Jakarta, Lontar.id – Anies berterima kasih dengan buruh. Itu satu langkah yang baik. Setidaknya, ucapan terima kasih Anies pada mereka sudah dicerap dengan haru oleh banyak sekali orang-orang.
MRT sudah jadi monumen. Ia merupakan simbol kemajuan sebuah kota. Sudah begitu banyak yang dibangun di Jakarta, ibu kota Indonesia yang dicintai sekaligus dibenci dalam waktu bersamaan serta terpisah.
Di Indonesia, bangunan megah atau proyek vital, biasanya diresmikan oleh pejabat-pejabat tertentu. Untuk menghargai jasanya, disiapkan pula satu batu tulis, untuk mengenang para pejabat yang menginisaisi serta sekadar ambil bagian di dalam proyek tersebut.
Jika sudah begitu, buruh kemudian hilang dari peredaran, setelah sorot kamera dan banyak pewarta bertanya pada pejabat, yang dianggap berperan besar dalam pembangunan itu. Buruh pulang ke rumahnya, tanpa pernah mengharap pujian.
Ucapan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melekat padaku. Ikut terharu dengan kalimatnya yang cukup meneduhkan. Apa pasal? Sebab almarhum bapakku adalah seorang buruh.
Rumahku di sebuah kampung yang kecil, di pinggiran Makassar, yang kerap banjir sampai dada, sampai melewati ubun-ubun, dibangun dari tangan hebat bapakku. Rumahku tidaklah istimewa yang kalian kira.
Rumahku banyak tikusnya. Ibuku sering menyahut, jika tapak-tapak dari tikus terdengar berisik. “Adami sede sitti male.” Sitti Male itu adalah tikus. Adami sede, artinya ada lagi. Kalimatnya bisa diartikan, tikus datang lagi.
Banyak tikus, karena rumah kami berhadapan dengan sawah yang sekarang sudah sekarat. Dulu, masih terhampar hijau. Jika malam, terdengar suara jangkrik saling sahut dan kodok bangkong.
Pintu rumah yang dibikin bapak sekarang sudah rusak. Belum cukup uang untuk membeli baru. Pintu itu rusak, karena selalu terendam air banjir. Kira-kira tingginya sampai dada orang dewasa.
Tembok-tembok yang diplester bapak, juga sudah koyak moyak karena banjir dan usia yang sudah puluhan tahun. Bahkan, tiang-tiang pondasinya sudah tercerabut dari tembok, seperti rambut yang rontok.
Kamar tidurku cukup luas. Bapak yang buatkan, tentu saja. Kamar tidurku tidak dicat seperti kamar-kamar di rumah teman-temanku. Hanya diplester saja. Kamarku tempatku menyimpan begitu banyak buku, dan mengkhayal.
“Siapa yang membuat rumah ini ibu?”
“Bapakmu. Ia berdua dengan pamanmu. Almarhum bapakmu yang memilih kayu penyangga atap untuk lantai 1 rumah kita. Ia yang mengangkut semen. Ia yang mencampur. Semuanya dikerjakan.”
Aku dibesarkan jauh dari ibu dan bapak. Butuh dua kali naik angkot, untuk mendapati rumah kakekku. Di sanalah aku besar. Setiap pekan, jika libur sekolah, aku barulah mengunjungi ibu dan bapak.
Sampai sekarang, aku bersyukur, mendiang bapak pernah jadi buruh. Paling tidak, ia membangun monumennya sendiri. Ia sukses melindungi keluarga kecilnya dari sengatan matahari lewat gaji yang pas-pasan.
Bapak sudah meninggalkan sebuah rumah yang menenangkan seluruh isinya. Keluargaku sudah punya rumah sendiri, dan tidak ngontrak. Tak seperti pada awal-awal ibu dan bapak menikah. Begitu kata ibu.
Kemarin aku membaca sebuah tulisan lama dari Mahbub Djunaidi. Ia bilang, buruh itu sering dikaitkan dengan pemberontakan, demonstrasi, serta ketidakpuasan. Buruh itu sikapnya bandel. Protes melulu dengan kebijakan yang merugikannya.
Bedanya dengan karyawan, dalam tulisan Mahbub, karyawan itu adalah pekerja yang gemar menerima apa saja. Ia digaji begitu, ya begitu. Ia gemar menunggu titah dari bos. Dari namanya saja karyawan, terdengar lebih intelek dari buruh.
Aku membolak-balik buku kumpulan kolom dari Mahbub itu. Menyimpannya sebentar, berpikir, kemudian membacanya lagi. Aku bertanya-tanya, apakah bapakku ini karyawan atau buruh?
Seingatku, bapak tidak pernah turun aksi. Apalagi bikin diskusi kecil-kecilan membahas gerakan buruh. Bapak adalah pekerja yang supel dan mudah diajak untuk negosiasi. Selama hidup, bapak jarang tidak mendapatkan kerja.
Dalam pikiranku, buruh rentan untuk berhenti kerja. Tetapi bapak tidak. Tenaga bapak selalu dibutuhkan orang. Misal, menggergaji kayu untuk pagar, membuat kuda-kuda rumah, bikin lemari, dan segala macam. Bapakku pekerja yang serba bisa.
Bapak dari kecil sudah putus sekolah. Aku pikir, jika bapak kuliah tinggi-tinggi dan lancar dalam membaca, pasti ia bisa menghimpun tenaga bersama kawan-kawannya untuk memprotes kebijakan atasannya atau pemerintah.
Sayangnya tidak. Bapak lebih kebanyakan sabar dan menerima hasil hidupnya dengan bahagia. Asal ada segelas kopi dan rokok yang kurang terkenal, serta megah mie, ia sudah yakin akan hidup panjang. Bapak bukanlah pendengar Bob Dylan, atau pembaca puisi-puisi Walt Whitman, dan Cesar Vallejo. Begitu cara bapak menikmati hidup.
Pernah sekali, bapak jatuh dari loteng sebuah rumah dua lantai yang belum rampung dibangun. Kaki bapak terkilir, lebam dan bengkak. Baru kali itu, aku melihat bapak istirahat dalam waktu lama. Di rumah, bapak menghabiskan waktunya mendengar radio berisi berita pada pagi hari, dan latihan jalan menggunakan tongkat yang dibuatnya sendiri.
Aku juga buruh. Hanya sekali ikut demonstrasi yang digagas Aliansi Jurnalis Independen regional Kota Makassar, setelah kawan-kawanku dipukuli saat meliput kekerasan aparat dalam sebuah kampus negeri di Makassar.
Aku pikir aku bisa lebih baik dari bapak, ternyata tidak. Bapak selalu lebih baik dari aku. Bapak berbahagia dengan jalannya hidupnya sendiri. Sementara aku tiap hari gelisah dengan masa depanku yang penuh ketidakpastian ini.
Saking kuatnya bapak bekerja, badan bapak sungguh kekar. Otot-ototnya menunjukkan kekuatan tubuhnya. Kulitnya juga hitam kecokelatan karena sering bekerja di bawah sengatan matahari. Aku perlu katakan lagi-lagi, kalau bapak adalah seorang perokok berat.
Pada akhirnya bapak tumbang juga. Kekuatannya tidak bisa dipakai saat melawan demam yang membuatnya merasa, kalau mi instan andalannya begitu asin, dan segelas kopi yang ia coba, tidak dirasa manis sama sekali. Ternyata itu adalah tanda kalau bapak akan pergi jauh sekali.
“Padahal, aku sudah memberinya gula cukup banyak,” kata ibu, setelah bercerita saat-saat bapak pergi meninggalkannya selamanya.
Bahkan yang paling menyedihkan, setelah bapak berjanji akan membeli sebungkus coto Maros yang hangat, yang warungnya tak jauh dari rumahku, aku tak sempat mencobanya. Hari itu, bapak pergi di hari Minggu. Aku selalu menganggap bapak berlibur pada akhir pekan.
Hari itu, Sabtu, bapak sudah terima gaji. Bapak memaksakan dirinya untuk bekerja ringan saja, tak seperti biasanya. Sebelum pergi ke tempat peristirahatan terakhirnya, bapak memang mengajakku makan coto karena ia tahu, ada rezeki yang akan datang. Semuanya sirna.
Aku tahu, jika bapak masih hidup, bapak pasti bangga karena aku berani-beraninya menulis sepotong memoarnya. Setelah aku merasa disadarkan, bahwa tenaga bapak dan buruh lain adalah kekuatan untuk membangun sebuah kota. Tanpa bapak, ide kontraktor hanyalah ilusi belaka.
Aku makin tambah bangga dengan posisi almarhum bapak yang notabene seorang buruh, saat Marco Kusuma Wijaya menyodorkan satu gagasan menarik buat Anies, kalau sebaiknya dibikinkan monumen khusus untuk menyimpan nama-nama buruh pembangun MRT di Jakarta.
Andai bapak masih hidup, dan ia menjadi salah satu pekerja di MRT, aku pasti lebih bangga lagi. Kini, aku ingat dia, setelah Anies dan lagu Iksan Skuter, Jangan Seperti Bapak.
Terima kasih buat kalian yang sudah peduli pada buruh-buruh sampai hari ini.