Lontar.id – Menarik untuk disimak tentang dua narasi sarkas yang mengemuka dari sebagian masyarakatnya akhir-akhir ini, terutama dalam lanskap dinamika politik di Bima, yakni faksinasi antara kelompok yang menolak dan kelompok yang mendukung “IDP Dua Periode”.
Secara politik, hal itu merupakan suatu hal yang wajar, dan tentu bukanlah suatu pelanggaran pidana. Sebab demokrasi memberi ruang menyampaikan aspirasi bagi setiap warga negara, baik yang setuju untuk mendukung pemerintah (koalisi) maupun yang mengambil jarak secara oposisional dengan penguasa. Dan bahkan ini telah diatur dalam Kita Hukum kita yaitu UU No. 9 Tahun 1998, bahwa negara melindungi setiap perbedaan pandangan dan pilihan politik tersebut.
Sehingga, penolakan “dua periode” dari kelompok masyarakat tersebut bisa dimaknai sebagai aspirasi politik, pilihan politis, dan perbedaan pendapat: ini sehat untuk demokrasi, khususnya di aras lokal. Menjadi salah dan inkonstitusional apabila mereka “melarang” IDP atau siapa saja untuk ikut berpartisipasi dalam politik.
Kedua diksi tersebut, antara “menolak” dan “melarang” adalah dua leksikal dan etimologi yang berbeda. “Menolak” itu hak politik setiap warga negara, sedangkan “melarang” itu sikap vandanisme politik yang dapat mengancam kelangsungan hidup demokrasi dan Pancasila, dan sudah tentu suatu kedunguan dan inkonstitusional.
Sebab, dalam UU No. 9 tersebut telah mengatur hak-hak setiap individu untuk berpolitik, beragama dan mengekspresikan dirinya, secara setara dan tanpa membedakan antar suku, agama, ras dan golongan tertentu.
Memilih menjadi bagian yang “menolak” itu hak! Sama dalilnya ketika IDP memilih untuk kembali maju melanjutkan “dua periode” dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Bima ke depan. Atau sebaliknya, ia memilih untuk tidak lagi maju dengan alasan (misalnya), ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk anak-anaknya dan keluarganya. Itu hak politiknya dia, suka-suka IDP. Begitu juga posisi hukumnya dengan kelompok yang mendukung “IDP dua periode”. Sama-sama hak dan dilindungi.
Yang salah adalah, pertama, perbedaan pilihan politik tersebut memunculkan konflik horizontal antar kelompok di masyarakat bawah. Ini yang justru harus “ditolak” dan “dicegah” bersama. Karena akan menyebabkan disintegrasi dan kemandegan pembangunan di Bima.
Kedua, perbedaan pilihan politik tersebut melahirkan sikap ovensif dan fanatisme yang berlebihan dari setiap kelompok yang merasa benar atas tindakannya, sehingga dengan sesuka hati mengeluarkan umpatan, cacian, makian, hinaan yang justru bersifat subjektif dan fitnah, melanggar hukum, rasis, dan bertentangan akal sehat.
Seharusnya, bagi kelompok oposisi, jika “menolak IDP” tolaklah dengan argumen akal sehat, dengan cara menampilkan indikator-indikator rasional, data-data yang objektif dan valid. Bukan dengan emosional, amarah, makian, fitnah dan tidak berdasarkan data statistik yang benar.
Sebaliknya, bagi kelompok “pendukung IDP”, dukunglah dengan rasional, dengan akal sehat. Mengemukakan seluruh prestasi dan kesuksesan IDP selama menjabat, yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Bima dan dapat meningkatkan PAD dan APBD. Infografis-infografis tersebut dapat menjadi acuan argumen kenapa IDP harus didukung atau harus ditolak.
Bukan dengan “gula-gula”, dengan puji-puji yang tidak masuk akal, yang tidak ada faktanya sama sekali di masyarakat, yang justru bertentangan antara kata dan realitasnya. Ini namanya bunuh diri, melacurkan diri, dan menjilatkan diri. Hanya karena sebiji permen atau sebatang rokok. Namun realitasnya, gejalah ini justru menguat di tubuh pemerintah dan aktivis di Bima; yaitu pejabatnya suka madu dan aktivisnya senang memberi madu, karena pada madu ada vitamin penambah vitalitas.
IDP harus menyadari kondisi ini. Menjadikan “penolakan” itu sebagai bahan introspeksi, evaluasi, dan konsolidasi. Juga harus pandai melihat siapa yang hanya menjilat dan sibuk memberi “gula-gula” dengan yang tulus bekerja dan berbuat tanpa pernah mengharap imbalan. Sebagai bupati perempuan pertama, harus mampu menunjukkan apa yang beda dari IDP, bahwa di tangannya “Bima bisa lebih baik!”.
Penulis: Al Farisi Thalib
(Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies)