Lontar.id – Fenomena poligami di Indonesia rasanya tidak pernah habis diperbincangkan. Masyarakat masih terus tertarik meski pada akhirnya ihwal poligami selalu berujung pada pedebatan. Apakah laki-laki boleh perpoligami atau tidak? Setidaknya ada beberapa pandangan poligami yang saling berkontestasi. Pandangan yang memperbolehkan, pandangan yang memperbolehkan dengan syarat tertentu, dan pandangan yang melarang.
Selain itu, ihwal poligami seringkali dipermasalahkan oleh kaum feminis yang menganggap bahwa poligami menunjukkan adanya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaan paling mendasar yang seringkali dilontarkan. Kenapa sih laki-laki bisa poligami sementara perempuan tidak bisa poliamori?
Dalam tulisan ini, saya lebih tertarik melihat poligami dari permasalahan yang menurut saya sangat mendasar. Mengapa dan sejak kapan praktik poligami itu terjadi? Pertanyaan ini bisa kita jawab dengan melihat sejarah poligami yang terjadi saat Islam pertama kali dibawa oleh Rasulullah. Melihat poligami secara historis setidaknya bisa sampai pada pemahaman apakah poligami sesuai dengan konteks hari ini? Tentu saja, saya tidak akan melakukan justifikasi terhadap haram tidaknya poligami, akan tetapi lebih kepada rasionalitas poligami saat ini. Yah, kalau tidak rasional dan tetap dilakukan berarti aneh dong!!!
Dalam konteks historisnya, Rasulullah pernah melakukan poligami setelah isteri pertamanya, Khadijah meninggal dunia. Ia menikahi beberapa perempuan dari kalangan muda sampai tua, dari Aisyah sampai Saudah. Pernikahan Rasulullah dengan sembilan perempuan tdak bisa dilihat dari berapa kali nabi menikah atau berapa jumlah istri nabi semata, melainkan harus juga melihat aspek sosial dan sejarah dari perjalanan hidup Nabi sehingga proses pernikahan tersebut bisa terjadi.
Selain itu, permasalahan yang sering dilontarkan seringkali pada inkonsistensi pemaknaan hukum poligami yakni ketentuan hukum yang terkandung dalam Q.S. an-Nisa’ (4): 3 yang memperbolehkan laki-laki menikah dengan perempuan tidak lebih dari empat perempuan sementara Rasulullah sendiri menikah dengan sembilan perempuan. Dalam ayat tersebut bersifat umum, yakni diperuntukkan untuk semua orang. Sementara itu, dalam kasus poligami Nabi Saw dengan sembilan orang istri, ayat al-Qur’an telah memberi petunjuk bahwa hal itu bersifat khusus untuk nabi. Dengan demikian, terdapat dua realitas objek yang berbeda dalam kedua ayat al-Qur’an tersebut. Ayat yang satu objeknya adalah semua umat manusia, dan ayat yang lain objeknya adalah Nabi Saw. (Agus Sunaryo/ Poligami di Indonesia: Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis)
Permasalahan poligami menurut saya tidak bisa dipisahkan dari konteksnya, sebenarnya hal itu berlaku kepada peristiwa apa saja. Saya ingin memberikan contoh yang paling sederhana saja, seseorang memakai tiga lapis jaket tebal karena ia sedang berada di wilayah bersalju yang ber-suhu -4 derajat, bandingkan dengan seseorang yang memakai satu jaket tebal di daerah padang pasir menjadi sesuatu yang mengherankan. Oleh sebab itu, saya ingin melihat poligami dari sudut yang sama.
Zaman dahulu, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang tidak memuliakan perempuan. Bayi yang terlahir perempuan dianggap aib sehingga boleh dikubur dalam keadaan hidup. Laki-laki biasa saja menikah dengan puluhan bahkan ratusan perempuan. Ketika Rasulullah datang membawa ajaran Islam, ia memerintahkan agar laki-laki membatasi pernikahannya dengan empat perempuan karena pada saat itu laki-laki di Arab memiliki puluhan isteri. Pengurangan jumlah pernikahan menjadi empat perempuan pada masa itu cukup realistis dan cukup berterima dibandingkan langsung memerintahkan seluruh laki-laki agar menikahi satu perempuan saja.
Dahulu, poligami adalah upaya untuk membatasi jumlah isteri, hari ini poligami justru berbalik 360 derajat dari tujuan awalnya. Alih-alih membatasi pernikahan, poligami justru menjadi alat memperbanyak isteri. Sehingga, merasioanalisasikan poligami hari ini rasanya sulit untuk dilakukan.