Lontar.id- Dulu saat kecil, saat SD sampai SMA saya selalu memiliki pikiran di kepala kalau tidak belajar dengan baik di sekolah saya akan memiliki masa depan yang suram. Entak kenapa, di kepala seorang anak kecil, hal-hal semacam itu mudah tertempel.
Jujur saja, saya tidak begitu mencintai bangku dan ruangan sekolah sebab saya tidak pernah merasa nyaman belajar di kelas. Tapi, meskipun tidak mendapatkan peringkat tinggi, saya masih mendapatkan cap siswa baik-baik. Saya takut macam-macam dan berbuat ulah. Saya tidak pernah bolos sekolah, tidak pernah merokok di kantin, apalagi mengirim surat sakit palsu.
Semakin ke sini, di usia saya yang 25 tahun semakin saya menyadari bahwa memang saya tidak begitu mencintai sekolah. Sikap saya yang memilih bertahan di sekolah adalah hasil negosiasi antara ketakutan atas masa depan yang suram dan ketidaksukaan saya belajar di sekolah. Dengan kata lain, pura-pura tegar saja.
Meski demkian, sekolah itu penting. Kalau tidak sekolah, negara tidak akan memperhitungkan kita. Susah dapat kerjaan dan meyakinkan mertua. Bahkan sekelas Susi Pudjiastuti yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan era Jokowi pun membenarkan hal itu. Padahal kalu dipikir-pikir, Susi bisa mendapatkan jabatan menteri tanpa harus lulus SD. Akan tetapi, menurutnya yang bisa seperti dia mungkin hanya satu dari jutaan manusia. Jadi, balik lagi, sekolah itu penting kecuali kalau kamu “segila” Susi.
Kesadaran bahwa sekolah itu penting itu juga yang membuat saya tidak berhenti sekolah sampai hari ini. Saat teman-teman sudah berhasil membeli rumah ratusan juta, saya masih dipusingkan dengan beragam drama tesis dan kampus. Padahal kalau mau realistis-realistis saja tidak perlu sekolah sampai S2 untuk dapat pekerjaan yang menjanjikan. Mungkin, karena sampai hari ini saya terus berusaha bagaimana caranya mencintai sekolah.
Mungkin karena saking lamanya sekolah saya jadi mulai memahami psikologi pendidikan kita. Dan salah satu hal yang membuat cukup mengganggu dan tak habis pikir adalah kenapa sih siswa dan guru itu harus dikonstruksikan 100 persen baik?
Kenapa kita tak berpikir, kalau toh mereka manusia biasa yang juga memiliki kompleksitas hidup. Sejak pertama kita menginjakkan kaki di lantai kelas, kita sudah dituntut untuk jadi siswa yang manis. Padahal, mungkin hari itu kita sedang ada masalah keluarga. Ayah dan Ibu bertengkar hebat dan mau cerai. Lalu peristiwa itu mengguncang emosi kita.
Seorang guru terlambat masuk sekolah karena ada masalah dengan istrinya atau kemarin malam anaknya masuk rumah sakit.
Ya, kalau kita memandang para pelaku pendidik ini sebagai manusia, tentu saja mereka akan mendapatkan ruang untuk menyampaikan masalahnya, sharing, dan menemukan solusinya.
Kalau saja, para siswa ini dipahami kegelisahannya, mereka kemungkinan besar merasa dihargai. Mereka memiliki kesempatan untuk maju lebih besar lagi dari target yang ditentukan karena toh tak mendapatkan tekanan untuk selalu sempurna.
Hal demikian, saya pikir berlaku kepada para guru. Mereka tak perlu sungkan menyembunyikan masalahnya dan justru hal itu akan membuat mereka bekerja lebih bagus dan nyaman sebab tak ada beban moril.
Kemarin, saya senpat mengunjungi salah satu sekolah terbaik di daerah Jakarta. Sekolah itu hampir sempurna dan segi fasilitas dan kenyamanan belajar. Saya bertemu dengan beberapa siswa yang saat itu bersiap-siap shalat dzuhur. Selain itu, saya juga bertemu dengan beberapa gurunya.
Di sekolah itu, saya ngobrol dengan salah satu guru. Sejak awal hingga khir cerita ia mengutarakan prestasi-prestasi yang didapat siswanya. Pola pendidikan karakter dan kurikulum internasional yang mereka terapkan.
Banyak hal yang menggelisahkan jujur saja. Pertama, saya tidak suka dengan paparannya yang terlalu menggebu-gebu menyebutkan jumlah siswanya yang berhasil kuliah di luar negeri.
Kebanggaan mereka terhadap universitas di luar negeri menyiratkan betapa inferiornya bangsa kita di depan negara lain.
Kedua, yang sangat menggelisahkan dan membuat saya ingin sekali bertanya adalah. Bagaimana cara mereka menangani psikologi siswa-siswa yang sedang mengalami pubertas? Sebab sekolah itu juga memiliki asrama.
Hal itu terpikirkan ketika sang guru menyebut deretan aktivitas-aktivitas yang semuanya sangat positif dan wajib dilakukan para siswanya. Namun, pernah kah kita menanyakan kepada mereka, apakah mereka suka dan senang menjalankan itu semua?