Lontar.id – Hingar bingar perpolitika seakan tak ada habisnya, kedua kubu paslon Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi masih terlibat dalam ‘perang’ wacana.
Belum selesai sengketa atau gugatan hasil pemilu yang diajukan kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ke Mahkamah Konstitusi (MK), kini wacana Gerindra akan bergabung ke koalisi Jokowi-Ma’ruf santer beredar.
Bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi Jokowi-Ma’ruf, untuk memperkuat posisi pemerintah di Parlemen dalam mengambil keputusan bulat pada saat mengambil suatu kebijakan.
Tawaran tersebut diutarakan oleh Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Dalam penjelasannya, Andre Rosiade mengaku pernah diusulkan agar Gerindra bergabung dengan koalisi dan akan diberikan jatah kursi menteri. Belum jelas, kursi menteri bidang apa yang akan diberikan ke Gerindra.
Namun Andre Rosiade memastikan bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf meminta pihaknya agar bergabung. Dilansir dari CNN Indonesia, internal Partai Gerindra sudah mengetahui adanya tawaran politik tersebut, sebab Gerindra punya posisi tawar menarik di Parlemen karena mampu meraih 80 kursi.
Selain memiliki 80 kursi, Gerindra diakui cukup solid dan loyal. Sehingga hal ini yang membuat kobu Jokowi-Ma’ruf merasa Gerindra perlu dimasukkan atau ditawarkan posisi menteri agar tidak menjadi penghalang di kemudian hari nanti.
“Penawaran (kursi menteri) itu sudah jadi rahasia umum, semua orang di Partai Gerindra tahu bahwa pihak sebelah menawarkan itu. Memang jauh lebih menarik Gerindra daripada partai lain,” ucap Andre Rosiade
Tawaran jatah kursi dari kubu Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Sandi, sangat menarik jika ditelisik lebih jauh dari komunikasi politik. Andre Rosiade sedang membangun sebuah opini publik, agar kader Partai Gerindra tetap solid melawan kubu Jokowi-Ma’ruf, terutama di sengketa pemilu yang belum selesai.
Militansi Partai Gerindra benar-benar sedang diuji, selain ia harus tampil meyakinkan di MK untuk membuktikan sejumlah kecurangan pada kontestasi pemilu, Gerindra juga sedang berupaya keras agar partai koalisinya tetap berada di barisan.
Musababnya, PAN, Demokrat dan PKS yang berjuang bersama-sama sejak awal, kini mulai terlihat menarik diri. Pertama sudah mengakui hasil pemilu dan kedua Gerindra seakan berjuang sendiri di MK.
Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak beberapa kali bertemu dengan Jokowi, pertemuan tersebut menimbulkan pelbagai spekulasi merapatya partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Belum lagi sejumlah kader Partai Demokrat merasa kecewa dengan pendukung Prabowo-Sandi yang menyerang istri SBY, Ani Yudhoyono sewaktu berobat di Singapura. Ketegangan internal koalisi itu berakibat buruk bagi Prabowo-Sandi yang sedang berjuang di MK.
Selain itu, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan (Zulhas) pernah bertemu dengan Jokowi dan diisukan bakal bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf. Hal serupa pernah dilakukan PAN pasca pemilu 2014 lalu. Dimana PAN mendukung Prabowo-Hatta di Koalisi Merah Putih (KMP), namun pada akhirnya menerima tawaran jabatan menteri.
Bukan tidak mungkin, PAN bakal melakukan hal yang serupa dan menerima tawaran kursi menteri, meskipun tokoh sentral PAN, Amien Rais masih bersekukuh mendukung Prabowo-Sandi.
Komunikasi politik yang sedang dibangun Andre Rosiade, membuka informasi bahwa adanya tawaran yang masuk di Gerindra, merupakan sebuah usaha menyolidkan internal partai agar tetap berjuang mendiskualifikasikan Jokowi-Ma’ruf di MK. Lebih-lebih lagi untuk meyakinkan partai koalisi agar tetap komitmen dan tidak menerima tawaran kursi menteri.
Selain menjaga kekompakan partai koalisi dengan menolak tawaran kursi Menteri, Gerindra sedang berusaha agar para pendukung yang mati-matian berjuang, tetap semangat dan tidak patah arang karena hanya diberikan iming-imingan jabatan.
Jika Gerindra tidak ambisius menerima dan tetap bertahan, meskipun pada hasil putusan MK nanti dinyatakan kalah, tapi di mata massa pendukungnya, Gerindra menang. Paling tidak menang di hati masyarakat. Bukankah menang di hati masyarakat itu salah satu modal kelak, jika masuk momen politik, baik di tingkat daerah maupun nasional.