Lontar.id – Pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, yang melarang kader partainya untuk tidak berpoligami, sempat buat heboh. Permintaan itu disebabkan karena PSI menentang praktik kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan.
Bagi PSI, poligami hanya menciptakan akar kekerasan dan menempatkan perempuan pada subordinasi kaum lelaki, dan kedepannya PSI akan mendorong revisi UU no 1 tahun.
“PSI tidak akan pernah mendukung poligami, tak akan ada kader, pengurus dan anggota legislatif dari partai yang boleh mempraktikkan poligami,” ujar Grace Natalie saat berpidato di festival 11 di Jatim Expo Jln. Ahmad Yani Surabaya, pada Selasa (11/12/2018) lalu.
Keseriusan PSI menentang praktik poligami, ditunjukkan kala memecat 4 kadernya yang tidak mematuhi kebijakan garis partai atau DNA PSI. Meskipun di antaranya merupakan calon anggota legislatif yang akan bertarung memperebutkan suara rakyat di Pileg 2019.
Hal ini lantas menjadi perdebatan di kalangan agamawan. Sebab salah satu agama tidak melarang seorang lelaki berpoligami asal ia bisa berlaku adil dalam memberi nafkah lahir dan batin.
Grace paham soal itu. Ia mengeluarkan titah setelah melihat pemicu munculnya akar kekerasan dan ketidakadilan pada perempuan, saat laki-laki memilih berpoligami. Kehidupan keluarga diklaim tidak harmonis, anak-anak terancam telantar, dan rumah tangga berantakan.
Jika dilihat, suara itu bisa menguntungkannya jelang kontes politik akbar demi menggaet suara perempuan pada Pilpres 2019. PSI memang harus mampu memproduksi wacana yang melegitimasinya sebagai partai yang benar-benar merepresentasikan keinginan konstituen.
Jika melirik data jumlah pemilih di Indonesia berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Hasil Hasil Perbaikan Tahap II (DPTHP-2) Pleno KPU RI, sebanyak 192.826.520 termasuk dari pemilih luar negeri. Untuk pemilih perempuan di dalam negeri sebanyak 95.401.580, sedangkan di luar negeri 1.155.461 pemilih. Kemudian pemilih laki-laki dalam negeri 95.368.749, luar negeri 902.724 pemilih.
Sekisar 50 persen pemilih, berasal dari kalangan perempuan. Jumlah ini amat banyak. Jika perempuan menganggap wacana yang diangkat PSI tentang anti poligami satu napas perjuangan, maka PSI pada pesta politik di Pilpres dan Pileg 2019 bakal mendulang suara pemilih yang sangat signifikan. Belum lagi PSI bergabung di koalisi pendukung Capres dan Cawapres Jokowi-Ma’ruf dan punya ruang lebih memainkan peran menjelang hari pencoblosan.
Harus diakui, setiap kebijakan partai akan berdampak pada masa depan partai itu sendiri, entah akan berjalan mulus dan diapresiasi publik lewat pencoblosan di bilik suara, atau justru kebalikan, yaitu ditinggalkan pemilih, lantaran mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan poligami tidak dilarang.
Tantangan lain bagi PSI kedepannya, tidak sekadar merealisasi kebijakan anti poligami di internal partai, tetapi PSI harus punya metode sendiri untuk menjelaskan dan merasionalkan kepada publik, bahwa poligami merupakan salah satu sumber akar kekerasan rumah tangga, di mana perempuan selalu menjadi korban.
Jika sebaliknya, PSI tak menemukan metode tersebut, bukan tak mungkin partai ini akan ditinggalkan pemilihnya.
Penulis: Ruslan