Lontar.id – Belakangan ini, identitas dan politik atau politik identitas kerap jadi pembahasan hangat. Ia menemukan momentum setidaknya pada gelaran Pilkada DKI Jakarta, hingga Pemilu 2019.
Tak sedikit yang memberikan pandangan tentang politik identitas, baik yang pro maupun kontra. Perdebatan semacam ini sudah lumrah di negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kebebasan berpendapat suatu hal yang dilindungi oleh hukum.
Dalam pandangan yang paling purba, politik dikemukan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM). Ia memandang manusia sebagai makhluk sosial [zoon politicon] yang berinteraksi dengan yang lain, manusia tak bisa hidup sendiri ia cenderung membutuhkan orang lain dalam perilaku di lingkungan sosial.
Tujuan politik adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama, Aristoteles yakin dengan kehidupan bersama maka akan tercipta kehidupan yang harmonis.
Namun belakangan, politik memiliki makna yang lebih luas, yaitu suatu usaha untuk merebut kekuasaan sekaligus cara mempertahankan kekuasaan itu.
Secara normatif, pengertian ini tidaklah salah, karena politik memang bertujuan merebut kekuasaan. Tetapi menggunakan politik dengan cara yang kotor (curang), akan menciptakan kondisi kegaduhan di masyarakat. Sebab segala cara akan digunakan demi meraih kekuasaan.
Sementara identitas dalam kamus besar bahasa Indonesia, mengartikan sebagai jati diri. Jadi, identitas merupakan pembeda antara saya dan kita. Identitas bisa saja berdasarkan latarbelakang suku budaya, bahasa, ras, agama, warna kulit dan sebagainya. Perbedaan tersebut menjadi suatu ciri khas yang melekat pada diri.
Seseorang yang menggunakan politik identitas dalam konteks politik, apakah akan menciptakan konflik horizontal karena semakin memperlebar jurang perbedaan. Mengingat negara kita berasal dari beragam suku, bahasa, agama dan warna kulit yang berbeda.
Bila merujuk pada Pilkada DKI Jakarta, sentimen keagamaan yang paling menonjol, menyusul perbedaan ras. Politik identitas terutama Agama Islam cukup mendominasi gelaran politik, kelompok pendukung Anies Baswedan menggunakan isu agama melengserkan Basuki Tjahaja Purnama (BTP)
Berawal dari BTP salah mengutip surat Al Maidah, banyak orang yang mempersoalkankannya, hingga terjadi rentetan aksi demonstrasi besar-besaran.
Aksi 411 dan 212 merupakan aksi Akbar yang masuk dalam catatan sejarah Indonesia. Di mana kelompok Islam serentak turun ke jalan mengecam BTP, hanya karena persoalan salah mengutip ayat.
Gelombang demonstrasi itu membuahkan hasil, BTP akhirnya terjungkal setelah keok di putaran kedua melawan Anies. Kemenangan Anies di identikkan sebagai kemenangan kelompok Islam yang berjuang sejak awal. Kelompok ini diprakarsai oleh ulama dari Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
Politik identitas tidak hanya berakhir pada Pilkada Jakarta, tetapi pada Pemilu 2019, juga digunakan sebagai alat untuk menumbangkan rezim yang berkuasa. Kelompok kelompok Islam memasang badan di kubu Prabowo mengakhiri rezim Jokowi. Namun kenyataan berkata lain, KPU justru mengumumkan Jokowi sebagai pemenang pemilu.
Memang tidak bisa dipungkiri menggunakan politik identitas menciptakan perbedaan yang cukup mencolok. Bukan saja melawan di laut dari kelompok Islam, tetapi melawan sesama islam lainnya yang berada di kubu Jokowi.
Pertanyaannya, apakah menggunakan politik identitas dapat dilihat sebagai kebangkitan Islam atau hanya sekadar memanfaatkan agama untuk kepentingan kelompok tertentu?
Tentu jawabannya bisa berbeda-beda, tergantung konstruksi pandangan setiap orang. Bila memandang politik identitas sebagai suatu kebangkitan Islam, maka kita akan berbicara mayoritas dan minoritas.
Penduduk Indonesia memang mayoritas Islam, tetapi pandangan kelompok ini, Islam kerap jadi anak tiri dan tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Kecemburuan sosial pun terjadi, antara yang pantas dan tidak pantas memimpin negeri ini. Sebagai kelompok yang punya andil besar dalam sejarah perjalanan bangsa, Islam seharusnya punya posisi bargaining paling besar. Namun kenyataannya tidak demikian, justru Islam tidak mendapatkan ruang.
Islam dijadikan sebagai anak tiri dan tidak mendapatkan ruang di pemerintahan, sebenarnya tidaklah benar. Sebab, sejak presiden pertama hingga sekarang, kepala negara selalu berasal dari Islam. Begitu juga dengan komposisi kementrian, Islam paling banyak mendapatkan tempat.
Lalu kenapa masih ada kelompok Islam tertentu yang mengklaim, Islam tidak mendapatkan ruang? Mungkin yang mereka maksud Islam dari kelompok atau organisasi tertentu. Khusus sebagai penganut Islam yang tidak terjebak di salah satu organisasi Islam, tidak merasa bahwa Islam di anak tirikan seperti yang dituduhkan.
Politik berwajah identitas yang semarak belakangan ini, menurut saya tidak bisa disebut sebagai gerakan kebangkitan Islam. Karena metode perjuangan mereka hanya dilakukan pada saat momen politik belaka, memang politik itu penting, bila ditangan yang benar maka kehidupan akan terjamin dengan baik.
Tetapi memaksakan kehendak pada jalur ini saja, inilah yang membuat saya menyimpulkan bahwa gerakan ini bukanlah suatu kebangkitan Islam, malah justru memicu lahirnya sentimen dan perbedaan diantara kita.