Wacana mengenai kebangsaan dan keagamaan adalah hal pelik dalam Indonesia pasca-Suharto. Setelah runtuhnya rezim tersebut terjadi kekosongan ideologis, krisis identitas dan sekaligus terbukanya kembali perdebatan wacana tentang apa itu menjadi Indonesia dan bagaimana seharusnya nasionalisme dihayati.
Sejalan dengan hal tersebut, menjamurnya simbol-simbol Islam diruang publik dan intensya konflik dalam praktik politik islam, yang selama rezim Soeharto terkekang dan mendapatkan momentumnya kembali pasca runtuhnya rezim, menandakan bahwasanya wacana tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi muslim juga turut diperdebatkan.
Indonesia dan Islam adalah kategori yang tunggal akan tetapi komunitas yang hidup di dalamnya beragam. Seberagam dengungan dan kegaduhan
perdebatan tetang golongan mana yang lebih berhak menjadi ahli waris. Ditengah-ditengah perdebatan tersebut, kemudian munculah golongan baru yang mengafirmasikan diri sebagai muslim yang taat, penuh siasat kemerlap simbolisasi dan mengutamakan ekspresi keagamaan yang “banal”.
Menurut Kuntowijoyo dan Heryanto, identitas ini dicirikan kepada kelas menengah muslim, yang diidentikan oleh kemampuan daya konsumsi, penghuni perkotaan dan mempunyai jejak sejarah di akhir pemerintahan rezim Suharto.
Kemunculan kelas menengah ini, pada saat yang sama, dibarengi dengan implosi teknologi media dan industrialisasi yang lebih terbuka di Indonesia. Hal inilah yang membuat pernak-pernik seputar kelas menengah muslim, atribut-atribut yang melabeli dan gagasan spritualismenya sering muncul dalam bentuk produk konsumsi. Artefak-artefak seperti musik, film, fashion ataupun gaya hidup menjadi medium yang sangat strategis, tidak hanya untuk mengartikulasikan dan menegaskan idetitas mereka, tapi hal ini juga menjadi medium yang tepat untuk membaca posisi dan wacana ideologis mereka dalam percaturan politik identitas di Indonesia.
Salah satu agen yang sangat berpengaruh dalam memproduksi dan mewakili semangat kelas menengah muslim ini adalah sutradara sekaligus produser Hanung Bramantyo. Tercatat film Ayat-Ayat Cinta yang diproduksi oleh Hanung Bramantyo dari adaptasi Novel Habiburahman El-Shirazy merupakan film yang paling sukses menyentuh batin kaum muda Muslim yang akrab dengan pusat perbelanjaan dan gedung-gedung bioskop, kaum muda muslim ini tidak hanya tertarik dengan kisah cinta antara Fahri dan Aisyah tetapi lebih kompleks dari itu, pada dasarnya mereka ingin menemukan dan menegaskan representasi identitas mereka di dalam layar lebar.
Dalam penelitian lain, yang dilakukan oleh Hoestrey dan Clark, kepopuleran film Ayat-Ayat Cinta atau film-fim segenrenya bukan dikarekan kemampunya mengartikulasikan apa itu Islam, akan tetapi
kemampuan dimensi progressifnya dalam mengartikulasikan apa yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh Islam.
Hal yang paling menarik dari kelas menegah muslim ini ialah, melalui
artikulasi mereka dalam ranah budaya populer, secara tidak langsung telah mematahkan, memukul mundur dan dibuat sibuk untuk merevisi pemahaman argumen klasik sosiolog barat yang terlampau percaya agama tidak akan bertahan hidup dalam kehidupan yang telah di modernisasi.
Mungkin film Ayat-ayat Cinta kurang memuaskan di dalam selera seni elit dan kritikus Indonesia yang selalu mencari keotentikan dan pencapaian adiluhung di dalam suatu produksi seni. Akan tetapi siapa sangka film Ayat-Ayat Cinta mampu menciptakan narasi yang begitu dahsyat hingga mampu melunturkan cara pandang oriental terhadap Agama.