Apa yang mau dibanggakan dari merusak usaha anak bangsa, karena beda preferensi politik?
Jakarta, Lontar.id – Mata para pendukung kian nyalang membaca dan mengamati apa saja silap yang dilakukan dua kubu yang masuk dalam gelangang politik nasional yang sudah terbelah dua.
Satu orang jadi korban. Namanya Achmad Zaky. Ia tidak berada dalam kubu manapun. Tatapi kesalahan kata menyeretnya menjadi kubu yang anti pada petahana.
Sebab ramai dan alasan lain yang tentunya cuma Zaky yang tahu. Akhirnya twit tentang mengkritik kebijakan pemerintah soal revolusi industri 4.0 jadi bahan gorengan.
Kubu oposisi mengeluarkan titah bijak, bahwa mereka terheran-heran dengan sikap kubu petahana yang terus menghujat Zaky. Kubu petahana mengeluarkan dan menularkan kalimat yang tidak mengenakkan hati.
Seolah melihat gerak politik Zaky dan segala keintimannya dengan Presiden Joko Widodo belakangan ini, banyak dari mereka yang kecewa.
Katanya, Buka Lapak didukung habis selama Jokowi berkuasa. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Zaky seperti memunggungi Jokowi.
Dari sini kita patut bertanya, benarkah dalam politik praktis tidak ada niat yang sungguh-sungguh dan benar-benar ingin memajukan negara?
Kritikan Zaky cukup telak. Kalimatnya ramping dan tajam. Seperti pisau. Zaky mengungkap soal anggaran Riset And Development (R&D) yang sangat minim pada tahun 2016 yang berkisar US$ 2 miliar. Atau tertinggal jauh dari negara lain yang sudah menyediakan anggaran R&D.
Dalam postur rencana anggaran dari Kemenristekdikti yang didorong ke DPR. Untuk teknologi, tercatat Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Iptek dan Dikti, anggarannya mencapai Rp1 triliun lebih. Baik dari tahun 2017 dan 2018.
Baca juga: Maaf, Murid di Sekolah Tak Bisa Dikerasi
Sementara Program Peningkatan Sumber Daya Iptek dan Dikti, ada pada kisaran Rp1 triliun juga. Adapun peningkatannya tidak begitu signifikan.
Anggaran paling besar yang digelontorkan adalah Program Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Negara mengeluarkan biaya Rp6 triliun lebih, baik pada tahun 2017 dan 2018.
Misalnya Amerika Serikat menjadi negara pertama yang menyediakan angagran R&D sebesar US$ 511 miliar, China US$ 451 miliar.
Kemudian Jepang US$ 165 miliar, Jerman US$ 118 miliar, Korea Selatan US$ 91 miliar, Taiwan US$ 33 miliar, Australia US$ 23 miliar, Malaysia US$ 10 miliar, dan Singapura US$ 10 miliar.
Cukup bisa diamini, sebab revolusi industri memang sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Setiap tahun selalu menuntut kebaruan. Untuk itu, negara harus bergerak dan mengamini cuitan Zaky.
Lantas mengapa marah? Sebab, bahaya kalimat dan jari-jari selalu menghantui ruang-ruang publik yang didominasi phobia kemajuan. “Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin,” tulis Zaky dalam akunnya.
Apalagi kalimat itu digandengan sarkastik yang bikin gerah. “Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (merujuk hanya US$ 2 miliar),” tulisnya.
Tentunya Zaky keliru. Isi twit soal anggaran yang dikeluarkan Indonesia, salah. Kemudian netizen lain meluruskannya, yang benar adalah anggaran R&D sebesar US$ 2 miliar itu terjadi pada tahun 2010 bersumber dari Wikipedia. Artinya, Jokowi belum menjadi Presiden pada tahun 2010.
Marilah simpan sejenak data itu. Ini berbicara tentang angka-angka yang berbicara dari tahun ke tahun. Berapakah kenaikan signikannya? Model seperti apa yang sudah dibangun pemerintah untuk infrastruktur teknologi?
Saya percaya Zaky, sebab ia pelaku usaha yang berbasis teknologi. Jika ia bilang puas, pasti puas. Jika tidak, ya pasti tidak. Zaky memberi kita secercah harapan, kalau negara ini harus maju di bidang teknologi sekarang.
Bisakah kita menerima itu semua sebagai kritik konstruktif yang membuat kita awas dalam menghadapi zaman yang akan berubah dalam hari ke hari? Sayangnya, politik mengubah sentilan itu menjadi kalimat tendensius.
Kita telanjur berenang di sungai yang diciptakan pemimpin demagog, yang akan menghanguskan kritik seperti plastik yang terbakar secara pelan-pelan. Kritik dikira berseberangan dan subjeknya dibuat sebagai lawan yang nyata.
Oligarki kini menciptakan kondisi di ruang publik yang membuat kita tidak begitu aman berselancar di sosial media. Ia menciptakan agitator yang baru setiap harinya.
Mari membayangkan, ketika pengusaha mengkritik apapun, baik pengusaha roti maupun penggerak teknologi kreatif, maka akan ada seruan selanjutnya: uninstall atau boikot.
Lalu apakah negeri ini ramah bagi pengusaha yang tak mau berafiliasi pada politisi? Saya kira setelah gestur politik kedua kubu melenggang, semua meragukan.
Sampai di sini saya jadi ingat, pesan Muhammad Natsir, begawan pemikir yang membawa Indonesia merdeka, yang disampaikan Ustaz Syuhada Bahri dalam video ceramah yang belakangan saya tonton ulang.
Mengapa semakin banyak dai yang tercipta, semakin banyak pula maksiat yang timbul di mana-mana? Natsir menjawab: Mungkin niat dari dai-nya yang sudah lain.
Baca juga: Imam Lapeo dan Karamahnya
Mungkin saja negara kita masih berkembang, dan akan terus berkembang. Sebab niat kita sudah lain dalam berdagang atau menyampaikan kebenaran. Tidak ada yang benar-benar fokus untuk memajukan negara.
Mana tahu…