Lontar.id – Membahas tentang mahasiswa, seperti tak ada habisnya, banyak segmen yang bisa di angkat sebagai obyek pembahasan. Tetapi, saya ingin memulai dari pertanyaan seperti yang diajukan dalam judul tulisan ini.
Pertanyaan ini masih belum mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan, karena banyaknya ragam perspektif sehingga pemaknaan tentang mahasiswa dan intelek masih kabur.
Seperti kita ketahui, mahasiwa adalah seorang pelajar yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman dari sosial lingkungannya. Di perguruan tinggi, mereka diperhadapkan dengan ragam corak dan pemikiran tokoh-tokoh besar yang mempengaruhi carapandang manusia setelahnya.
Katakanlah mahasiwa yang mengambil jurusan ilmu sosial, akan dibekali dengan mata pelajaran dasar tentang pemikiran sosiologi dan filsafat Karl Marx, Adam Smith, Antonio Gramsci, Ramlan Surbakti, Inul Kencana Syafiie dan seterusnya.
Demikian juga dengan mahasiwa yang mengambil jurusan kesehatan akan mendapatkan ilmu yang berkaitan dengan jurusannya.
Pada umumnya, mahasiwa akan fokus pada mata kuliah yang diambil berdasarkan jurusan masing-masing, membuat kelompok diskusi, membuat makalah, presentasi di depan kelas dan mengerjakan berbagai tugas dari dosen pengampu mata kuliah.
Selain mata kuliah, kampus menyiapkan sejumlah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). UKM ini tujuannya untuk membantu mahasiswa yang punya minat lain, seperti karate, sepak bola, seni musik, pers kampus, lembaga dakwah kampus dan sebagainya. Kegiatan ekstra kurikuler ini bebas dipilih sesuai dengan minta masing-masing.
Apakah semua sarana dan prasarana di kampus dapat menunjang mahasiwa menjadi seorang intelek? Tentu saja jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Bergantung pada mahasiwa sendiri memanfaatkan sarana kampus untuk menunjang kemampuan daya nalarnya.
Kampus hanya menyediakan dosen dengan kualitas di atas rata-rata, biasanya diambil dari lulusan luar negeri atau kampus-kampus lokal yang punya nama besar. Selebihnya mahasiwa mencari dan menemukan sendiri jatidirinya, apakah ia ingin seperti mahasiwa intelek atau cukup sekadar menyandang predikat sebagai mahasiwa saja.
Kebanyakan masyarakat pada umumnya, menganggap ketika seorang masuk di perguruan tinggi secara otomatis dikatakan intelek (intelektual). Jawaban itu tidak sepenuhnya benar dan salah sebagiannya, sebab kekurangan informasi tentang sepak terjang mahasiswa.
Kembali ke topik awal, Apakah Mahasiswa Sudah Pasti Jadi Orang Intelek? Jawaban saya tidak. Bukankah mereka mendapatkan pendidikan tinggi sehingga layak disebut sebagai intelek. Benar mereka mendapatkan itu, tapi jawabanya tidak.
Saya akan uraikan, kenapa mahasiswa secara otomatis tidak menjadi intelek.
Dalam banyak kasus yang kita temukan, ada mahasiswa yang masuk di perguruan tinggi hanya karena mengikuti teman, pacar atau karena motivasi mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka yang mengejar pekerjaan dengan cara mendapatkan titel di kampus, sudah otomatis kuliah hanyalah sebuah formalitas atau menggugurkan kewajiban. Karena mengikuti syarat perusahaan, birokrasi atau pekerjaan lainnya.
Dia percaya, lulus kuliah dengan predikat cumlaud, akan langsung ditarik perusahaan dan diposisikan di tempat yang menjanjikan dengan gaji yang tinggi. Tipe semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam kategori mahasiwa intelek. Ada juga mahasiwa hanya mengejar nilai A setiap mata kuliah, hadir setiap hari, rajin membuat makalah (meskipun kadang copy paste di internet).
Tahukah Anda, di perkuliahan, jika hadir setiap hari di mata kuliah yang sama tanpa absen, Anda secara normatif mendapatkan nilai A, belum lagi rajin bertanya saat dosen memberikan mata kuliah. Paling tidak Anda akan mendapatkan nilai A plus, itulah rutinitas perkuliahan, tidak peduli anda memahami betul topik perkuliahan asalkan rajin mengisi absen.
Saya punya pengalaman semasa kuliah, ada teman saya sesama fakultas, ia sangat rajin menghadiri mata kuliah, rajin membuat makalah tapi pada saat presentasi makalah di depan kelas lebih banyak diam daripada menjawab pertanyaan. Toh pada akhirnya dia mendapatkan nilai A, betapa mudahnya mendapatkan predikat A hanya karena mengikuti prosedur tanpa mempertimbangkan kualitas seseorang.
Pada saat wisudah tiba, ternyata namanya terpampang di urutan pertama sebagai wisudawan terbaik se universitas, lulusan dengan predikat cumlaude. Inilah sebagai bukti bahwa kuliah tidak secara otomatis membuat mahasiwa sebagai intelek, melainkan mahasiwa yang berburu nilai.
Lalu seperti apa mahasiwa intelek itu?
Mahasiwa intelek itu tidak dibatasi seberapa tinggi nilai yang ia dapatkan dari proses perkuliahan, seberapa rajin ia mengikuti mata kuliah atau seberapa dekat ia dengan dosen pengampu mata kuliah. Tapi mahasiswa intelekt itu, selain punya wawasan ilmu yang luas, ia juga peka terhadap keadaan lingkungan sosial.
Dengan bekal ilmu yang ia pelajari di kampus, ia mempraktekan masyarakat. Membantu mengadvokasi masyarakat yang di gusur rumahnya oleh perusahaan, empati terhadap masyarakat yang tertindas oleh kebijakan birokrasi. Kebijakan birokrasi yang tidak pro terhadap masyarakat, ia akan lawan. Bisa saja dengan menggalang kekuatan massa dengan mengadvokasi dan melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan.
Mahasiwa intelek itu selalu resah dengan kejadian di sekitarnya, ia akan melibatkan diri dalam masyarakat sebagai agen perubahan. Setidaknya mereka melawan dengan kekuatan seadanya di hadapan moncong senjata aparatus negara.
Berbeda halnya dengan mahasiswa yang kerjaannya mengejar nilai, mereka akan memilih berdiri di menara gading sambil mengutuk aksi mahasiswa yang unjuk rasa sebagai tindakan yang tidak bermanfaat, membuat jalanan jadi macet dan mengganggu mobilitas perekonomian.
Pandangan itu tidak sepenuhnya benar, karena aksi massa adalah satu dari sekian jalan yang bisa di tempuh oleh mahasiwa, ketika semua ruang komunikasi tertutup. Bukankah mahasiswa punya sejarah panjang, membangkitkan nasiolisme dan menumbangkan rezim Orde Baru (Orba) melalui aksi massa.
Jadi, kesimpulannya. Mahasiwa tidak secara otomatis menjadi intelek, kecuali mereka yang bergelut dan menyempatkan dirinya membantu masyarakat dalam aksi-aksi sosial. Predikat intelek itu tidak sekadar dilekatkan pada orang yang punya ilmu tinggi tapi nihil aksi. Melainkan mereka yang tahu sedikit tapi empati terhadap keadaan sosial. Biasanya mereka ini lahir dari terapan organisasi kampus maupun di luar kampus, organisasi menjadikan mereka terbuka dan mau melibatkan diri dalam urusan masyarakat.