Jakarta, Lontar.id – Akhirnya kawan saya bermudik. Dari Jakarta, ia naik kereta api sampai di Surabaya, kemudian di Pelabuhan Tanjung Perak, naik kapal menuju Makassar.
Ia sebenarnya orang yang sangat mampu. Dari isi dompet dan rekening, tak pernah terlihat kosong. Tetapi yang saya banggakan dari dia, orangnya sederhana. Tak pencitraan.
Teman saya itu, pernah saya ceritakan sebelumnya, yang mengeluhkan harga tiket. Ditanya ihwal memilih kapal laut, alasannya sederhana saja: mau protes.
Setiap akhir pekan, sebelum tiket naik, ia mengunjungi anak dan istrinya di Makassar. Lalu pulang lagi ke Jakarta. Darinya juga saya paham, bagaimana lezatnya berkumpul bersama keluarga.
Saat melingkar duduk bersamanya, dia bercerita lepas pada kami, bahwa ia mencintai keluarganya. Keeluarga baginya nomor satu. Tak ada yang bisa menghalanginya bertemu untuk keluarganya.
“Setiap akhir pekan saya selalu mengusahakan untuk berkumpul dengan anak-istri. Pokoknya kerjaan harus saya lepas dulu saat bersama keluarga.”
Ia melanjutkan lagi, “biar Jokowi mau temui saya, kalau saya harus berpisah dari keluargaku, saya tidak mau. Saya memang punya prinsip begitu.”
Terdengar mantap dan tegas. Saya mengisap dalam rokok sebatang, dan menenggak kopi botolan yang dibeli di depan rumah. Sudahlah, saya mempercayainya.
“Memang ini pemerintah, tidak jelas. Kelewatan caranya kasih naik tiket. Biarlah saya naik kapal, Itulah simbol kritik saya.”
Tahun ini adalah tahun-tahun yang cukup mengejutkan. Jokowi menang pemilihan presiden sesuai pengumuman KPU; ada anak kecil yang tewas tertembak pada 22 Mei; serta meroketnya harga tiket.
Sampai hari ini saya belum tahu, mengapa menteri kita gemar sekali membohongi rakyatnya? Presiden nyaris tidak bisa berbuat apa-apa dengan kenaikan tiket ini. Mengerikan.
Takutkah presiden untuk mengintervensi kebijakan yang populis seperti ini? Kalau dibilang tidak, mungkin presiden kita sedang bercanda dan pura-pura tidak tahu.
Kenaikan harga tiket menekan hasrat manusia perantau dari segi apa saja. Segi makanan, nafsu untuk bermudik, segi pembagian THR kepada keluarga, dan tentengan oleole untuk kerabat di kampung.
Ibarat puasa dua kali. Sudah puasa Ramadan, puasa belanja juga karena terbebani harga tiket yang mahal. Rezim ini mengajari kita bagaimana membawa pesan luhur agama secara terselubung.
Saya percaya kalau rezim ini peduli dengan masyarakat. Semuanya dibangun. Mulai dari jalan tol, kendaraan mudik yang nyaman, dan lainnya.
Di daerah timur belum seluruhnya, karena belum terlalu urgent, apalagi masyarakatnya cuma sedikit. Tak sama dengan daerah Jawa yang perkembangannya pesat. Tidak apalah. Saya tidak meradang.
Pernyataan saya didukung dengan komentar Menteri Perhubungan Budi Karya. Tiket pesawat yang mahal bikin orang berpindah ke moda transportasi darat, seperti kereta maupun bus.
Untuk rute-rute tertentu di Pulau Jawa ataupun Sumatra, masyarakat lebih memilih naik bus ketimbang pesawat karena murah. Jika saya punya kesempatan, saya pasti bilang: Makassar-Jakarta tak bisa ditempuh dengan naik bus, Pak.
Saya susah sekali percaya dengan rezim ini, setelah terlalu banyak ngibul. Paling nyata adalah soal penormalan harga tiket. Kemarin maskapai bilang, akan menurunkan harga tiket. Nyatanya?
Bahkan yang lebih mengagetkan adalah, masih ada saja corong rezim ini yang mingkem soal harga tiket pesawat. Halo, kalian ini buta atau tidak? Tapi yasudahlah. Isu ini mungkin tidak seksi, ketimbang Prabowo yang menolak kalah atau Anies yang mengangkat keranda. Semprul.
Jika nanti mereka bilang tiket akan turun dan kembali normal, iyain saja. Toh, sudah berapa kali dijanji, ditepatinya yang belum. Tak baik mendikte pemerintah, mereka saja yang boleh.
Saya membayangkan para perantau bersepakat untuk memboikot penerbangan dan mengosongkan seluruh bandara besar di Indonesia. Semuanya naik kapal laut. Sebab, harga tiket mencekik leher.
Akhirnya masyarakat kelas menengah ke bawah protes dan membuat negara ini dalam keadaan genting. Mereka mengeluarkan mosi tidak percaya pada janji pemerintah. Mereka dianggap makar dan ditangkap. Lalu corong media sosial rezim ini, menyalahkan orang yang protes. Baiklah.