Hashtag jakartasepi memenuhi jagat maya dan menjadi trending topik di twitter. Netizen banyak yang mengeluh dengan kepadatan Jakarta yang tidak pernah selesai, bahkan di saat menjelang hari lebaran. Ada yang mengatakan “jakartasepi itu tai meong”, “jakaretasepi itu boong”, dan umpatan-umpatan lainnya.
Sebagai salah satu perantau yang tidak mudik, saya juga membayangkan sekaligus mengharapkan Jakarta akan sepi, tenang, hening, dan tidak macet tentunya. Kalau bisa saya ingin piknik di tengah kota sambil nyetrika baju.
Harapan-harapan itu seketika musnah saat saya diajak oleh teman pada malam takbiran keluar rumah, alias berkeliling kota. Seperti biasanya, Jakarta tetaplah Jakarta dengan segala kebisingannya. Mobil-mobil memenuhi setiap ruas jalan. Orang-orang memenuhi pusat perbelanjaan dan kemacetan tentu saja tidak bisa terhindarkan.
Saya bertanya kepada salah satu driver GRAB, apakah saat hari lebaran tetap beroperasi?
“Masih mbak, saya saja masih keluar pas lebaran. Bahkan saat melaksanakan shalat id juga masih banyak yang beroperasi.” kata Bapak GRABnya.
Dalam hati saya berkata, “Berarti selama ini, saya saja yang termakan hoax jika Jakarta sepi saat lebaran.”
Saya tidak tahu, barangkali beberapa tahun yang lalu, saat Jakarta belum sepadat hari ini. Orang-orang masih bisa menikmati ketenangannya. Jakarta yang ramai saat lebaran seperti sekarang ini barangkali jugs terkait dengan harga tiket pesawat yang tinggi, sehingga banyak perantau seperti saya yang memutuskan tidak pulang kampung halaman.
Pada saat H+1 hari lebaran pun demikian. Jakarta masih tetap ramai. Ojek online dengan seragam hijaunya masih memadati jalan. Orang-orang berseliweran selepas melaksanakan shalat id, berziarah ke rumah teman dan keluarga.
Di sisi lain, saya sebenarnya berbahagia. Setidaknya, saya tidak begitu sendiri merayakan lebaran. Meski demikian, saya tidak begitu peduli sesungguhnya, Jakarta ramai atau tidak, ya tidak memberikan efek besar terhadap hidup saya.
Jakarta sepi barangkali hanyalah delusi, sekalipun semua pendatang dan perantaunya memilih pulang kampung. Saya membayangkan gedung-gedung tinggi, pengamen, orang-orang yang tinggal di bawah jembatan, keluarga yang hidup di samping rel kereta dan mereka yang tinggal di pekuburan tidak mungkin memiliki tempat pulang jika mereka memilih tempat tinggal yang buruk seperti itu.