Hampir setiap tahun, mudik menjadi peristiwa yang penting bahkan sakral bagi suatu keluarga, setidaknya itu yang saya rasakan saat setiap menjelang lebaran. Kami sekeluarga pulang kampung, mengunjungi rumah Nenek, bertemu dan bersapa akrab serta meminta maaf dengan keluarga dan kerabat. Momen-momen seperti itu, barangkali dilakukan hampir seluruh keluarga di Indonesia.
Saat menjelang lebaran seperti ini, saya kembali memutar ulang memori-memori itu. Kenangan menyambut keluarga yang datang dari luar pulau Sulawesi Selatan terputar kembali. Untunglah, perkara mudik, saya dan keluarga biasanya hanya menempuh perjalanan selama lima jam. Kerepotan yang harus dihadapi bagi banyak keluarga yang merantau di luar pulau, tidak kami rasakan. Proses menabung untuk membeli tiket pesawat, mengincar harga tiket murah, dan lain-lain tidak pernah kami lakukan.
Saat merantau sendiri ke Jakarta, peristiwa mudik menjadi sesuatu yang agak merepotkan. Saya perlu menyediakan waktu untuk mencari tiket murah dan mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk tiket pesawat, pulang-pergi, Jakarta-Makassar. Meski demikian, kerepotan itu tidak membuat “rasa” mudik jadi berbeda. Biasa saja. Padahal, harusnya meninggalkan pulau Sulawesi menjadikan mudik sebagai peristiwa kepulangan yang harus direfleksikan. Tapi tetap saja, rasa yang hadir saat lebaran tiba sama, hampir setiap tahun. Hal itu membuat saya berpikir, mudik barangkali bukanlah sebuah momen kepulangan. Kita saja yang terlanjur memaknai mudik sebagai peristiwa kepulangan, padahal sebenarnya apakah kita bisa benar-benar pulang?
Pulang bagi sebagian orang, termasuk saya justru merupakan proses menemukan diri dalam proses bepergian. Dalam artian, kita tak akan pernah pulang, jika tak merasakan pergi. Pergipun sejatinya menjadi awal mengenal diri lebih utuh. Kita kadang justru lebih mengenal diri dan kampung halaman saat berada di tempat yang terpisah ratusan mil dari tempat asal. Bahkan rasa cinta dan rindu hanya bisa dirasakan berkali-kali lipat lebih besar saat merantau. Saya pikir, ihwal menemukan diri juga demikian, kita menemukan diri yang lain di tempat berbeda dan kembali ke kampung halaman untuk melihat diri yang lebih utuh. Kepulangan selalu soal pergi dan mencari diri. Sehingga, sampai hari ini, mudik yang saya lakukan mungkin sebatas ritual dan ucap basi kata-kata indah. Tidak ada dekonstruksi pemaknaan pulang yang lebih indah pada momen-momen mudik setiap tahunnya. Tak ada proses pencarian diri.
Saya teringat dengan putri Jasmine dalam kisah Aladdin. Putri yang dikurung dalam istana dan tidak bisa melihat dunia. Ia menjadikan buku dan peta sebagai jalan melihat dunia, tapi toh ia tetap tidak bisa benar-benar melihat dunia. Sang putri terbatas pada tembok-tembok besar istana dan penjagaan ketat dari prajurit. Hingga, suatu hari Aladdin datang dengan lampu ajaibnya dan membebaskan sang putri. Ia melihat seisi dunia, tapi yang terjadi setelahnya adalah tugas berat yang harus ditanggungnya. Ia diamanahkan oleh ayahnya untuk menjadi penerusnya sebagai Sultan. Putri Jasmine kembali ke istana setelah perjalanan panjang bersama Aladdin. Pulang bagi putri Jasmine adalah sebuah transformasi diri yang lebih progresif, memimpin suatu wilayah kekuasaan adalah kepulangan menemukan diri yang sesungguhnya. Sang putri menyelamatkan kembali rakyat-rakyatnya.
Akhirnya, agar bisa sok memaknai kembali mudik dan pulang, saya memutuskan untuk tidak pulang berlebaran tahun ini (meskipun sebenarnya alasan saja karena harga tiket yang tidak masuk akal). Apapun itu, intinya, saya tidak mudik tahun ini. Tahun pertama tidak berlebaran dengan keluarga. Apakah dengan tidak mudik, saya tetap bisa memaknai pulang atau sebenarnya saya hanya tidak pulang dalam wujud fisik tapi proses menepi di Ibu kota sebenarnya proses menemukan diri alias pulang itu sendiri. Semoga. Apapun itu, selamat merayakan lebaran dan hati-hati bagi kalian yang sementara dalam perjalanan ke kampung tercinta.