Ramai-ramai soal harga tiket pesawat memang merupakan sesuatu yang mengenaskan bagi perantau seperti saya. Apalagi, beberapa hari menjelang lebaran. Namun, nyatanya tidak mudik ternyata bukan soal harga tiket pesawat yang melonjak saja tapi hasrat untuk pulang kampung itu sendiri hampir tidak ada. Harga tiket pesawat hanya alasan untuk mengafirmasi sikap tidak ingin mudik.
Setiap orang saat jauh pasti akan merindukan kampung halaman dan keluarganya. Utamanya bagi saya yang hidup dalam keluarga yang tinggal di desa dan masih sangat komunal. Tapi, ternyata hidup di Ibu Kota tidak menjadikan pulang kampung sebagai momen sakral dan yang ditunggu-tunggu. Tentu saja, ini bukan salah kotanya, tapi beban kerja dan harga mempertahankan “kewarasan” di sini cukup mahal. Hal itu, menjadi semakin pelik ketika tahu bahwa pulang kampung bagi manusia yang telah terbilang dewasa seperti saya ini bukan soal bertemu dan melepas rindu saja, tapi ada banyak pertimbangan yang melingkupinya. Misalnya saja, hal yang paling sederhana mempertimbangkan tingkat kemandirian perekonomian.
Sebagai perempuan yang merantau ke Jakarta, secara tidak langsung orang-orang akan mengkonsep hidup saya dengan citra-citra yang menakjubkan dan membanggakan. Kita dianggap sebagai role model. Apalagi bagi mereka yang melihat Ibu Kota sebagai simbol peradaban. Mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa orang-orang yang berhasil bertahan di Ibu Kota pasti orang yang sukses, terutama untuk perempuan yang mendapatkan stereotype tidak sebebas laki-laki. Hal itu kemudian menjadi beban moril yang harus saya pikul saat pulang kampung, sebab angan-angan tersebut nyatanya terbantahkan karena hidup di kota penuh dengan tekanan.
Baiklah. Kita tidak bisa memungkiri jika pusat perekonomian memang berpusat di sini. Gaji dan tunjangan yang besar seolah menjadi sesuatu yang melenakkan, namun sekali lagi, hal itu juga berbanding lurus dengan tekanan hidup dan harga yang harus dibayar untuk segelas kopi seharga 45 ribu untuk sekadar menghabiskan malam bersama teman. Harga yang nyatanya tidak bisa membayar kepenatan melihat kepadatan manusia dan mobil di setiap sudut kota besar ini.
Alasan-alasan itu yang kemudian menjadikan momen mudik menjadi penuh beban dan harus diakui sangat melelahkan bahkan untuk sekadar membayangkannya. Belum lagi, jika ditanya ihwal politik setelah pilpres dan tentu saja sebagai orang yang tinggal di Ibu Kota, saya akan dianggap memiliki pandangan yang lebih sah dan kongkrit. Namun, alih-alih mendapatkan penghargaan, justru obrolan-obrolan semacam itu biasanya akan berujung pada siapa yang dipilih.
Persitiwa berkumpul dengan keluarga akan semakin memuakkan jika ada famili yang tidak hanya mengungkit persoalan politik, namun sampai pada perkara pakaian dan cara pandang melihat suatu keyakinan. Tidak jarang saya mendapatkan cap liberal dan pasti hanya bisa saya balas dengan anggukan dan senyuman. Saya tahu, diam tidak bisa menyelesaikan dan meluruskan pandangan mereka yang tertutup. Namun, menjelaskan dalam situasi yang seperti itu akan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mengerikkan, misalnya yang paling sering saya dengar. Kamu tidak percaya kan kalau semua agama itu sama?