Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA, Peneliti MIUMI; Pimpinan BAZNAS Enrekang
Lontar.id – Ditilik dari sudut bahasa, miskin berarti lemah ekonomi, papa, dan hina. Dari sudut istilah, berarti tidak memiliki harta atau penghasilan yang cukup untuk menutupi kebutuhan hidupanya selama sebulan.
Kondisi miskin sedikit lebih baik dibandingkan fakir, sebab yang disebut fakir adalah mereka yang tidak memiliki harta dan penghasilan untuk menutupi kebutuhan hariannya.
Golongan tersebut kebanyakan berasal dari lansia dan cacat permanen yang tidak memungkinkan untuk berkeja dan menghasilkan upah, pendapat ini diperkuat oleh beberapa ulama besar, termasuk Qatadah.
Beda antara fakir dan miskin juga dilihat dari sisi usahanya mendapatkan makanan harian, umumnya golongan miskin masih berupaya keliling tempat meminta-minta, mencari recehan dan sesuap nasi, sedangkan fakir hanya diam di rumah menunggu uluran tangan.
Dalam kenyataannya, baik Alquran maupun hadis kerap menggunakan kata miskin dibandingkan dengan fakir, sebab posisi keduanya kerap bergantian. Selain itu, dua kondisi tersebut merupakan bagian dari golongan yang wajib dibantu dari berbagai sisi, terutama pemenuhan kebutuhan hidup.
Dewasa ini, sudah banyak lembaga yang didirikan untuk mengukur batas garis kemiskinan, hanya saja satu lembaga dengan lainnya kerap berbeda sebab berbeda dalam menentukan indikator penelitian.
Misalnya Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan bahwa batas demarkasi garis kemiskinan yang berpenghasilan Rp370 ribu per bulan. Patokan itu diambil sebab yang disebut miskin menurut pemerintah adalah yang tidak mampu membeli makanan pokok (karbohidrat) seperti beras, jagung, ubi, dan semisalnya. Padahal kita juga butuh protein. Sederhananya, selain makan nasi, manusia Indonesia juga butuh lauk-pauk.
Jika merujuk Bank Dunia, golongan miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari USD. 1,9 per hari, atau sekira Rp.810 ribu per bulan dengan kurs saat ini Rp14.500.
Adapun Pusat Kajian Strategis Baznas RI menetapkan batas minimum kebutuhan asasi masyarakat Indonesia atau ‘had kifayah’ sebesar Rp770 ribs per bulan per orang, dan Rp1 juta per keluarga.
Saat ini, angka kemiskinan di Indonesia jika merujuk pada data BPS, berkisar 30 juta orang, tapi jika merujuk pada Bank Dunia dan Puskas Baznas bisa membengkak dua kali lipat.
Posisi zakat
Sebagai agama pamungkas, Islam datang dengan kesempurnaan ajarannya, menawarkan solusi atas ragam masalah yang selalu timbul tanpa kenal seting ruang dan waktu. Salah satu di antaranya adalah problematika kemiskinan beserta solusinya.
Begitu jelas bahwa zakat adalah ibadah dalam dimensi lain, karena merangkum dua sasaran, penghambaan kepada Allah berupa ketaatan dalam menjalankan perintahnya dan kedua sebagai contoh nyata bahwa dalam beragama seorang muslim harus bersifat sosial (ibadah Maliyah ijtima’iyah). Inilah manifestasi hablum minallah dan hablum minannas, hubungan dengan Allah dan antarmanusia.
Zakat berfungsi sebagai penawar dari penyakit lahir dan bathin, at-tathir dan at-tazkiyah. Para muzakki—yang berzakat—merupakan manusia yang ingin suci dari sifat-sifat rakus, tamak, ego, berlebih-lebihan. Dengan zakatnya, maka para mustahiq—yang menerima zakat—akan menjaga dan menghargai orang-orang kaya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa zakat adalah solusi dalam mengatasi kemiskinan iman dan harta. Bagi yang kaya harta, tapi miskin iman, jika ia mengeluarkan zakat harta dan jiwanya secara langsung dikategorikan oleh golongan taat dan berubah menjadi kaya iman, sebab persoalan zakat adalah ketaatan menjalankan perintah Allah dan keimanan terhadap pahala dan keutamaan ibadah harta tersebut.
Bagi yang miskin harta, maka dengan menerima zakat, baik dalam bentuk santunan maupun pemberdayaan akan melahirkan manusia mandiri dan suatu saat akan meningkat menjadi muzakki baru.
Karena zakat merupakan hak mustahik, maka ia berfungsi untuk menolong, membantu, dan membina golongan fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan nyaman beribadah kepada Allah, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus mereduksi sifat dengki dan iri hati kepada orang kaya.
Jika ditilik dari sudut pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan pengelolaan baik, dimungkinkan mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic growth with equality.
Zakat adalah sistem pewarisan Islam cenderung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai manfaat dari zakat, harta akan selalu beredar. Zakat juga bisa menjadi sumber kas negara dan sekaligus soko guru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Alquran.
Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan, di saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Sekaligus sebagai institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta setiap muslim secara praktis saat hartanya sudah sampai atau melewati batas wajib zakat (nishab).
Akumulasi harta di tangan satu orang atau golongan tertentu jelas dilarang, agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Hal itu sesuai dari pengertian atas terjemahan QS. Al-Hasyr[59]:7.
Selain zakat, Allah juga memberikan jalan lain beribadah dalam bentuk harta, berupa infak sedekah, waqaf dan semisalnya. Ibadah-ibadah tersebut merupakan ibadah harta yang pahalanya sungguh besar, tidak hanya dinikmati di akhirat, bahkan di dunia pun dapat dirasakan.
Berbagi antarsesama adalah keniscayaan, sebab di antara golongan kaya dan berpendapatan tetap, ada kelompok masyarakat yang miskin dan tidak memiliki penghasilan tetap. Mereka ini menanti uluran tangan demi menyambung hidup.
Di sinilah salah satu fungsi puasa, membawa kita merasakan bagaimana susahnya kehidupan jika seseorang untuk makan dan minum saja tidak tersedia. Sampai pada sebuah tahap bahwa puasa tanpa bebagi, menjadikan puasa seseorang tidak sempurna bahkan sia-sia.
Demikan filosofi zakat fitrah, menjadi pembersih dari noda-noda dosa yang melekat pada orang berpuasa, sampai pada saat tertentu mampu mensucikan jiwa dari perasaan kikir, rakus, dan takabbur. Terpenting zakat fitrah maupun zakat mal adalah harapan kegembiraan golongan fakir miskin.
Mari berbagi di Bulan Ramadhan!
Enrekang, 3 Mei 2019/28 Ramadhan 1440.