Jakarta, Lontar.id – Wajah kawan saya tersisa sedikit odol yang mengering. Air mukanya menunjukkan keletihan dan kulitnya terbakar. Kerusuhan di Jakarta, membuatnya menghela napas panjang.
“Gila, ini perang gak berhenti-berhenti.”
Ia seorang fotographer kami di Lontar. Dari pagi, ia sudah meninggalkan rumahnya demi menuju Bawaslu dan memberikan informasi soal keadaan di sekitarnya.
Saya paham betul, tak ada yang menginginkan perang ini, kecuali penumpang gelap yang punya agenda khusus. Semua elite bisa kena, jika memang harus menganalisis satu per satu gerakannya.
Tetapi apa yang lebih baik dari mengharapkan peperangan berhenti? Saya kira itu lebih dari sekadar gontok-gontokan demi kekuasaan. Ini benar-benar mengerikan.
Kata teman saya, polisi sempat dipukul mundur oleh aksi massa yang tampak terus bertenaga dan tak kenal lelah. Ia melihatnya dari jauh, di sekitar Sarinah.
“Ini seperti dilakukan oleh orang-orang profesional.”
Katanya, setelah MH Thamrin pecah, tak lama, di Jalan KS Tubun, kerusuhan serupa juga menyala. Dalam hati saya membatin, siapa yang mengatur strategi perang antara massa melawan aparat?
Polisi dalam beberapa kesempatan, sempat pula bikin blunder. Menurut fotographer kami, mereka kerap menembakkan gas air mata, yang celakanya jatuh di tempat yang tak jauh dari barisannya.
“Mungkin karena pengaruh kecapaian kali ya.”
Dalam malam yang semakin larut kian mencekam itu, saat televisi mengumandangkan agar orang-orang yang tak punya kepentingan diharapkan menjauh dari titik aksi, seorang polisi kelelahan.
Fotographer saya mengungkapkan, bahwa mereka juga capai. Kewalahan menghadapi massa yang beringas dan gas air mata. Meski begitu, beberapa orang yang dianggap provokator sudah ditangkap.
“Polisi mengaku kalau ia juga lelah.”
Siapa pun juga pasti akan lelah, jika perang tensinya semakin naik dan massa terus melempar batu, petasan, dan barang-barang yang mereka anggap “peluru”.
Apalagi setelah beredar video Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Harry Kurniawan yang menenangkan situasi setelah demonstran akan meninggalkan tempat perkara, namun ada orang yang memprovokasi lagi.
“Pak ustaz, bantu kami Pak ustaz. Bantu kami. TNI Polri keluarga besar masyarakat juga. Jangan provokasi lagi. Jangan teman-teman.”
Keadaan sekarang begitu memprihatinkan. Apalagi saat seorang polisi menelepon anaknya. Satu gambar yang dipotret seorang jurnalis itu, benar-benar bikin saya atau kita yakin, kalau mereka tak mengharap kerusuhan.
Apalagi saat tangisan-tangisan keluarga korban yang meninggal akibat kerusuhan itu. Mereka semua orang biasa. Ibu dan keluarganya tidak pernah berpikir, jika anaknya harus pulang tanpa nyawa.
Lebih dari itu, tentunya masih banyak orang yang merindukan keluarganya di palagan yang sudah dua hari ini terus berkobar. Pekerjaan seorang pasukan oranye juga dipastikan makin berat sebab sampah di mana-mana.
Tiba-tiba kawan saya nyeletuk dan uring-uringan singkat. Ia mengeluhkan sikap buzzer-buzzer politik yang memprovokasi untuk menyalahkan satu sama lain.
Setelah media sosial terganggu karena aturan pemerintah, di Twitter, dari pantauan saya, memang masih banyak orang yang saling menyalahkan. Celakanya, mereka seorang buzzer.
Saya berpikir, andai saja kekuatan propagandanya dipakai untuk berkampanye dalam menghentikan peperangan dan mendesak pemerintah serta oposisi, agar sama-sama turun tangan menciptakan ketenangan.
“Provokasi terus. Semua orang yang ada di lapangan capek. Kenapa mereka tidak berhenti untuk menaikkan tensi panasnya media sosial ya?”
Saya selalu yakin, jika suara-suara sumbang mempengaruhi pikiran, tindakan, dan emosi seseorang. Istilahnya, membentuk opini agar masalah ini tidak selesai. Bagaimanapun dalih mereka.
Sudah beberapa hari ini, para corong-corong oposisi dan penguasa terus menerus saling menyalahkan. Saya berpikir, jika mereka tetap begitu, maka polarisasi tidak akan selesai.
Isu ini akan padam, tapi dalam waktu yang lama setelah kenyataan para buzzer elite kita menang-menangan. Meski begitu, isu ini masih akan menyisakan residu. Itu pikiran saya pribadi.
Tak ada kisah menarik selain keletihan dan tangisan dari kerusuhan yang diakibatkan pertentangan elite ini. Apa nikmatnya berperang dengan masyarakat sendiri? Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Sebelum kawan saya bercerita, kemarin, reporter Lontar juga datang dari meliput kerusuhan. Ia mengabadikan beberapa beberapa video yang cukup banyak ditonton. Tentu saja banyak provokasi juga di kolom komentar.
Saat datang, ia dipeluk oleh anaknya yang masih kecil. Anaknya baru akan berumur tiga tahun. Anaknya, suka memeluk kaki ayahnya dan kaki semua teman kantor, jika sedang bermain-main.
Reporter saya itu lalu mengeluarkan sekotak makanan yang diberi oleh tentara yang berjaga di sekitar Sarinah. Saya memerlinya, “cieh, yang habis dapat makanan. Asyik. Jadi tak lapar di sana?”
Ia tertawa. Seisi kantor juga tertawa. Saya bersyukur, ia tidak celaka pada malam kemarin. Ia langsung menyuruh anaknya makan dengan nada yang lembut. Wajah anaknya bahagia.
Jika saja perang tak berkesudahan dan hasilnya hanya membuat orang tewas sia-sia, bagaimana keluarga mereka? Bagaimana perasaan sahabat dan temannya karena itu?
Dalam hati, kemarin, saya terus berdoa agar teman-teman saya kembali ke rumah tanpa kurang suatu apa. Sebab mereka punya keluarga yang menunggu. Soalnya, ia turun ke lapangan, tidak membuat status memperkeruh suasana di rumah.