Lontar.id – Jika pertanyaan “[b]agaimana kamu melihat masa depanmu di ArkomJogja?” dijawab dengan “[m]asa depan saya dan kita semua dalam ArkomJogja adalah Arkom Institute,” maka jelas, dengan jawaban demikian, masa depan para pegiat ArkomJogja akan tercapai dengan adanya Arkom Institute (hlm. 132).
Pertanyaan dan jawaban demikian adalah pendiskusian yang muncul dalam workshop sistematisasi pengalaman ArkomJogja yang berlangsung pada Juli 2015. Empat tahun kemudian, pada tahun 2019, Arkom Institute muncul ke permukaan dengan Fellowship Program bertema “School for Community Organizers”.
Program yang berlangsung selama tiga bulan itu diadakan di area pascabencana, Palu dan Lombok. Sejak itu pula, masa depan para pegiat ArkomJogja—selanjutnya ditulis Arkom—benar-benar
telah tercapai.
Seketika itu juga, muncul pertanyaan di benak saya: apakah organisasi dan pegiatnya memiliki cita-cita yang sama atau berbeda? Jika sama, apakah dengan tercapainya masa depan para pegiat
organisasi, juga berarti tercapainya masa depan yang menjadi cita-cita organisasi itu?
Lantas, jika berbeda, untuk apa para pegiat gerakan sosial masih bergelut dalam organisasi itu?
Sinaga tentu merupakan satu di antara para pemilik kemampuan reflektif yang amat mendalam. Berangkat dari refleksi bersama yang dilakukan para pegiat Arkom dalam workshop sistematisasi pengalaman, Sinaga mampu memperlebar jangkauan refleksinya jauh melesat terbang ke pergulatan ekonomi-politik global dan menyelam ke dalam hal-hal partikular yang spesifik.
Oleh karena itu, perlu ditekankan dalam resensi ini, bahwa buku “Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja”—selanjutnya disingkat PRHBS— ini merupakan elaborasi dari refleksi para pegiat Arkom
dalam workshop.
Dalam pembahasannya, workshop dibagi menjadi dua tahap. Pertama, tahap objektif yang berisikan rekonstruksi historis; identifikasi tonggak peristiwa yang akan menjadi titik
berangkat peserta workshop ke dalam panorama umum dan “potret besar” proses berjalannya Arkom yang pada gilirannya akan memunculkan tema-tema refleksi sebagai pengantar kepada
peserta menuju tahap kedua, tahap subjektif.
Kedua, tahap subjektif berisikan penjelasan eksplisit dari asumsi dan keyakinan di balik pilihan dan strategi yang dijalankan Arkom dalam kerja-kerjanya. Berdasar pada tahap kedua inilah, baik Arkom secara organisasi dan peserta secara individu, merumuskan suatu teori perubahan sosial yang dapat diuji-coba bersama di lapangan (hlm. 28-29).
Dari sini, kita dapat melihat, bahwa PRHBS merupakan elaborasi subjektif Sinaga dari refleksinya bersama pegiat Arkom
lainnya. Dengan latar belakang penulisan seperti itu, PRHBS memiliki dua daya tarik yang kuat.
Pertama, selain sebagai refleksi atas pengalaman kegiatan, buku ini berguna sebagai gambaran awal kepada orang-orang yang tidak/sedikit/belum mengenal tentang bagaimana tegang-bentang dan renggang-lengang Arkom secara khusus dan non-governmental organization (NGO), atau apa yang lebih akrab dikenal sebagai
gerakan sosial secara umum.
Kedua, buku ini menegaskan atau setidaknya mengajak, bagaimana
mestinya para pegiat NGO maupun orang-orang pada umumnya memandang pemiskinan di bawah kapitalisme dan kaitannya dengan ruang (space) sebagai arena kontestasi ekonomi-politik secara kritis. Dalam resensi singkat ini, kita akan coba membahas keduanya. Kita mulai dari yang kedua.
Ruang Hidup dan Kapitalisme
Bagaimana menjelaskan kenyataan adanya kelompok miskin dan kaya dalam satu area tertentu? Dari mana asal-usul adanya masryarakat miskin dan kaya? Bagaimana melihat fenomena overkonsumsi masyarakat terhadap produk-produk tertentu tanpa terbelenggu justifikasi moral? Apa yang mendasari gengsi-gengsi sosial antarindividu dan atau kelompok dalam masyarakat yang pada gilirannya menciptakan kesenjangan?
Kira-kira pertanyaan demikian dapat muncul dalam benak kita jika berada di lingkungan sosial di bawah kapitalisme. Sebagai organisasi yang berkutat pada kerja-kerja rancang-bangun dan pengorganisasian rakyat, kegiatan Arkom tidak bisa lepas dari persoalan ruang (hidup).
Sinaga berangkat dari pendekatan dan cara pandang yang ditawarkan Doreen Massey dalam bukunya “For Space (2011)”untuk memaknai apa itu ruang. Menurut Massey, ruang seharusnya
dipandang sebagai tiga gugus kenyataan yang saling terikat untuk mengantisipasi gagasan gerakan-gerakan politik progresif: (1) Ruang mesti dipahami sebagai pengejawantahan dari beragam
interaksi; (2) Ruang mesti dipahami sebagai kemajemukan; dan (3) Ruang mesti dipahami sebagai sebuah proses yang terus berlangsung.
Hanya dari pendekatan dan cara pandang seperti ini, segala tampakan dan fenomena yang tercakup dalam ruang dapat dilihat sebagai satu paduan terikat atas yang parsial dari yang global (hlm. 41-43).
Dengan pemaknaan demikian, barulah kita dapat mengupas lebih tajam realitas keseharian yang tampak, barulah pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab untuk kemudian dielaborasi dengan pertanyaan lanjutan yang jauh lebih mendasar.
Ada keganjilan mendasar yang diam-diam bersemayam lalu perlahan mengakar dan menjalar ke dalam semesta mental masyarakat. Tak jarang, tampakan-tampakan realitas harian kita pandang sebagai sesuatu yang terpisah dengan hal lebih besar yang menjadi penopangnya.
Kita nyaris selalu mendudukkan sesuatu yang parsial, termasuk kemiskinan, sebagai hal yang terberi dari sananya tanpa melihatnya sebagai hubungan tak terpisahkan dari hal yang global. Atau paling maju, kita hanya melihat sesuatu dalam kaitannya dengan pergolakan politik regional dan nasional saja.
Padahal, tak ada yang berdiri sendiri di dunia ini. Termasuk keberadaan kelas borjuis dan proletariat atau kaum penindas dan tertindas. Tidak akan ada kelas borjuis tanpa adanya proletariat dan tidak akan ada kaum penindas tanpa yang tertindas.
Persis karena keduanya memiliki keterikatan yang dialektis. Dengan cara pandang demikian, Sinaga mengajak kita untuk melihat tampakan-tampakan realitas sebagai suatu yang bertopang dan saling memengaruhi satu sama lain. Kita atau setidaknya para pegiat gerakan sosial, diajak melihat dunia ini secara kritis agar tak terperangkap dalam (paradigma dan cara pandang yang tercipta dari) jurang jebakan kapitalisme.
Lebih jauh, sesuatu yang dipandang sebagai pilihan hidup, tak jarang bahkan lebih sering menjadi nyata sebagai jebakan yang tanpanya, kehidupan seolah-olah tidak ada lagi. Sulit membayangkan bagaimana kehidupan di luar tatanan yang berlangsung sekarang.
Alhasil, jebakan-jebakan itu mengondisikan kita menjelma sebagai manusia-manusia berkecenderungan konsumtif, kompetitf, individualistis dan tak dapat berdamai menghapuskan kesenjangan sosial di lingkungan kita, bahkan tak dapat berdamai dengan
diri kita sendiri.
Keprihatinan Sinaga sangat kuat terhadap integritas moral masyarakat yang dimiskinkan. Di sekujur buku, kita dapat melihat Sinaga mengeksplisitkan dan mengimplisitkan bagaimana integritas
moral masyarakat digerus oleh kapitalisme, termasuk di dalamnya para pegiat gerakan sosial itu sendiri.
Para pegiat gerakan sosial juga hidup di bawah kapitalisme. Oleh sebab itu, pengaruh kapitalisme juga tak terelakkan menjangkit bahkan menubuh ke dalam diri setiap orang yang bergelut di gerakan sosial.
Berangkat dari kenyataan ini, Sinaga mempertegas bahwa pendidikan/kaderisasi juga penting dalam gerakan sosial, baik itu dalam pengorganisasian rakyat maupun NGO. Kaderisasi dipandang penting sebagai proses melepaskan diri dari belenggu kapitalisme. Hal ini menjadi salah satu hal penting dalam jalannya gerakan sosial.
Tegang-Bentang dan Renggang-Lengang Gerakan Sosial
Banyak NGO maupun gerakan sosial secara umum yang ada di sekitar kita. Mulai dari yang besar dengan dana donor yang juga besar, hingga yang kecil dengan pendanaan kecil dan tunggang-langgang mempertahankan diri. Dari yang terkenal di masyarakat umum, hingga yang terkenal di kalangan pegiatnya sendiri. Ratusan bahkan ribuan gerakan sosial ada di sekitar kita.
Dalam PRHBS, Sinaga menggambarkan bagaimana jalannya gerakan sosial secara umum dan Arkom secara khusus. Dari membaca PRHBS, saya menggarisbawahi beberapa catatan penting atau setidaknya krusial menurut saya.
Pertama, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan pendanaan sebagai basis penggerak kerja-kerjanya. Dalam gerakan sosial secara umum, terdapat banyak jenis model pendanaan. Ada yang dananya bersumber dari lembaga donor/kapitalis global dan atau pemerintah, ada yang mendapatkannya dari konsekuensi basis gerakan/organisasinya, dan ada juga yang mengusahakannya secara mandiri terlepas dari kedua hal yang disebutkan pertama.
Tak jarang ketiga sumber pendanaan itu dipadukan dan atau digunakan bergantian sesuai dengan kebutuhan organisasi maupun pegiatnya.
Arkom,secara khusus merupakan organsisai yang pendanaanya dapat bersumber dari ketiga hal di atas. Atau lebih tepatnya lembaga donor luar negeri, jasa arsitek dan kontruksi, riset, dan skema pendanaan yang dikembangkan bersama komunitas (hlm. 131-132), yakni Dana Pembangunan Komunitas (DPK, community devlopment fund [hlm. 84]).
Menjadi persoalan di gerakan sosial apabila grafik pendanaan merangkak mendekati garis bawah, apalagi jika telah tiarap dan berbaring di garis terbawah grafik. Dalam kondisi demikian, satunya-satunya yang paling mungkin dan terpikirkan bagi gerakan sosial, untuk tetap menjaga keberlangsungan kerjanya sebagai organisasi dan kerja pegiatnya sebagai penggerak, adalah mendapatkan gelontoran dana besar secepatnya.
Sebab apabila tidak, organisasi itu akan bubar seketika sejalan dengan padamnya semangat tiap pegiatnya. Kecenderungan umum dari gerakan sosial yang terjerembab dalam kondisi ini adalah mengajukan proposal pada lembaga donor/kapitalis global.
Tentu ini merupakan hal mudah dibandingkan dengan mengupayakan pendanaan mandiri (bersama komunitas) yang kejelasan ke depannya ada atau tidaknya, nyaris abu-abu. Namun hal ini memiliki konsekuensi besar yang menjadi kontradiksi tersendiri dalam organisasi-organisasi yang berkutat di gerakan sosial.
Di satu sisi, dengan adanya proposal, artinya NGO-NGO mengajukan terlebih dahulu apa yang mereka rencanakan baik secara strategis dan nyaris teknis termasuk tahapan-tahapan yang sudah pasti dan tak berubah ke luar dari apa yang tertuliskan. Bagi NGO yang bermetode partisipatoris semisal Arkom, keterikatan program seperti demikian akan mempersulit kerja-kerjanya.
Betapa tidak, metode partisipatif yang berkecenderungan mendapat bentuk dari hasil praktik-diskusi-praktik-refleksi di lapangan berbantahan dengan adanya proposal dan segala kepastian yang menjadi kewajiban itu.
Sementara di sisi lain, dengan menggunakan dana dari lembaga donor/kapitalis global, apalagi jika sudah menjadi pendanaan jangka panjang, NGO-NGO berkemungkinan besar akan lumrah dengan kebiasaan “bersiasat asal selamat”; menyesuaikan rancangan program yang tertera dalam proposal dengan pelaksanaannya di lapangan atau bahkan vice versa.
Alhasil, NGO-NGO akan semakin terbiasa dan mendapatkan keahlian baru, keahlian “bersiasat asal selamat” itu. Dalam bentuk terparah, kebiasan ini akan memalingkan mentalitas dan orientasi NGO-NGO, termasuk pegiatnya ke arah yang mengkhianati cita-citanya sendiri. Hingga pada gilirannya akan mengubah kerja-kerja NGO itu sendiri (hlm. 131).
Kedua, kerangka kerja organsiasi dari setiap gerakan sosial juga bermacam-macam. Ada yang murni merancanakan program terlebih dahulu dari balik meja di sekretariatnya—seperti peneliti yang berkecenderungan a priori dengan hipotesisnya. Ada juga yang turun membaca kondisi lapangan terlebih dahulu lalu menggunakan hasil pengamatan lapangan itu sebagai model awal program—yang masih berkemungkinan untuk berubah dan berkembang terus-menerus.
Arkom merupakan organisasi yang kerangka kerjanya memiliki kecenderungan pada yang kedua disebutkan—setidaknya sejauh pengetahuan saya. Di awal proses, Arkom terlebih dahulu melakukan integrasi ke daerah yang ditetapkan untuk digarap—demikan istilah yang biasa saya dengar. Lantas kemudian melakukan pemetaan ruang bersama warga setempat.
Berangkat dari hasil pemetaan itulah kemudian program direncanakan sesuai kondisi ruangnya. Tentu tidak sesederhana itu. Banyak variasi yang dapat/biasa dilakukan mulai dari turun pertama kalinya, pemetaan ruang, perancangan program, menjalankan dan seterusnya.
Dari kondisi proses yang dinamis inilah peran penggerak komunitas (community organizers) dan pembagian kerja lainnya sangat krusial. Karenanya, keberlanjutan pemahaman lapangan dan pembagian kerja ini mesti dikembangkan dan ditransfer terus menerus dari pegiat yang masih bergelut kepada pelanjutnya ke depan.
Ketiga, kaderisasi alias pendidikan pegiat NGO. Yang menarik dari pendidikan di Arkom adalah beragamnya cara belajar dan siapa saja bisa ikut (magang atau seperti Fellowship Program 2019). Beragamnya cara belajar dapat dilihat dari gambaran Sinaga tentang (1) bagaimana Arkom menempatkan anggota mudanya sebagai penanggung jawab lebih besar daripada anggota generasi awal. Pada pemberian peran besar itu, anggota muda diberikan kedudukan sebagai koordinator program.
(2) Anggota diberikan pemahaman terkait tema-tema tertentu melalui diskusi rutin sekaligus menunjuknya sebagai fasilitator pengampu diskusi. Pada tahun 2016, misalnya, Arkom mengadakan pendiskusian yang bertemakan pengorganisasian, pendidikan, dan informalitas sektor urban.
(3) Memperkenalkan cita-cita dan cara Arkom bekerja kepada khalayak umum, terkhusus kepada mahasiswa. Termasuk di dalamnya kerja praktik/magang mahasiswa, terkadang anggota Arkom juga menjadi pembicara atau dosen tamu di beberapa universitas/institut, dan tentu dalam setiap perjamuan terhadap kunjungan kelompok-kelompok mahasiswa yang bertandang ke Arkom (hlm. 127-129).
Namun tentu, tak semua NGO yang memiliki model pendidikan, kerangka kerja, dan pendanaan seperti Arkom. Banyak NGO yang model pendidikan, kerangka kerja dan pendanaannya sulit dijelaskan—untuk tidak mengatakannya tidak jelas sama sekali.
Anomali Gerakan Sosial: Sekelumit Pengalaman Mengamati
Banyak NGO yang dikarenakan pendanaannya telah terbiasa bersumber dari lembaga donor/kapitalis global secara berkepanjangan, cita-cita organisasi/bersamanya menjadi sebatas tempelan di dinding sekretariat atau bahkan mantra suci yang tertera di dalam Anggaran Dasar-nya saja. Bahkan, banyak NGO yang malah numpang hidup layaknya parasit dari pendanaan lembaga donor/kapitalis global, inangnya.
Dengan menjangkarkan kegiatannya pada proposal program yang telah diajukan kepada lembaga donor/kapitalis global, alih-alih menjalankan gerakan sosial dan mengupayakan penguatan basis pengorganisasian rakyat, NGO Parasit-NGO Parasit malah menjadi penyambung tangan atau mungkin kendaraan, dari sang inang dalam melancarkan eksploitasi terselubung.
Pada gilirannya, NGO Parasit-NGO Parasit seperti ini hanya akan menjaga status quo; Agar akar rumput tidak menggeliat kemudian menggalakkan pemberontakan sama sekali, berilah gelontoran dana besar-besaran kepada NGO-NGO untuk mengorganisasikan masyarakat tertindas menyelesaikan masalah pada dirinya sendiri, demikian ilustrasi tentang bagaimana sang inang memandang persoalan kemiskinan.
Gila bukan main NGO Parasit-NGO Parasit itu. Saya menduga—untuk tidak mengatakan bahwa saya yakin—para pegiat NGO Parasit memandang gerakan sosial sekadar sebagai batu loncatan untuk kemudian menjadi bagian dari sang inang yang dahulu menyuapinya. Dengan kata lain, para pegiat NGO Parasit memandang gerakan sosisal semata sebagai pengisi waktu luang sebelum benar-benar terjun ke dalam pekerjaan yang
sebenarnya.
Apa implikasi dari cacat orientasi dan kekeliruan paradigmatik demikian? Saya berpendapat begini: para pegiat NGO Parasit akan melihat cita-cita organisasinya sebagai suatu yang tidak akan pernah tercapai dan karenanya kerja-kerja gerakan sosial tidak akan ada habisnya sampai kapan pun, dan sudah pasti, bahwa cita-cita dari para pegiatnya bukanlah cita-cita organisasi itu dan vice versa.
Dengan kegilaan seperti ini, kita dapat menebak dengan jelas apa yang akan terjadi ke depan, bahwa cita-cita besar untuk terlepas dari
cengkraman kapitalisme dan masa depan terbitnya sosialisme untuk kemudian berkembang menjadi komunisme, nihil.
Yang Ganjil dari yang Prinsipil
Arkom, sebagai organisasi, bercita mewujudkan komunitas dengan lingkungan hunian yang tentram, harmonis, dan lestari (hlm. 155). Membaca PRHBS, saya bingung akan dua hal. Pertama, mengingat Arkom adalah organisasi yang berbasis pada kerja rancang-bangun, apa pembeda spesifik antara Arkom dengan organisasi lainnya—semisal Urban Poor Consortium (UPC)—dalam hal kerangka kerja lapangan?
Dalam PRHBS, Sinaga hanya menjabarkan bagaimana cara kerja NGO secara umum dan Arkom, yang sayangnya, juga secara umum. Lantas bagaimana pembaca mengetahui pengaitan antara elemen arsitektur dan gerakan sosial—ciri khas Arkom—jika dalam PRHBS tidak dijabarkan?
Kedua, pertanyaan-pertanyaan di awal resensi ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang seketika muncul dalam benak ketika membaca subjudul ‘Masa Depan Orang-Orangnya’ (hlm. 132) dari judul bab ‘Banyak Jalan Lain ke Roma’.
Bagaimana bisa para pegiat Arkom hanya mematok masa depannya sampai pada adanya Arkom Institute (yang mana sudah jelas bahwa Arkom hanyalah sebagai kendaraan dan arsitektur hanya sebagai alat saja, karenanya Arkom Institute juga merupakan kendaraan, hanya saja jauh lebih besar daripada Arkom itu sendiri) sementara cita-cita Arkom sebagai organisasi begitu jauh ke depan?
Saya berharap pertanyan-pertanyaan saya hanyalah sebatas pertanyaan-pertanyaan yang dibangun dari minimnya pemahaman dan pengalaman akan gerakan sosial apalagi pengorganisasian rakyat.
Namun bagaimana dengan bab II yang berjudul ‘Jalan Tak Ada Ujung’? Dalam subjudul ‘Susunan Isi Buku’, Sinaga menulis bahwa: “[k]erja pengorganisasian yang panjang dan melelahkan ini bisa diibaratkan seperti jalan tak berujung”.
Lebih jauh, penjelasan tentang bab II ini diakhiri dengan kalimat: “[p]ilihan atau keputusan untuk mengambil jalur pengorganisasian rakyat bukan pilihan mudah, […] dan sering kali terasa tidak jelas di mana ujungnya [hlm. 33-34, cetak miring ditambahkan].”
Saya berharap Sinaga hanya kehabisan kata-kata sehingga berdampak pada kurang tepatnya pemilihan pengibaratan. Sebab jika tidak, maka berkemungkinan Sinaga adalah orang yang meragukan sendiri apa yang ia dan para pegiat Arkom lainnya lakukan selama ini. Ia tidak percaya cita-cita Arkom dapat tercapai.
Akibatnya, ia mengibaratkan kerja-kerja pengorganisasian Arkom sebagai jalan tak ada ujung. Sementara terlihat jelas, kebingungan pertama dan kedua saya, seharusnya tidak muncul dengan adanya kalimat di sampul depan buku yang secara tidak langsung menegaskan bahwa (1) Arkom berbasis pada kerja rancang-bangun dan (2) pengorganisasian rakyat pada akhirnya akan selesai dan mencapai cita-citanya; Pengorganisasian Rakyat & Hal-hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja.
Ditulis oleh Abdulmunib Sulotungke Almuthahhari.
Judul Buku: Pengorganisasian Rakyat dan Hal-hal yang Belum Selesai: Belajar Bersama ArkomJogja. Penulis: Marsen Sinaga. Penyunting: Prima S. Wardhani. Ilustrator Sampul: Lintang Rembulan.Penata Sampul dan Isi: Azka Maula. Penerbit: InsistPress & ArkomJogja, Yogyakarta. Cetakan:I, Januari 2017. Tebal: xii + 176 Halaman.