Lontar.id – Belakangan ini, mencuat informasi tentang beredarnya ancaman teror pada aksi 22 Mei Depan Kantor KPU. Kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah atau JAD, diindikasi sebagai otak dibalik aksi teror itu.
Bagaimana nasib aksi pendukung Pak Prabowo, apakah tetap kukuh menurunkan massa atau hanya cukup menatap layar televisi menyaksikan rekapitulasi hasil pemilu 2019?
Sungguh pilu hati pendukung Pak Prabowo, niat hati mengepung kantor KPU dengan aksi, tapi ditakuti dengan isu adanya aksi terorisme.
Salah satu organisasi yang getol menggelar aksi ini dari Front Pembela Islam (FPI), mereka berencana akan buka puasa bersama atau ifthar, sambil meminta KPU menghentikan perhitungan suara.
Pasukan baju putih (FPI) seperti kita tahu punya basis massa yang cukup banyak, tak heran jika mereka akan menurunkan sejumlah kekuatan untuk menunjukkan keseriusanya: guna menghentikan perhitungan, karena banyak ditemukan kecurangan setidaknya berdasarkan versi pendukung Prabowo.
Kecurangan itu diklaim sangat merugikan pasangan Prabowo-Sandi dan mengunggulkan petahana Jokowi-Ma’ruf. Sebut saja, adanya kesalahan input data C1 Plano, suara Prabowo dicuri sehingga menambah suara Jokowi-Ma’ruf.
Adanya keterlibatan perangkat negara, mereka dikonsolidasi dan dimobilisasi agar Jokowi kembali menang. Sejumlah daerah banyak data bermasalah, termasuk di Malaysia terjadi kecurangan.
Masih banyak lagi kecurangan pemilu yang diklaim Prabowo, hal ini sudah memenuhi unsur terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Entahlah, apakah data tersebut benar atau tidak, hanya Prabowo, BPN dan Tuhan yang tahu. Karena Pak Prabowo sudah lebih dari sekali deklarasi kemenangan dengan angka 62 persen, kemudian deklarasi selanjutnya dengan angka yang berbeda.
Bagaimana dengan aksi teror nanti pada 22 Mei oleh kelompok JAD?
Begitulah politik, selalu ada hal tak terduga yang muncul. Jika hendak membandingkan aksi politik ini dengan gerakan 212 di Monas lalu.
Secara hitung-hitungan massa yang datang, akan jauh lebih banyak massa 212 ketimbang 22 Mei. Tapi kenapa pada aksi saat itu tidak muncul adanya potensi aksi teror dari kelompok teroris, justru teror itu datang saat ini.
Apakah ini karena berkaitan dengan pemilu. Ada orang yang sengaja menebar ancaman ketakutan agar pendukung Pak Prabowo tidak berani, sehingga tidak jadi aksi protes?
Sekali lagi, entahlah apakah isu ini sengaja diciptakan untuk menakut-nakuti dengan mengaitkan aksi teror atau tidak. Jika benar, artinya ada orang yang sedang merasa panik. Apatah lagi santer isu people power yang bisa membahayakan. Bahayanya, bisa membawa kritis politik dan penggulingan kekuasaan.
Sebagaimana kita tahu, Polisi sudah mengimbau agar warga tidak melakukan aksi pada 22 Mei nanti. Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal yang katakan, sebab ia sudah memeriksa 29 tersangka. Kesaksian mereka mengarah pada aksi teror kerumunan massa 22 Mei mendatang.
Politisi Gerindra Fadli Zon merasa pihak kepolisian sudah kelewatan batas dengan menakuti massa aksi, sebab itu membuat massa pendukung Prabowo merasa khawatir dan takut. Lalu membatalkan rencana aksi tersebut.
Memang sudah bisa diduga, pendukung Pak Prabowo merasa curiga dengan himbaun tersebut, seolah mereka sedang membela rezim yang sedang berkuasa saat ini ketimbang mengutamakan kepentingan umum.
Bila massa sudah terlanjur kecewa dan tak percaya lagi dengan aparat, bukan tidak mungkin aksi 22 Mei nanti akan dihadiri oleh ribuan massa aksi.