jakarta, apakah aman dan terkendali?”
Saya jawab sekenanya saja, bahwa insyaallah aksi akan berjalan damai. Baik aksi dari kubu sana dan sini, semuanya tercatat rapi dalam sejarah kalau tidak ada riak-riak besar yang terjadi.
Kawan-kawan saya sampai menyarankan untuk tidak pergi ke daerah Jakarta Pusat. Kebetulan, mereka tahu kalau saya sering nongkrong di sekitar Cikini untuk sekadar hahahihi dan slurp slurp kopi.
Sebagai seorang yang terbiasa dengan demonstrasi di Makassar, saya merasa bahwa demo 22 Mei 2019 di Jakarta akan berjalan dengan semestinya. Tak ada otoritarian yang akan dilawan. Jokowi sudah menang.
Tetapi apa yang saya pikir ternyata meleset, timbul satu kericuhan yang membuat orang was-was dan semakin memperingatkanku untuk tidak bermain-main dulu di Jakarta Pusat. Situasi menegangkan.
Saya iyakan ajakannya. Saya tahu, mereka perhatian, dan bukankah perhatian harus disambut dengan senyuman sepahit apapun rasanya? Saya paham soal keinginan mereka.
Terus terang saya tidak takut saat polisi bentrok dengan aksi massa yang belakangan disinyalir bukan dari kubu 02. Polisi yang bilang begitu, bukan dugaan saya.
“Oh biasa. Riak-riak itu biasa,” begitu kata perasaan saya.
Lalu terjadilah satu keributan yang saya lihat dalam video, terjadi dalam masjid di daerah Tanah Abang. Ada gas air mata dan orang yang berlarian masuk ke rumah Tuhan itu. Saya tidak bisa menyimpulkan siapa pemicunya.
Sebelum imsak saya sudah berpikir, jika isu ini digoreng media dan dimanfaatkan buzzer yang tidak bertanggung jawab, maka sentimen akan membesar. Titik rawan akan berubah menjadi merah.
Anda tahu kan Indonesia sudah beberapa kali disentuh isu SARA di beberapa daerah di timur Indonesia? Apakah hasilnya, selain korban jiwa dan rubuhnya bangunan-bangunan? Miris sekali.
Tetapi untung saja tidak dan semoga saja tidak sama sekali hari ini dan nanti. Informasi itu tidak ramai dibincangkan di media sosial. Hanya saling menyalahkan pendukung ini dan itu yang terjadi dari subuh sampai bangun tidur yang kesiangan.
Bangun-bangun, saya sudah mendapati kalimat-kalimat yang provokatif, yang bukannya menenangkan aksi, malah saling menyalahkan satu pihak sana dari sini, begitupun sebaliknya.
Saya sudah tidak fokus soal apa yang akan disampaikan massa. Tetapi sudah berpikir, bagaimana kalau mereka terluka, bagaimana keluarganya, dan segala macam tetek-bengek manusia.
Ini mungkin terdengar seperti lelucon, bahwa saya terlalu banyak memikirkan manusia yang berada di jalanan untuk aksi sekarang. Tetapi itulah jalan yang saya kira baik, daripada larut sendiri di tengah aksi yang memanas.
Lalu untuk buzzer-buzzer dan corong-corong oposan dan pemerintah, kenapa kalian masih saja saling provokasi? Apakah Anda tidak ingat, sekali isu SARA pecah, Jakarta dalam kerawanan yang curam?
Dahulu kala, sejarah di negeri kita ini, mencatat keburukan yang berwarna hitam arang. Perempuan diperkosa, mal dibakar, seorang preman tewas dengan luka tembak di kepalanya, dan lain-lain.
Berapa harga yang pantas untuk itu semua demi kalimat yang kurang lebih berbunyi: saya mundur dari jabatan saya sebagai presiden RI.
Lalu saya menciptakan satu diskusi sengit dengan bunyi: apa yang mereka inginkan? (Terdengar jawaban bising) Jokowi lengser atau menebas semua sekondan politik Prabowo pada masa yang akan datang? (Terdengar jawaban bising).
Saya paham ini kesalahan awal politisi harum dari istana dan bau anyir dari oposan. Tetapi bukan berarti kita harus terus menciptakan pertarungan antara kedua kubu lagi. Mau sampai kapan?
Jadi tolong, jadilah air yang menyiram keributan yang awalnya dari elite yang hina. Meski beda pandangan itu sehat, tetapi kerumunan manusia yang tidak ikut berperang di jalanan, yang berdemo, rentan jadi bulan-bulanan. Apalagi yang ikut berperang.
Jika Anda terus-menerus menyiram kericuhan ini dengan bensin, sebenarnya saya mau bertanya, Anda berdiri di pihak mana? Hobi kalian memang lihat orang rusuh?
Doakanlah semoga semuanya baik-baik saja, bukan mengutuk satu sama lain sambil melemparnya ke dalam panggangan yang berisi batu dan peluru. Anda bukan politisi keji bukan? Saya yakin, kita semua bisa, meski masih akan ada residu.
Insyaallah.