Lontar.id – Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) kembali dihelat di Wisma Negara Makassar, 16 Juni 2019 untuk ke XIX, sejauh ini keberadaan organisasi yang menghimpun para pebisnis asal Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja dari perantauan, ini masih dominan menonjolkan seremonial tahunan dibanding menyentuh pokok persoalan ekonomi yang urgen.
Tak bisa dipungkiri, masyarakat memang sangat menaruh harapan besar bagi kehadiran para saudagar yang terorganisir lewat pertemuan rutin tahunannya itu, akan tetapi roh dari pertemuan tersebut masih jauh dari kerinduan perubahan.
Sebagai pemerhati masalah sosial, saya tidak skeptis memandang PSBM, saya justru melihat peluang yang terbuka untuk membawa perubahan dengan kehadiran PSBM, namun mereka yang memimpin organisasi “raksasa” dagang dari timur itu belum mampu menjodohkan kepentingan yang bermuara pada multiflier efec bagi sumber daya anggotanya.
Disuatu kesempatan buka puasa terbatas dengan sejumlah tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) di Hotel Grand Melia Jakarta, pekan kedua bulan suci Ramadhan lalu, seorang teman lama di Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawasi Selatan (BPP KKSS) yang turut hadir, meminta saya untuk menulis pertemuan rutin para saudagar Bugis Makassar yang akan dibuka 16 Juni di Makassar.
Untuk tulisan itu, esok harinya penulis mendatangi seorang teman lama, mantan wartawan Harian Singgalang di gedung Gerakan Ekonomi dan Budaya (Gebu) Minangkabau, di Jalan KH Abdullah Syafei, Manggarai, Jakarta Selatan.
Teman penulis ini, salah satu pengusaha konveksi di Cilengsi Bogor, pemasok busana muslim wanita terbesar di Jakarta, khususnya di pasar Tanah Abang dan ITC Mangga Dua Jakarta. Dari pertemuan itu saya menemukan sesuatu yang patut menjadi contoh buat PSBM.
Gebu Minang, organisasi masyarakat asal Minang didirikan di tahun 1989 oleh sejumlah tokoh masyarakat Minang di perantauan, seperti Aswar Anas, Emil Salim, Bustanul Arifin dan budayawan AA Navis. Tujuannya, menghimpun dan membina potensi masyarakat Minang yg ada di Perantauan di seluruh wilayah di Indonesia dan di manca negara.
Ada sekitar 20 staf karyawan yg terlihat aktif menjalankan tugasnya di lantai satu kantor Gebu Minang. Di meja mereka, terlihat tumpukan berkas atau dokumen, dengan komputer yang terus menyala dan di layarnya terlihat menampilkan data statistik.
“Udaaa (kakak), PIK (Pusat Industri Kecil) Cakung kekurangan kulit Sapi kering 150 ton,” teriak seorang staf wanita di kantor Gebu Minang itu kepada seorang pria setengah baya yang dipanggil Uda. Staf wanita itu lalu menambahkan, kalau permintaan sepatu dan sandal kulit dari laporan Harian Bisnis Indonesia, trendnya naik jelang lebaran.
Pria yg disapa Uda itu, balik dengan suara keras pula, menjawab agar staf wanita yg berteriak itu segera mengontak beberapa pengumpul kulit di sekretariat Gebu Minang di wilayah Jakarta.
Tidak berapa lama, ada teriakan lagi seorang staf wanita lainnya, dia menyampaikan kabar kalau korban penggusuran kakilima di Tega Lega Bandung diantaranya ada 41 orang pedagang kakalima asal Minang yang ikut digusur. “Sekretariat Bandung belum bisa maksimal membantu, apa sekretariat Jabar dikontak untuk membantu memaksimalkan bantuan Bandung ?,” kata staf wanita itu lagi yang kemudian diminta mengontak seorang bernama Rizal di Pemkot Bandung.
Hairil, teman penulis melihat penulis terpaku menyaksikan pemandangan suasana kantor Gebu Minang itu, mengomentari kalau suasana kantor Gebu Minang itu, sehari-harinya seperti itu. Para staf sibuk bekerja mengumpulkan, menyambungkan, mensinerjikan dan membatu perantau-perantau Minangkabau yang menemui masalah, dari seluruh wilayah Indonesia.
“Kami memiliki 33 sekretariat Gebu Minang yang permanen di seluruh Indonesia, terbanyak di Jakarta dan Surabaya. Suasananya, sama seperti ini. Karena setiap hari terjadi komunikasi tukar menukar info dan data. Coba saja Bang Mul mampir di sekretariat Gebu Minang Jakarta Timur,” ungkap Hairil menceritakan.
Hairil kemudian, menjelaskan, sekretariat-sekretariat atau kantor Gebu Minang itu, adalah aset tak bergerak organisasi Gebu Minang yang nilainya mencapai ratusan Miliar rupiah.
Tetapi penulis tak bermaksud menceritakan aset dan isi kas atau jumlah uang yang dikelola Gebu Minang dari A sampai Z di tulisan pendek ini. Apalagi penulis juga tidak ingin menulis hasil perbincangan penulis dengan Oesman Sapta Oddang Ketua Umum Gebu Minang yg sangat membagakan hasil kerja organisasi yang dipimpinnya itu. Karena hampir seluruh peserta PSBM ke 19 ini, mengenal dengan baik Oesman Sapta Oddan yang juga Ketua MPR itu.
Dari cerita singkat sekretariat Gebu Minang itu, penulis yang mengikuti berita PSBM setiap tahunnya, hanya ingin sedikit bertanya kepada BPP-KKSS selaku penyelenggara PSBM, mengapa PSBM tidak dibuat, dirancang, diorganisasikan atau dikelola seperti masyarakat Minangkabau perantau mengelola Gebu Minang itu.
Dengan mengelola atau mewujudkan PSBM dengan nyata di masyarakat Bugis-Makassar di perantauan, seperti pengelolaan Gebu Minang, maka PSBM dipastikan bermanfaat dan berdaya guna untuk masyarakat Bugis Makassar di tanah rantau.
Setidaknya BPP-KKSS dengan para saudagar Bugis-Makassar, bisa seperti Gebu Minang yang setiap tahunnya mencetak 100 sampe 150 UKM di seluruh Indonesia, berhasil menyalurkan dan mengelolah dana miliaran rupiah untuk modal usaha ke UKM ciptaan dan binaannya Gebu Minang. Terus mampu mengorganisir pergerakan usaha dan ekonomi orang Minangkabau peranratauan, untuk menstimulus ekonomi Sumatera Barat daerah asal mereka, dengan menyumbangkan sedikitnya 10 sampai 15 persen belanja modal dan belanja rumah tangga pada pertumbuhan ekonomi Sumbar setiap tahunnya sejak tahun 2013.
Pertanyaan penulis, mengapa BPP-KKSS tidak menjadikan PSBM seperti Gebu Minang, semata pula karena mengingat apa kata Jusuf Kalla yang juga masih keluarga Minang.
Jusuf Kalla Tokoh panutan dan teladan saudagar Bugis-Makassar penggagas PSBM, beberapa kali di momentum PSBM mencontohkan bagaimana bermanfaatnya Gebu Minang itu bagi rakyat Minang di tanah rantau dan di daerah asal mereka , Sumatera Barat.
Mengapa BPP-KKSS yang penanggungjawab PSBM dan para saudagar Bugis-Makassar yg berkumpuL sekali setahun itu, tidak membaca dan menangkap contoh Gebu Minang dari Jusuf Kalla itu, sebagai ajakan atau perintah dari Jusu Kalla untuk menjadikan PSBM sebagai gerakan bersama rakyat Sulsel di perantauan.
Gerakan menghimpun dan mendayagunakan potensi besar saudagar Bugis Makassar di perantauan untuk digunakan sebesar-sebesarnya bagi kemajuan rakyat Sulawesi Selatan.
Tetapi memang, sepertinya BPP KKSS dibawah kepemimpinan Sattar Taba selama 5 tahun terakhir ini, semakin nyata tidak mampu membacanya ajakan Jusuf Kalla itu. Akibatnya PSBM ke 19 ini, tetap menjadikan PSBM sama dan serupa dengan kelompok arisan.
Mengapa, karena sebagai Ketua Umum BPP KKSS, Sattar nyaris tidak punya waktu memikirkan PSBM itu, karena memikirkan kemajuan KKSS pun nyaris tidak.
Terbukti, Sattar selama 5 tahun hampir tidak pernah masuk di Kantor BPP KKSS di Benhil. Kegiatan rutinnya selaku Ketum, hanya menghadiri dan melantik pengurus KKSS di daerah. Tetapi tidak mampu menyelesaikan dualisme kepengurusan di daerah.
Sattar juga tidak mampu mengubah sekretariat atau kantor KKSS di daerah yang nyaris seluruhnya numpang di kantor pribadi ketuanya, satu persatu dan perlahan tetapi pasti KKSS menjadi kantor permanen di seluruh daerah.
Isi kas atau keuangan BPP KKSS tidak bertambah, hampir nihil, kata salah satu bendahara BPP KKSS. Bahkan, dana abadi yg setengah miliar, kini terus terkuras. Aset tetap nol besar alias tidak punya aset tetap dan berjalan.
Karena itu, penulis sampai pada kesimpulan, sudalah Pak Sattar, anda sudah selesai. Sudahilah kerja Anda di KKSS dengan nama baik. Segerelah menginspirasi peserta PSBM, agar ajang pertemuan akbar tahunan saudagar-saudagar kita ini, tidak lagi menjadi sama dan serupa dengan kelompok arisan belaka.
Penulis: Mulawarman [Wartawan Senior]