Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA. Pimpinan BAZNAS Enrekang
Jakarta, Lontar.id – Zakat fitrah dimaknai sebagai zakat ‘berbuka puasa’, demikian adanya sebab ditunaikan pada akhir Ramadhan, dimana orang tidak boleh lagi berpuasa. Zakat fitrah kerap juga disebut sebagai zakat jiwa sebab kewajiban dibebankan kepada segenap jiwa yang hidup atau terlahir sebelum salat idul fitri berlangsung setelah habisnya puasa bulan Ramadhan.
Syariat zakat fitrah bermula pada tahun kedua hijriyah, atau berada pada tahun yang sama dimana puasa Ramadhan diwajibkan. Maka zakat fitrah hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan bulan puasa. Begitu pentingnya kedudukan zakat fitrah sehingga setiap muslim wajib mengetahui beberapa perkara yang berhubungan dengan hukum atau ketetapan agama terkait dengan itu.
Tulisan ini akan memaparkan problematika zakat fitrah yang kerap jadi perdebatan di tengah masyarakat: Pertama. Substansi dan tujuan zakat fitrah. Dalilnya bersumber dari hadis Ibnu Abbas yang berkata, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci orang berpuasa dari perbuatan dan perkataan keji [selama puasa], serta sebagai makanan pokok untuk orang-orang miskin”. (HR Abu Daud: 1609, dan Ibnu Majah: 1827). Jadi zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berfungsi untuk mensucikan ibadah puasa seorang muslim dan menyempurnakannya.
Karena boleh jadi dalam ibadah puasanya di bulan Ramadhan tersebut memiliki beberapa pelanggaran dan ketidaksempurnaan penyelenggaraannya, sehingga zakat fitrah diharapkan bisa menyempurnakan dan menyucikan pelanggaran tersebut; juga memberikan kecukupan makanan dan kebutuhan fakir miskin serta membuat mereka terhibur dalam menyongsong hari besar idul fitri, sehingga mereka turut serta bisa merayakannya seperti kaum muslimin lainnya.
Kedua.
Kadar zakat. Jika merujuk pada nash hadis terkait jenis zakat yang dikeluarkan, maka yang paling otentik adalah hadis Ibn Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki, perempuan, besar dan kecil dari kaum muslimin, (Muttafaq ‘Alaihi).
Jika merujuk pada dalil di atas maka yang dikeluarkan adalah makanan pokok, atau beras bagi orang Indonesia. Tapi beberapa ulama muktabar membolehkan berzakat dengan uang yang senilai dengan makanan pokok. Di antara penganut pendapat ini adalah Imam At-Tsauri, Abu Hanifah dan Hasan Al-Basri. Pendapat ini diperkuat dari riwayat Ibnu Abu Syaibah dari ‘Aun, ia berkata, Aku telah mendengar surat Umar bin Abdul Aziz yang dibacakan pada ‘Abdi, Gubernur Basrah, bahwa diambil dari haji pegawai kantor, masing-masing setengah dirham.
Imam Hasan Al-Basri berkata, Tidak mengapa dikeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Berkata Abu Ishaq, Aku mendapatkan orang-orang membayar zakat fitrahnya pada bulan Ramadhan beberapa dirham seharga makanannya, (Tim Penulis, Fikih Zakat Kontekstual, BAZNAS, 2018). Sedangkan takaran satu sha’ di Mesir disamakan dengan 1/6 liter gandum, karena gandum lebih berat dari beras, maka untuk kehati-hatian kita tetapkan satu sha’ sama dengan 2,5 kg (3,5 liter) beras.
Di antara alasan bolehnya membayar zakat dengan nilai uang karena sesuai dengan hadis Nabi, diriwayatkan Ibnu Adiy dan Daraquthni “Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini, jangan sampai meminta-minta”. Mencukupkan mereka bisa dengan harganya, bisa pula dengan makanannya. Kadangkala harganya itu lebih utama, sebab terlalu banyak makanan pada orang fakir miskin menyebabkan kehendak untuk dijual, sedangkan apabila harganya (uang), si miskin bisa langsung mempergunakannya untuk membeli segala keperluannya seperti makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya, (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, 2011).
Dalil di atas juga menjadi patokan atas kewajiban zakat fitrah terhadap semua muslim yang punya persediaan bekal makanan untuk keluarga lebih dari sehari semalam atau di atas dua hari sebagaimana pendapat Syafi’I dan Maliki, Imam Asy-Syaukani juga menekankan bahwa pendapat ini lebih kuat dan benar, ada pun pendapat Abu Abu Hanifah bahwa yang wajib bezakat fitrah adalah yang punya harta dan satu nishab emas (85 gr), pendapat terakhir ini dianggap lemah, (Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Darul-Fikr, Beirut, 2007).
Ketiga. Waktu berzakat. Terkait waktu pembayaran zakat fitrah, ada beberapa dalil, antaranya yang diriwayatkan oleh Muslim (No. 22) dan Bukhari (No. 1432) lewat jalur Nafi’ dan Ibn Umar, bahwa Nabi memerintahkan untuk membayar zakat sebelum manusia keluar menunaikan shalat Idul Fitri. Namun, dalam praktiknya Ibn Umar justru membayar zakat lebih cepat sehari atau dua hari sebelum lebaran, dan menganjurkan agar para sahabat berbuat demikian. Karena itu, para ulama secara mainstream sepakat bahwa kewajiban zakat fitrah terletak pada akhir Ramadhan.
Kecuali Imam Syafi’i yang membolehkan berzakat sejak awal Ramadhan karena sebab dari turunnya syariat zakat fitrah karena puasa di bulan Ramadhan, juga Abu Hanifah yang membolehkan sejak pertengahan bulan puasa. Seperti halnya zakat mal (harta) boleh membayar sebelum jatuh tempo, dalam artian pembayaran zakat sebelum datang waktunya bersifat sunnah dan terpuji, adapun jika waktunya telah tiba maka ia bersifat wajib. Mempercepat pembayaran zakat fitrah juga menjadi anutan mazhab Badan Amil Zakat Nasional dengan alasan untuk memudahkan amil dalam pengumpulan dan penyaluran kepada para mustahik yang benar-benar butuh, sehingga ketika hari bergembira tiba, mereka pun turut bergembira dengan menikmati zakat fitrah.
Keempat. Ashnaf, atau yang berhak menerima zakat fitrah. Zakat fitrah sama kedudukannya dengan zakat harta, dan peruntukannya pun juga sama yakni merujuk kepada firman Allah (QS. At-Taubah: 60) bahwa zakat diperuntukkan untuk golongan fakir, miskin, muallaf, amil, budak, bangkrut, berjuang di jalan Allah, dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Penyusunan ashnaf menurut Sayid Sabiq dalam “Fiqhus-Sunnah” bersifat skala prioritas dari bawah ke atas (littar-tiib). Pendapat ini sangat sesuai dengan substansi zakat fitrah, yakni makanan bagi fakir dan miskin, dan mencegah meminta-minta di hari bahagia. Selain itu, dimana zakat dikumpulkan maka di situ pula zakat didistribusikan.
Kecuali jika di daerah tersebut tidak terdapat lagi asnaf maka dapat dialihkan ke daerah lain yang lebih membutuhkan, terutama fakir miskin. Demikian dikemukakan oleh Al-Murtadha dalam “Al-Bahr al-Zakhkhar al-Jami’ li Mazhab Ulama al-Anshar” bahwa dimakruhkan memberikan zakat fitrah kepada fakir miskin daerah lain, kecuali dengan tujuan yang lebih utama.
Kelima. Kewajiban mendoakan muzakki. Panitia penerima dan pengurus zakat fitrah atau amil wajib mendoakan orang yang berzakat, berdasar pada firman Allah (QS.At-Taubah: 103), Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakan mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Berdasarkan perintah mendoakan itu, sehingga semua ulama sepakat bahwa amil wajib hukumnya mendoakan orang yang berzakat.
Ada pun doa yang dirumuskan para ulama dan dipakai secara masyhur adalah, “Ajrakallahu fima a’thaeta wa Baraka fimaa abqaeta. Semoga Allah mengalirkan pahala kepada harta yang engkau keluarkan dan memberkati harta engkau yang tersisa”.
Dengan menunaikan syariat zakat fitrah sesuai tuntunan sunnah dan arahan para ulama muktabar, maka puasa kita akan semakin sempurna. Kebahagiaan di hari raya adalah hak setiap umat Rasulullah tanpa membedakan kaya dan miskin, pejabat atau rakyat biasa. Begitulah indahnya agama Islam. Wallahu A’lam!