Lontar.id – Sekisar tahun 2012, pada awal menjadi mahasiswa baru di UIN Alauddin Makassar, saya bertemu dengan Arief Balla. Saat itu, ia adalah salah satu tutor Bahasa Inggris di program PIBA (Program Intensifikasi Bahasa Asing) yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru UIN Alauddin Makassar.
Arief yang saya kenal saat itu merupakan mahasiswa yang “normal” seperti umumnya mahasiswa yang menasbihkan hidupnya dengan membaca, menulis, berorganisasi dan mendengar ceramah dosen.
Setidaknya itu kesan yang saya dapatkan dari beberapa kali pertemuan dengannya di kampus beberapa tahun silam. Belakangan, namanya berseliweran di sosial media. Beberapa kali postingannya viral, sebut saja postingannya yang mengkritik aksi demo HMI yang menimbulkan kemacetan parah di Makassar.
Ratusan pengguna facebook memenuhi kolom komentarnya, dan ratusan akun membagikannya. Tulisannya yang sederhana dan menyentil permasalahan hidup sehari-hari menjadikannya sebagai seleb facebook.
Selain itu, ia tidak hanya seorang pejihad facebook. Beberapa tulisannya dalam bentuk opini, esai populer, hingga cerpen terbit di beberapa media misalnya Mojok.co, Lontar.id, Tirto.id, hingga Tribun Timur.
Arief semakin dikenal, puncaknya ketika ia mengumumkan keberhasilannya mendapatkan beasiswa Fulbright dan akan segera berkuliah S2 di Amerika Serikat.
Jagat maya seolah heboh dengan pencapainnya itu, padahal di Indonesia atau di Makassar, Arief bukanlah satu-satunya yang dapat lolos program tersebut. Lalu mengapa ia bisa mengundang banyak simpati dan fans. Jawabannya adalah menulis.
Sebelum ke Amerika, Arief telah dikenal oleh banyak orang karena kemampuan menulisnya yang secara tidak langsung sebenarnya mempromosikan dirinya sendiri.
Tidak jarang ia membagikan kisah keluarganya yang berada di garis kurang mampu dan terlahir dari orang tua yang tidak mengenal huruf dan angka. Sejak kelas empat Sekolah Dasar (SD), Arief memutuskan merantau.
Hal-hal semacam itu yang mengundang banyak simpati dan kekaguman, sebab dari ribuan orang mungkin tidak banyak yang mampu keluar dari kondisi yang pelik itu.
Setelah dua tahun lebih tidak bertemu Arief, akhirnya hari ini (10/07/2019) saya memiliki kesempatan bersua dengannya, tentu saja dengan mengantongi beberapa pertanyaan yang agak sinis, selain pertanyaan, kapan menikah?
Pertanyaan terakhir itu bercanda, daripada bertanya pada Arief, pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan kepada diri saya sendiri. Ehe. Salah satu pertanyaan yang sangat ingin saya ajukan kepada Arief adalah, kenapa Amerika? Apakah Arief termasuk orang yang terjebak pada polarisasi Barat dan Timur, superior dan inferior?
Perjumpaan saya dengan Arief tidaklah tiba-tiba. Sebelumnya, kami telah berbagi kabar akan bertemu di salah satu café di Sinjai. Saat itu, agenda kami sama, yakni sama-sama pulang kampung.
Bedanya, Arief pulang kampung setelah menyandang gelar master di negeri Paman Sam, sementara saya pulang kampung belum membawa gelar master dari Ibu Kota.
“Amerika adalah lambang modernitas dan kemajuan bagi kebanyakan orang di sini. Kita tidak bisa memungkiri itu, Ais,” ucapnya beberapa saat sebelum kami benar-benar membuka obrolan ihwal kehidupannya di sana. Tampaknya ia tahu saya akan bertanya demikian.
Terlepas dari stigma-stigma lulusan luar negeri lebih hebat dibandingkan lulusan dalam negeri yang menempatkan bangsa kita lebih inferior, Arief bagi saya tetaplah oase yang mampu meninggikan derajat keluarganya yang berulang kali ia sebut bahwa ia memiliki orang tua yang buta huruf.
Ke Amerika adalah pembuktian bagi orang lain atau barangkali perlawanan atas dirinya sendiri untuk bisa keluar dari lingkungan keluarga yang tidak mengenyam pendidikan formal.
“Untuk alasan kuliah di luar negeri mungkin kalau cuma bilang gratis masih absurd. Gini, saya merantau sejak kecil–sebagai bentuk protes dan pemberontakan diam-diam pada Bapak yang tidak terlalu suportif pada pendidikan, terlepas dari latar belakang Bapak yang memang tidak pernah sekolah.”
“Saat merantau dan tinggal bersama keluarga orang lain, saat itulah saya mulai menyadari betapa saya tidak memiliki modal sosial dari masyarakat kita. Saya bukan dari keluarga yang memiliki stratifikasi sosial yang tinggi dalam kultur masyarakat kita (Bugis).”
Sejak saat itu, Arief mulai menyadari perlakuan buruk, direndahkan, dihinakan karena ia bukan siapa-siapa. “Saya sakit hati, terus terang,” tegasnya.
Sorot wajahnya yang tadi serius kemudian tiba-tiba berubah menjadi lebih teduh. “Dan Pendidikan membuat saya berpikir kritis bahwa semua modal-modal sosial itu tak lepas dari konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat dan dipelihara hingga kini.”
Arief mulai mempertanyakan nilai-nilai macam apa dan dari mana hal seperti di atas. Ia lantas berpikir, satu-satunya cara baginya untuk membuktikan bahwa ia berhak untuk dihormati sebagaimana semua orang tanpa terkecuali, terlepas dari apapun latar belakangnya adalah lewat pendidikan.
“Pendidikan ke luar negeri adalah salah satu pembuktian,” ucapnya dengan tegas.
Dengan bersekolah dan lolos Fulbright ia bisa membuktikan bahwa ia memiliki kapasitas dan kompetensi, tidak karena semata orang memandangnya bukan dari keluarga yang kurang beruntung.
“Sebab Fulbright tidak peduli kamu dari keluarga miskin atau bukan. Saya tidak suka dikasihani karena latar belakang itu. Dan berhasil ke luar negeri adalah pembuktian lain bahwa, hei, saya bisa loh selesai dan membuktikan saya tidak segoblok yang mereka kira, bahwa saya juga bersaing. Bahwa saya juga layak dihargai.”
Di luar negeri menurut Arief, ia mendapat banyak hal, terutama soal budaya saling menghargai, yang jarang ia dapatkan di lingkungan sebelumnya. Pada akhirnya, ia berpikir, pendidikan adalah tempat paling netral untuk bisa saling membuktikan siapa yang terbaik
terlepas dari apapun latar belakang seseorang.
“Kita bisa beradu gagasan, argumen dan ide di ‘lapangan’ yang seimbang dan di luar negeri saya pikir memiliki dan menyiapkan fasilitas itu. Saya selalu ingin lebih dari yang lain, sebagai bentuk pembuktian, untuk tidak menyebutnya balas dendam.
Pada akhirnya, saya bisa membuktikan kepada banyak orang termasuk kepada Bapak saya bahwa education is slow moving but powerful force (Ini kutipan dari J.William Fulbright). Meski saya butuh belasan tahun untuk membuktikan itu. Meski saya harus merangkak-rangkak sebab saya harus berusaha sendiri,” sambungnya.
Meski demikian, keputusan Arief ke Amerika tidaklah mudah. Ia dihadapakan oleh beberapa pilihan. Sebelumnya, ia telah (belum sempat selesai) menempuh Pendidikan master di Universitas Negeri Makassar (UNM).
Sebelum ke Fullbright, Arief juga telah lolos beasiswa LPDP dan Beasiswa Unggulan DIKTI. Keduanya memberi kesempatan untuk berkuliah ke Newcastle University, Inggris. Pilihan jatuh ke Fulbright sebab menurutnya, Fulbright lah yang pertama kali memberi kesempatan.
Alumni Southern Illinois University (SIU), Carbondale ini mengaku mendapatkan banyak petualangan selama di sana. Salah satu ambisinya bersekolah di luar negeri, selain ingin mendapatkan kultur belajar yang baru, adalah ingin mengkonformasi stereotipe-streotipe yang selama ini didengarnya.
“Nah ini juga yang mau saya bagikan dan salah satu tujuan saya ketika di Amerika adalah mengonfirmasi lalu membantah streotipe-stereotipe bahwa Amerika itu sekadar gedung-gedung tinggi, liberal, dan modern. Padahal tidak begitu sekali ji.”
“Saya yang tinggal di kota kecil di Amerika ternyata masih banyak juga warganya yang gagap tekhnologi. Ya, sama dengan di Indonesia. Makanya saya sering bagikan itu foto-foto ku lagi di hutan,” kata Arief sembari memperbaiki posisi topinya.
Sepulang dari Amerika, Arief mengaku belum memiliki rencana yang besar selain segera menerbitkan buku kumpulan esainya. Sebuah buku yang menceritakan perjalanan panjang dan hal-hal yang didapatkannya selama di Amerika.
Arief ingin terus menulis. Ia tidak lupa bahwa menulis telah membuatnya dikenal dan kalimat terakhir ini mungkin agak klise. Arief telah menginspirasi banyak pelajar untuk terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Editor: Almaliki