Jakarta, Lontar.id – Jakarta Selatan pada Minggu 3 Juni 2019, baru hujan. Saya sedang demam dan merasa, kalau penyebabnya adalah cuaca yang tak bisa ditebak. Bisa juga karena ditulari kawan saya yang lebih dulu influenza.
Malam itu, es buah yang disajikan istri dari kawan saya sungguh enak. Banyak buah dan agar-agar. Tidak seperti yang dijual di pinggir jalan: berwarna sirop pink muda dan terasa hambar.
Saya mengunyah es buah dengan lahap, meski saya tahu, saya sedang demam. Tapi apa arti demam, jika ada obat di kantong yang siang kemarin saya beli? Ia tak bisa mengalahkanku, pikirku.
Pesawat saya akan terbang pada jam 10 malam ke Makassar. Kawan saya, yang tak punya uang tunai, memesan kendaraan yang bisa dibayar pakai uang elektronik. Syukurlah.
Pukul tujuh, mobil sudah datang. Berwarna hitam dan mengkilap. Pengemudinya tidak tersenyum saat saya membuka pintu. Saya menggerutu dalam hati.
Perjalanan dari rumah ke bandara menghabiskan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Sopir dengan cepat memacu gas untuk meninggalkan pengemudi yang menghalanginya.
Terus terang, saya deg-degan dengan keadaan itu. Jalanan sedang licin. Mana tahu mobil akan tergelincir. Saya tipikal orang yang takut dengan kecepatan tinggi.
Kecelakaan banyak terjadi di Jakarta. Ada yang mobilnya menabrak sempadan jalan, terbalik, dan kesialan lainnya. Di instagram yang menyorot ibu kota, kecelakaan hampir tiap hari dipertontonkan.
Kedongkolan muncul, saat mobil yang kami tumpangi baru keluar dari gang rumah, dan mendapati satu mobil sedan hitam di tengah-tengah jalanan. Ia tak mau pindah.
Sopir dengan cepat mengklakson dan menyindir pengemudi yang ingin disingkirkannya. Untung saja kaca mobil sedang tertutup. Jika terbuka, maka saya melihat wajah muram masyarakat Jakarta yang mud dijumpai: egois, tidak sabaran, dan senang bilang “anjing”.
Entah mengapa masyarakat Jakarta senang sekali dengan makian itu. Makin dianggap kerenlah, karena hinaan atau candaan itu sering dipamerkan seorang youtuber terkemuka. Indonesia ini makin miring diikuti jiwa dan otak penduduknya.
Gas terus dipacu. Sopir masih duduk, diam, tegang, dan ingin cepat sampai di tujuan. Kami mengambil pintas dengan lewat jalan tol. Jalanan Jakarta bertingkat, gedung-gedung menjulang, dan langit sangat kelam. Lampu-lampu gedung meredup. Satu dua kantor sedang libur.
Satu kali, kawan perempuan saya, pernah ketakutan mengikuti jalur jalan layang. Ia melihat bangunan akan menyergap dirinya. Ia takut setakut-takutnya. Di atas motor yang ia kemudikan sendiri, ia berdoa sesuai agamanya.
***
”Syukurlah, hari ini hujan, ya, Pak?”
Sopir tetap bergeming meski dipancing basa-basi agar suasana tidak beku. Saya dan kawan saya memang senang mengobrol dengan sopir dan siapa saja. Begitulah saya mendeskripsikan mereka secara sederhana.
“Pintu a1, ya, Pak?”
Kawan saya menyambut pertanyaan itu seperti anak kecil yang biasanya datang ke rumahmu saat lebaran, berombongan, dan mengeroyok keluarga besarmu dengan meminta uang kecil. Rezeki memang harus dibagi-dibagi.
“Iya, Pak.”
Sopir pergi. Kami mencari tempat yang bisa ditongkrongi dengan merokok dan minum kopi. Di ujung sebuah musala, kami temukan kursi untuk mengaso. Sebatang dua batang rokok habis terbakar, lalu satu per satu dari kami izin salat Isya.
Musalanya adem dan dilengkapi pendingin ruangan. Teman saya membanggakan rumah Tuhan yang kecil itu. Tak seperti udara Jakarta yang panasnya bukan main saat siang, dan malam yang masih saja menggerahkan kami sekontrakan.
Kami duduk selama dua jam di kursi plastik. Kami membahas banyak hal tentang Anies Baswedan, caleg yang ditipu rakyat yang katanya makin cerdas karena sudah mengenal uang, serta pengusaha asal Sulsel yang sukses di Papua.
Sudah jam 9. Teman saya bergegas dan mengomong tak karuan. “Sialan, kita akan terlambat.”
Saya bertanya, kenapa cepat sekali, pesawat kita kan berangkat pukul 21.40?”
“Dipercepat. Ini sudah ada telepon dari pihak penerbangan. Teleponnya sudah tiga kali.”
***
Saya mengutuki perubahan yang tiba-tiba kami alami. Mungkin Anda merasa bahwa sering sekali pihak penerbangan meminta kau untuk datang lebih dini agar tak tertinggal.
Pertanyaan-pertanyaan memukuli kepala saya. “Kenapa dengan segenap kekuatan rakyat, pihak penerbangan sialan yang sering terlambat ini, tidak pernah mau menunggu orang yang telat? Apakah selama kita harus yang menanti dan memaklumi keterlambatannya?”
Kita dipaksa berbenah dengan otoritas yang sulit untuk diatur. Sementara kita tidak pernah bisa mengubah otoritas itu. Pembuat otoritas itu menciptakan perangkap seperti senioritas yang harus selalu benar di mata juniornya.
Bandara Soekarno Hatta kesepian. Mungkin karena kenaikan harga tiket pesawat, jadi orang-orang melirik kapal laut dan pelabuhan yang jadi antik karena pilihan kedua.
Kami melewati banyak pintu-pintu penjaga. Tiga kali saya harus membuka jaket, menyimpan buku karangan Eka Kurniawan dan Gabriel Garcia Marquez, ponsel dan tas ransel.
Selama tiga kali pula, kami berhenti sejenak lalu lari kecil lagi seperti yang akrab saya lakukan di lingkaran halaman Stadion Gelora Bung Karno saat sore hari pada akhir pekan.
Di pintu terakhir ruang keberangkatan, seorang petugas Angkasa Pura bertanya dengan senyum yang mengembang. Di pipinya sudah terpulas rona merah. “Dari mana, Pak? Kok bisa terlambat?”
Ya, Tuhan. Saya terlena saat itu. Pertanyaannya seperti seorang kekasih yang menunggu di sebuah restoran cepat saji yang harus mengantre lama disebabkan banyaknya orang yang kelaparan di luar rumah.
Saya tersenyum saja sambil berjalan cepat diselingi berlari ke tangga yang menyambungkan ruang keberangkatan dan area pacuan pesawat. Pintu shuttle bus terbuka. Kami harus diantar lagi menuju pintu pesawat dekat kokpit.
Boarding pass kami diperiksa oleh pramugari yang murah senyum dan berwajah manis berbaju khas Cina yang rambutnya sudah tergulung rapi. Kami diarahkan ke kursi yang deretannya diisi teman saya juga.
Buku saya buka. Lampu otomatis pesawat dimatikan. Saya menyalakan lampu baca di atas kepala saya. Teman saya nyeletuk, “dulu, waktu jelang lebaran tahun lalu, pesawat masih ramai penumpang. Sekarang, kursinya banyak yang kosong.”
Saya pikir ini karena efek meroketnya harga tiket, yang banyak dikeluhkan masyarakat. Itulah risikonya. Tapi saya kira perusahaan maskapai tidak rugi. Jajaran petingginya sudah berdiskusi dengan pengambil kebijakan di Jakarta.
Di belakang saya, tercium aroma mie rebus yang sudah dicampur telor ceplok. Saya menebak, kalau rasanya adalah kari ayam. Kalau bukan, pasti soto. Baunya harum sekali.
Dalam hati saya berujar, “Kampung halaman dan membangunkan ibu untuk sahur bersama adalah kenikmatan tak terkira meski harus dibayar mahal. Mudik adalah penawar racun paling ampuh. Keluarga dan tanah leluhur adalah tempat saya belajar berkorban.”