Jakarta, Lontar.id – Persepakbolaan Indonesia dikagetkan dengan keinginan PSSI untuk mengadakan Video Assistant Referee (VAR). Ini kabar yang menggembirakan.
Indonesia tentu saja siap menyongsong sepak bola modern. Ada beberapa klub yang pengelolaannya sudah sangat mutakhir. Ada juga yang manajerialnya masih memakai pola konvensional.
Masuknya VAR juga akan meningkatkan kepercayaan diri para pemain dan ofisial klub. Jika toh nanti dalam pertandingan, mereka dirugikan, ia bisa meminta wasit untuk mengecek apakah ia merugi atau tidak.
Membayangkan ada VAR di Indonesia, seperti membayangkan pemerintahan yang bersih. Kita bahagia dengan program, tapi di sisi lain, banyak borok di sana -sini. Masih banyak yang mesti dibenahi.
Saya kira pengadaan VAR itu baik, tetapi lebih baik membenahi hal yang lebih substansi dulu. Ketimbang main-main dengan teknologi yang kita sendiri belum bisa mengaplikasikannya.
Sama seperti penggunaan lampu lalu lintas. Itu adalah salah satu teknologi yang pas agar perjalananan kita tidak terhambat oleh orang yang ugal-ugalan di jalanan.
Sama seperti lampu waspada di persimpangan rel kereta api. Itu sebuah teknologi yang baik juga. Ia mengingatkan agar kita jangan dulu melaju, sebab kereta api akan lewat sebentar lagi.
Tetapi, kenyataannya tidak. Di Indonesia, banyak lampu-lampu lalu lintas yang sudah tidak menyala. Hanya jadi barang rongsokan untuk dipamer kalau teknologi kita sudah selangkah lebih maju.
Hasil dari itu adalah, masyarakat kebingungan. Apakah sudah waktunya ia melaju, berhenti, atau hati-hati. Jika menyala, para pengendara biasanya bebal dan seakan-akan tak tahu aturan.
Mereka melabrak saja lampu lalu lintas. Selama dirinya aman-aman saja, maka tak penting untung mengikuti aturan. Negara ini selalu kesulitan mengajari kita menjadi orang yang berbudi, kok.
Begitu juga lampu waspada kereta api. Banyak kecelakaan terjadi karena tak patuh pada aturan. Ada kendaraan yang ditabrak kereta karena buru-burunya ingin lebih cepat dari jalannya kereta api.
Dua aturan di atas akan terlaksana dengan baik, jika ada aparat pemerintah yang mengawasi, yang siap memberi sanksi pada pengendara yang buta ketertiban. Jika tidak?
Para aparat juga tidak semuanya bersih. Ada yang bisa masuk angin, karena melihat duit. Alih-alih menghukum si pelanggar, yang ada aparat yang dihukum pelanggar.
Di tengah degradasi moral orang-orang seperti kita, dan tak berbudinya para antek-antek petinggi federasi, sepak bola Indonesia hanya akan begini-begini saja. Baku pukul di lapangan dan saling bunuh antarsuporter.
Baik di luar, bobrok di dalam. Pakai VAR demi modernisasi, tapi potensi dikangkanginya juga besar. Andai ada youtuber bertanya, berapa harga VAR lu? Kita jawab mahal. Sebab hanya itu yang kita punya.
Jika tetangga kita punya mobil, kita juga ingin ikut-ikutan punya mobil. Jika tetangga kita makan 73 kali sehari, kita juga tidak mau kalah, harus makan 80 kali sehari.
Kita berlomba-lomba untuk maju dan menyisihkan aturan-aturan yang di luar kepala, kita sudah hapal. Sebab begitulah kita. Kita cenderung keliru membesarkan panutan-panutan.
Saya membaca gejala, jika VAR akan membuat suporter makin beringas. Jika ada kesalahan yang dibuat oleh satu klub, lalu wasit meminta VAR dan tidak merugikan klub itu, maka yang terjadi hanyalah pertikaian.
Suporter akan makin keras memaki. Bisa saja mengancam seorang wasit atau mendatangi hotel yang ia tempati. Kita mana tahu, siapa-siapa suporter yang nekat berbuat begitu atas nama fanatisme.
Sebagai pengadil lapangan, wasit pengambil keputusan utama. Keputusannya bisa goyah, kalau seseorang menelponnya agar memenangkan salah satu klub. Jika tidak, bisa dor atau kariernya terhenti di tengah jalan!
Kita cukup mampu ikut standar asyiknya nonton bola di Eropa, kalau kita sosok yang patut dijadikan teladan. Tetapi federasi hari ini, saya kira beulm bisa dijadikan contoh. Bebas melanggar, yang penting masih ada ketek PSSI yang dipakai untuk berteduh.
Kita belum butuh VAR dan teknologi masa kini. Kita butuh belajar lagi dan lagi untuk menjadi luhur. Semuanya, tanpa tedeng aling-aling.