Lontar.id — Saya fanatik sepak bola. Pernah bersemangat untuk mencaci dengan kasar suporter klub lawan. Ada suatu kebanggaan dalam kegiatan saling menghina itu. Gagah-gagahan dalam memaknai kalimat siapa yang paling bisa bikin sakit hati.
Tetapi itu dulu. Umur membuat saya melompat dari lumpur hisap. Saya percaya dan yakin kalau setiap orang akan melewati fase tersebut. Fase yang saya rasa agak aneh dilakukan, mengingat budaya kita lain dengan barat.
Kadang-kadang setelah menghina suporter klub sepak bola lawan, saya menyesal. Untuk apa menghina? Salah mereka apa? Biarlah mereka memprovokasi jika memang ingin.
Bodohnya lagi, saya membela mati-matian klub Eropa. Saya menjadi pendukung klub Barcelona, yang beberapa tahun yang lalu sempat berjaya. Membandingkannya dengan liga Indonesia terdengar tolol dan tidak setara.
Pernah, kata teman saya, klub di luar sana tak begitu menarik untuk digilai, karena tak ada darah kita yang mengalir dari sana. Sekadar bergenit-genit saja dengan kata fanatik.
Teman saya itu seorang fans PSM Makassar. Ia punya alasan, mengapa lebih baik mencintai klub lokal daripada menyayangi mati-matian skuat Lionel Messi atau Kun Aguero.
Kepada saya ia bicara kalau salah satu kebanggaan mencintai dan fanatik dengan klub lokal adalah, mereka bisa melihat dan mengenal langsung pemainnya.
Tidak hanya itu, ada pengaruh budaya yang sama dengan kita pada klub lokal itu. Timbul emosi kedaerahan yang melekat padanya, pada kita bersama-sama.
Meski ada jurang pembeda, namun bukan berarti klub sepak bola di luar negeri tidak bisa diikuti sama sekali. Kita barangkali terlalu jahat jika menutup hidung terhadap bau klub asing. Sepak bola adalah hiburan, lebih dari itu nyawa bagi orang lain.
Dengan mereka, kita bisa belajar banyak hal yang menyenangkan seperti chant, yel-yel, koreo; kemampuan olah bola, teknik, taktik dan strategi; pengelolaan stadion, pemilihan rumput, dan lain-lain.
Dari suporter Valencia bernama Vicente Apricio, saya belajar bahwa fanatisme itu menarik. Baru-baru ini, ada kabar kalau di Stadion Mestalla, terbangun sebuah patung yang duduk di bangku penonton memakai kaca mata.
Manajemen membuatkan monumen itu di kursi nomor 164 baris 15 di tribun tengah. Tujuannya agar pihaknya dan suporter lain bisa mengenang seorang penonton yang mencintai Valencia. Bertahun-tahun, sosok yang dijadikan patung itu menjadi penonton setia Kelelawar Mestalla.
Patung itu menyerupai Apricio semasa hidup yang kisahnya kurang lebih begini. Ia menyewa tiket terusan sampai sangat jarang absen untuk menonton klub kebanggannya. Memasuki umur 50 tahun, ia meninggal dalam keadaan buta.
Sampai akhir hayat, kebutaan tak menyurutkan langkah Apricio menuju stadion. Katanya tak nyaman menonton Valencia di televisi. Sejak saat itu, putra Apricio selalu berkunjung ke Stadion Mestalla dan duduk di sebelah monumen serupa ayahnya.
“Pertandingan melawan Karlsruher (tahun 1993) adalah yang terakhir kalinya dia mengikuti pertandingan di televisi,” kata putra Apricio, dikutip dari Daily Mail.
“Dia mengatakan bahwa, sejak saat itu, dia hanya akan menyaksikan pertandingan di Mestalla, untuk merasakan pertandingan, untuk merasakan Valencia CF.”
“Dia menikmati atmosfer dan saya akan berbicara kepadanya melalui apa yang terjadi di lapangan.”
Apricio sempat berbahagia sewaktu Valencia memenangkan Liga Europa dan Liga Champions pada 2004. Lalu setelahnya, pada Maret, Apricio ingin sekali merayakan ulang tahun ke-100 Valencia. Namun sayang, takdir berkata lain.
“2004 (ketika Valencia memenangkan Piala UEFA dan La Liga ganda) adalah tahun paling bahagia dalam hidupnya.”
“Dia menandai tanggal ini di kalender sejak 20 tahun yang lalu. Itu sebabnya saya tahu betapa dia ingin berada di sini pada tahun keseratus. Itu sebabnya saya tahu dia tidak akan melewatkannya.”
Tak pernah terbayangkan, pria tua sepertinya tak hanya cinta pada klub. Kepada suporter Valencia, ia juga senang mendengarkan yel-yelnya termasuk tepuk tangan dan lain-lain.
Atmosfer di stadion membuatnya tak seperti korban kebutaan. Alangkah dahsyatnya penonton Valencia. Sekarang saya baru tahu, kalau sepak bola ternyata bisa dicintai tanpa ditonton.
Di Indonesia ada juga penghargaan untuk suporter. Di PSM contohnya, tak ada yang bisa memakai angka 12. Angka itu sudah dihibahkan untuk pendukung setia Pasukan Ramang.
Melihat suporter di Indonesia, kita juga bisa mengenal cinta. Bagaimana mereja merogoh kopek demi embelli ticket, pergi ke kandang lawan di luar kota, atau membeli pernak-pernik klub yang dicintainya. Semua pakai duit dan rasa.
Soal nomor 12, niat itu awalnya memang dirembukkan bersama oleh suporter dan manajemen menyanggupinya. Itu satu dari sedikit cerita betapa fanatisme kepada sepak bola bisa diperlihatkan dengan ragam bentuk.
Kini, setelah Apricio meninggal, dan sepak bola modern makin dicintai pendukung klub manapun di seluruh dunia, segelintir suporter kita masih memakai cara lama dan bar-bar dalam memperlihatkan fanatiknya: rusuh, tawuran, provokasi kelewat tajam dan saling bunuh antarpendukung.
Entah dari mana mereka belajar. Kita memang gampang tersulut emosi. Kita semua. Intinya fanatisme kita masih di situ-situ saja. Tak ada monumen. Hanya ada sisa-sisa dendam atas hasil gegap gempita saling menumpahkan darah sesama, hanya karena hanya beda dukungan.