Jakarta, Lontar.id – Di PSM Makassar, posisi gelandanglah yang bikin saya mencintainya. Gelandang PSM sudah jadi ciri khas di klub mana saja. Keras dan kuat berjibaku. Jika tidak, tampaknya itu bukan gelandang dari Makassar.
Seperti lagu topi saya bundar, tentu saja ini subjektif dan terkesan mengada-ada. Pernyataan ini mudah dibantah. Kalimat di atas adalah sebuah hiburan untuk diri saya sendiri, karena saya suka PSM dan seluruh gelandangnya.
Gelandang bertugas menjadi pengatur serangan dan juga penyuplai bola ke depan. Tanpa gelandang, permainan akan timpang. Itu makanya, barangkali, selama beberapa tahun, PSM memproduksi begitu banyak gelandang.
Klok dan Pluim. PSM bukanlah produsen keduanya. Tetapi, ia yang pertama memberi warna bagi sepak bola Indonesia, kalau mereka memiliki gelandang yang jadi mata pewarta dan pencinta sepak bola Indonesia.
Berbicara soal gelandang, saya jadi ingat satu anekdot yang menarik, antara kawan-kawan sesama pewarta yang asyik menonton pertandingan dari jauh, di tribun tertutup Stadion Mattoanging, yang sudah disiapkan panitia pelaksana pertandingan.
Konon, jika seorang pemain PSM sudah menikah, maka pasti performanya akan menurun. Tentu saja ini bukanlah sebuah keseriusan, cuma berbicara saja sekenanya. Untuk mendinginkan suasana.
Kalimat itu terlontar, setelah melihat permainan Kurniawan Karman yang menurun usai menikah. Publik pencinta PSM pernah mengelu-elukannya. Ia gelandang serang yang baik di mata saya pribadi.
Kurniawan atau Kurni panggilannya, sering menyisir dari kiri juga ke kanan. Karena ia putra asli tanah Makassar, maka nikmat sekali melihatnya menggocek bola. Belum lagi menyimak semangat juangnya di lini tengah.
Menurun kualitas di sini adalah seperti, operan-operan Kurni sudah tidak setajam dulu. Ia beberapa kali kehilangan sentuhannya dalam laga-laga penting. Banyak yang berkeluh, jika Kurni sudah berubah. Banyak yang berharap banyak pada Kurni.
Selain itu, cara menyisir lapangan dan kemampuan berlari Kurni sudah menurun drastis. Itu yang saya rasa setelah melihat beberapa kali ia bermain di PSM. Jujur sjaa, saya orang yang kerap kali berdiskusi dengannya. Kurni orang yang ramah.
Mata saya mungkin sama dengan pelatih. Tetapi, kebijakan pelatih untuk menyingkirkannya pada saat itu, membuat saya berselisih. Musababnya tak lain adalah, Kurni adalah lumbung semangat anak Makassar.
Ia mencintai PSM, semenjak bersama Rasyid. Ia adalah sepasang manusia yang membuat PSM berwarna merah menyala, baik di kasta alternatif dan kasta mainstream. Saya pakai kata itu, untuk menjauhi perdebatan yang tidak perlu lagi soal kebijakan federasi.
Tetapi pelatih lebih tahu dari saya. Saya cuma menikmati pertandingan PSM, sembari memberi masukan dan kritikan PSM, jika Pasukan Ramang sedang loyo dan lesu. Apa yang saya rasa mungkin dirasa juga oleh pelatih.
Beberapa waktu, saat Kurni angkat kaki dari PSM, saya sering berkomunikasi dengannya. Sekadar menanyakan kabarnya, dan bilang kalau anak-anak di VIP Utama rindu akan aksinya. Kurni kadang terkekeh dalam sebuah kolom chat bbm, pada saat itu.
Kurni cinta akan PSM. Ia berkali-kali bilang pada saya. Tak mengapa kalau ia menerima konsekuensi ini dan itu, asal rasional, ia mau saja dipinang PSM kembali. Kurni itu orang yang tidak lupa kacang pada kulit. Makassar tempatnya tumbuh, selalu ia rindukan.
“Doakanka ces, kalau bisaka kembali ke sana.”
“Bah sodara. Saya pasti doakanki. Ini juga sementara saya tanya-tanya, apa persoalan teknista kenapa haruski pergi. Permainanta kah atau apa.”
Sampai saya bilang seperti itu padanya, sampai sekarang juga saya belum mendapatkan jawabannya. Barangkali benar menurut pelatih, juga saya, kalau Kurni sedang berada di bawah performanya. Terpenting, Kurni tak melupakan PSM.
Berbicara soal anekdot, Rasyid Bakri yang sudah sangat jarang mendapatkan waktu bermain yang banyak di PSM, sebab kuatanya persaingan di lini gelandang.
Ia sudah menikah beberapa hari yang lalu. Meski saya tidak akrab dengan Rasyid, setidaknya saya mendoakan agar pernikahnnya bisa membawa berkah sampai ke akhirat. Terbaik buat Rasyid bersama istrinya Andi Isnadha Sikrian Zaenuddin, pokoknya.
“Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik,” ujar Rasyid.
Rasyid adalah sosok gelandang yang pekerja keras. Ia punya semangat tanding yang besar, selama saya mengenal PSM. Karakternya tak bisa dilepaskan dari PSM Makassar.
Ia kuat dalam menjaga kedalaman pertahanan, mengatur ritme permainan, dan memberi operan akurat pada pemain depan PSM. Selain itu, di luar lapangan, Rasyid adalah sosok yang pendiam dan taat beragama.
Omong-omong soal agama, memang tidak ada hubungannya dengan PSM. Tetapi jika di luar lapangan, Rasyid terkesan sangat tenang dengan pembawannya. Mungkin saja itu efek dari bagaimana ia taat pada keyakinannya.
Jika bagus dan tidak adalah relatif, maka Rasyid adalah seorang yang bagus. Alasannya tak lain karena ia pernah menjadi gelandang timnas U-23. Masuk timnas itu tidak mudah. Butuh perjuangan ekstra besar untuk membela negara di kancah internasional.
Lanjut soal pernikahan, tandem Kurniawan Karman ini, rencananya akan menggelar resepsi pernikahannya di Gedung Haji Bate, Kabupaten Gowa, Selasa (23/4) besok. Setelah resepsi, Rasyid tidak memiliki banyak waktu, karena PSM Makassar butuh tenaganya. Ia harus berlatih demi Piala Indonesia dan Piala AFC 2019.
Soal anekdot di atas, usai pernikahan yang dihubungkan dengan permainan, tentu saja hal itu keliru dan tidak berdasar. Apa pasal? Masa ada kaitan erat antara pernikahan dan permainan di lapangan hijau? Jadi untuk menjaga performa, tak boleh menikah?
Meski begitu, saya berharap agar Rasyid terus memperbaiki dirinya dan kekuatannya. Sebab saya rindu saat Rasyid bermain penuh di lini tengah. Semoga ia kembali kuat dan dapat tempat. Semoga ia bisa menghilangkan anekdot murahan macam di atas. Semoga.