Lontar.id — Ultimatum tentang pemain sepak bola yang menggendut jelang Lebaran, terdengar sangat menakutkan. Kerap terjadi, sebab memang makanan bisa tak terkontrol.
Siapa yang bisa menahan aroma makanan seperti opor ayam, telur balado, puding fla vanila, es kopyor, ketupat dan sebagainya di atas meja makan, apalagi sudah beberapa kali dipanggil oleh keluarga besar? Mau menolak juga sungkan.
Sungguh pada mereka yang menahan, hamba ingin belajar. Itu persoalan yang berat. Apalagi bagi yang berpantangan, seperti orang sakit dan olahragawan. Banyak pula olahragawan yang khilaf pada hari raya.
Omong-omong, seberapa berbahayanyakah kegemukan bagi pesepak bola itu? Tentu saja itu akan memengaruhi kelincahan dan lari di atas lapangan, jika berat badan usai berlibur menjadi tak ideal lagi.
Saya mengingat satu nama pesepak bola yang ditekan untuk menguruskan badan. Adalah Luis Suarez, yang pernah bermasalah dengan pelatih Luis Enrique. Saat itu, Luisito memang sedang libur panjang.
Liburannya memang bukan pada lebaran, melainkan disanksi akibat menggigit Chiellini yang saat itu berkostum timnas Italia. FIFA geram bukan main, karena sikap Suarez menjadi catatan buruk dan bisa mencoreng sepak bola seluruh dunia. Itu memalukan.
Makanya, FIFA langsung menjatuhkan hukuman dengan larangan bermain yang cukup banyak pada pemain gempal yang semangatnya seperti banteng ini. Tak tanggung-tanggung, laga internasional dan lokal Suarez, harus diblok, dan Barcelona kena imbasnya.
Lalu apa yang dilakukan Suarez? Ia berlibur sesuka hati bersama anak-istrinya dan tak mengontrol porsi makannya. Badannya menjadi tambun dan penuh dengan lemak yang bikin kita bisa bertanya: ini pemain bola atau peminum alkohol, sih?
Suarez beruntung. Meski ia diultimatum Lucho—sapaan Luis Enrique, ofisial tim juga bekerja keras untuk memberinya porsi latihan yang lebih berat dari biasanya. Semua demi bobot angka timbangan yang harus menurun.
Sebagai pemain profesional, Suarez manut-manut saja. Jika tidak, saya tidak membayangkan ia akan tampil sebagai ujung tombak Barcelona saat itu. Ia tidak akan lincah lagi karena kegembrotan.
Itulah kelebihan pemain dan pelatih di luar sana, yang paham benar bagaimana pentingnya kesehatan. Untungnya lagi, Suarez tidak di Indonesia dan tidak ikut Lebaran.
Jika iya, maka ia harus berhadapan dengan rempah-rempah kari ayam dan menu bersantan yang siap dilahap. Saya sangsi, jika ia di Indonesia, energinya akan sulit menggigit lemak yang ada dalam tubuh gempalnya.
Standardisasi pesepakbola di liga yang bersinar mentereng itu, memang di atas rata-rata. Di Indonesia, sejarah mencatat, hanya cuman ultimatum saja biar bisa dibilang maju, modern, dan kebarat-baratan.
Ada dua contoh yang bisa saya berikan. Memang sudah cukup lama sih. Tapi, tidak juga terlampau jauh dari masa sekarang ini. Dua pemain itu adalah Carlos De Melo dan Van Beukering. Asal bule, penonton sudah bisa berjingkrak-jingkrak dan bilang “wow!”
Saya tidak menyangka dua pemain itu bisa lolos dalam tim besar dan timnas Indonesia. Toh, badannya, tanpa saya tahu berapa beratnya saat itu, bisa dibilang bongsor. Perutnya maju. Bahkan mungkin, masuk iklan sampo atau suplemen, barangkali tanpa pikir panjang, bos produk itu langsung menolak.
Anehnya, pelatih meliriknya. Lalu pemain lokal, harus diberikan standardisasi blablabla yang setingkat gunung himalaya untuk pasang muka di medan laga. Sepak bola kita ini memang lucu.
Akhirnya tak ada yang mengagetkan. De Mello tampil biasa-biasa saja dan kewalahan dalam mengejar bola. Sekarang ia jadi pemain yang patut dikenang di PSM Makassar.
Sementara Van Beukering juga tak mengagetkan publik. Permainannya tak ada yang istimewa. Pergerakannya lambat dan aduh, kalian yang pernah menontonnya membela timnas pasti paham bagaimana kata yang patut disematkan padanya.
Akhir kata, ultimatum pelatih-pelatih kita di Indonesia yang bilang akan beri sanksi pemain usai Lebaran jika badannya naik drastis, hanya pemanis saja. Meski begitu, saya tetap percaya kok. Kadarnya 50 persen. Walau begitu, pasti suara saya tidak berpengaruh.
Biarlah saya sendiri yang menaruh percaya 50 persen itu. Karena sejarah kita pernah mencatat, pemain asing bisa bebas melenggang tanpa aturan, tapi pemain lokal kita ditindas. Bisa juga sebaliknya.
Intinya, semoga Lebaran kali ini para pelatih bisa menegakkan aturan tanpa pandang bulu. Karena klub dibangun untuk semua orang, bukan satu atau dua pemain saja. Apalagi pemain asing yang tak berkompeten dimanja-manja. Begitu saya kira.